Saya mendirikan les bukan tanpa tujuan, sudah beberapa bulan lalu punya niatan meramaikan rumah dengan tempat belajar anak-anak (yang berbayar) sekaligus mencari dana tambahan guna menunjang kebutuhan hidup. Meski tujuan ini sangat kecil hasilnya.
Bukan pesisimis, namun saya sudah kenal keadaan dan kehidupan sistem orang-orang di kampung, terbiasa dengan menggampangkan dan kurang menghargai. Berikut beberapa keresahan saya perihal menjadi seorang guru les kampung.
Bayaran tang Tidak MenentuÂ
Meskipun sudah diselenggarakan rapat bersama dengan seluruh orangtua anak-anak yang les dengan saya, dari mulai peraturan jadwal, waktu, dan perihal biaya yang dibebankan kepada orangtua, namun hal itu masih saja ada yang tidak menaatinya. Bukan satu dua namun hampir mayoritas, dari keseluruhan murid dua 25 anak, baru dua orang yang telah menunaikan kewajibannya.Â
Bukan apa-apa, saya kadang mikir, apa karena mentang-mentang pendidikan berbentuk yang tidak formal seperti les ini, sehingga orangtua menganggapnya tidak begitu dipikirkan, atau bisa jadi belum ada rezeki buat anggaran biaya les anaknya (terpakai untuk keperluan yang lebih penting lainnya).
Ah entahlah, yang saya pahami mereka kurang mementingkan. Padahal ya, biaya yang saya bandrolkan loh sangat ekonomis, pake banget ekonomisnya, kalau dibandingkan dengan jumlah jajan anak selama tiga hari pun tidak ada apa-apanya, karena biayanya hanya lima puluh ribu rupiah saja.Â
Kalau dihitung-hitung dengan anggaran jajan anak setiap harinya yang mayoritas di atas sepuluh ribu, tidak ada apa-apanya, bukan?
Salah satu anak kawan saya yang suka cerita pengeluaran hari-harinya, untuk anak kelas dua SD seharinya mencapai dua puluh hingga tiga puluh ribu Rupiah.
Nah, coba bayangkan dengan kalkulasi biaya les yang saya tarifkan, sangat tidak sebanding bukan? Ini lima puluh ribu untuk waktu bulan.
Kalau Ditegur Dikira Ngga Sabaran