Sebagai perempuan yang lahir di Bumi Kartini saya cukup bersyukur dan senang. Â Semoga tertular dengan semangat perjuangan Ibu Kartini.
Dari dulu hingga saat ini, penyelenggaraan ummat upacara hari ibu Kartini selalu mengenakan dress batik bagi laki2 dan kebaya untuk perempuan. Â Apakah hal ini sebuah kewajiban? Pasalnya saya belum pernah melihat langsung orang yang upacara dengan selain mengenakan dua model baju ini, kecuali baju daerah adat. Â Misalnya dalam hal ini gamis atau hanya baju biasa yang sekiranya masih layak dan sopan untuk dikenakan dalam kegiatan upacara.Â
Kata salah satu murid les saya begini, "Bu, apakah memperingati hari ibu Kartini harus pakai kebaya?".
Saya jawab, "Nggak harus, semua boleh mengenakan pakaian apapun dengan catatan sesuai norma sosial (sopan)".
Merias diri hingga saling adu menor, pakaian indah hingga tak mau kalah, semua itu bukan yang diinginkan sang pahlawan kita, bukan!.
Sejatinya mengenang dan memperingati hari sang pejuang emansipasi perempuan bukanlah hanya terletak pada jenis dan apa pakaian yg kita kenakan, akan tetapi pengaruh dan teladan yang kita peroleh dari ibu Kartini. Keberanian, kesabaran, ketangguhan, dan contoh lainnya harusnya kita ambil sebagai teladan. Dalam situasi apapun pikiran positif harus tetap kita jalankan.Â
Tiga poin yang bisa kita gunakan sebagai pegangan model teladan dari sang pahlawan pejuang kesetaraan perempuan :
1. Berani melangkah untuk perubahan.
Bukan hal mudah, hidup dalam lingkungan zaman penjajahan dan kungkungan keluarga adat Jawa. Akses menempuh pendidikan pun tidak mudah, hanya saja karna beliau adalah anak bangsawan, maka dengan prestis itu beliau dapatkan. Namun, walaupun dengan begitu beliau tetap memikirkan kaum nya, yaitu sesama perempuan yang tidak merasakan apa yang beliau dapatkan. Perubahan sedikit demi sedikit dengan surat menyurat bersama temannya di Belanda, bukti bahwa ibu Kartini sungguh antusias dalam belajar bersama mereka kaum terpelajar.Â
2. Tidak melupakan tradisi dan adat Jawa meski temannya orang Belanda.Â
Meski tuntutan beliau yang ingin sederajat dengan laki-laki, tidak dibeda-beda kan dalam hal belajar dan melakukan hak-hak nya, ibu Kartini tetap menghormati tradisi Jawa yang sopan kepada orang tua tanpa melawan.
3. Pantang menyerahÂ
Tercacat dalam sejarah bahwa usia di akhir hayatnya cukup terbilang muda, yaitu 23 tahun. Selama ia hidup, telah menghabiskan masa mudanya untuk terus belajar dan belajarÂ
tanpa pantang menyerah, walau kondisi tak mendukungnya. Usia nya yang sangat singkat itu beliau telah torehkan pada tinta sejarah bahwa perjuangan untuk mengangkat derajat manusia tak akan pernah padam.
4. Gigih dalam memperjuangkan hak kaum sesama nyaÂ
Bukanlah seorang yang egois, hanya mementingkan dirinya sendiri. Dengan segala fasilitas dan keluarga bangsawan yang mengelilinginya, beliau tak bangga diri dan hanyut dalam kenikmatan sebagaimana perempuan pada umunya.
Beliau lebih mengedepankan jiwa kemanusiaan nya dari pada dirinya sendiri.
Derajat yang sama dan tidak membeda-bedakan kan antara laki-laki dan perempuan adalah impian terbesar ibu Kartini, sehingga semua perempuan dengan latar belakang apapun bisa merasakan bangku belajar dunia pendidikan.
Ibu Kartini adalah pejuang yang dilahirkan di tanah Jawa, tapi pengaruh nya melampaui penduduk Jawa. Siapapun kita dan apapun profesi kita, selama terus memberikan yang terbaik dengan berusaha nahi negara maupun keluarga, kita adalah para Kartini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H