Mohon tunggu...
Anna Risnawati
Anna Risnawati Mohon Tunggu... wiraswasta -

Bukan penulis hanya suka corat-coret dan bahagia jika bisa berbagi

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Upik, Potret Warga yang Patut Diteladani

1 Februari 2014   23:25 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:14 163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hampir satu bulan ini saya rajin menyambangi gerobak es di pinggir jalan yang menjajakan es pisang ijo. Jujur, saya memang lagi keranjingan minum es pisang ijo. Gerobak es yang terletak di halaman minimarket pinggir jalan ini memang ramai dikunjungi orang-orang yang lalu lalang di jalan Abdul Rahman Saleh Semarang. Es pisang ijo bukan kudapan asli dari Semarang tapi berasal dari Makasar yang tadinya bernama es palubutung. Tentu saja mungkin ada perbedaannya yang saya tidak tahu dimana bedanya. Yang jelas es pisang ijo yang biasa saya kunjungi ini enaakkkk…..sekali.

Semangkuk sedang es pisang ijo ini bisa dinikmati dengan harga cukup murah sekitar 5000 rupiah. Berisi pisang raja berbalut tepung beras yang dikasih pewarna ijo dari daun suji, campuran santan kental dan cair manis, bubur sumsum, sebagai toping bisa dipilih coklat, keju, permen chacha atau tumbukan kacang tanah. Hemmm…yummi.. Walah jadi ngelantur….

Karena seringnya ngiras di lapak es ini akhirnya lambat laun sayapun berkenalan dengan sang penjual es, seorang ibu muda beranak satu yang asli dari Makasar. Ibu muda ini bernama Upik. Saya memanggilnya mbak Upik karena nggak tahu harus memanggil apa dalam bahasa Makasar. Tapi biarlah toh dia tidak keberatan dan enjoy saja. Dia tinggal di Semarang karena kebetulan berjodoh dengan orang Semarang. Dalam berdagang es pisang ijo ini, mbak Upik tidak ngoyo. Habis atau tidak dagangannya, jam tiga siang mbak Upik harus menutup gerobaknya. Sebab shift berikutnya tempatnya akan digantikan oleh pedagang wedang ronde hingga malam hari.

Bukan berarti mbak Upik sudah merasa cukup dengan apa yang telah dihasilkannya. Meski terlihat santai mbak Upik masih melirik tempat-tempat lain sekiranya bisa dijadikan cabang dari usaha es pisang ijonya. Ini yang sering dicurhatkannya, tetapi bukan latah ikut-ikutan pejabat yang sering curhat di media lho. Curhatnya bisa dijadikan inspirasi sebagai warga pendatang yang harus mengais rejeki di rantau. Bahwa hidup itu tidak mudah, harus selalu kerja keras demi mengejar apa yang sudah menjadi cita-cita. Demikian juga sosok sederhana seperti mbak Upik ini, yang memimpikan bisa membuka cabang usahanya dimana-mana. Suatu tawaran yang menggiurkan bagi siapa saja yang ingin membuka bisnis es pisang ijo.

Hingga suatu hari saat saya sedang asyik-asyiknya makan es pisang ijo, datanglah tiga oranganak-anak kecil berseragam merah putih. Saya pikir mereka akan membeli es pisang ijo, sebab tidak sedikit anak-anak yang menyukainya. Tiga anak perempuan itu bukannya mengambil tempat duduk di depan gerobak tetapi malah di samping mbak Upik. Mereka duduk di kursi plastik berjejer. Kulihat mbak Upik tidak merasa terganggu dengan kedatangan tiga anak perempuan itu.

Mereka sama sekali tidak memesan es pisang ijo. Tak berapa lama salah satu dari anak perempuan tersebut terlihat mengeluarkan sebuah buku. Saya tidak terlalu memperhatikan itu buku apa, karena terlanjur asyik menikmati kesegaran es pisang ijo. Hingga lamat-lamat kudengar lantunan suara Kitab Suci Al Qur’an dari mulut salah satu anak kecil tadi. Si anak kecil itu tidak ambil pusing dengan kondisi sekitarnya yang cukup bising sebenarnya karena terletak persis di pinggir jalan raya. Dia terus melantunkan ayat-ayat suci Al Qur’an meskipun terdengar lirih. Sesekali Mbak Upik membetulkan lafadz yang diucapkan si anak tadi. Begitupun dua anak kecil tadi yang ternyata juga membuka Kitab Suci Al Qur’an kecil. Belum sampai mereka menyelesaikan baca kitab sucinya, saya sudah selesai minum esnya duluan. Dan keluar dari warung dengan setumpuk tanda tanya.

[caption id="attachment_309668" align="aligncenter" width="300" caption="Foto by Anna"]

1391271851203742546
1391271851203742546
[/caption]

Beberapa hari berikutnya saat saya ngiras lagi disana, datang seorang mbak berjilbab dan langsung duduk disamping mbak Upik. Tadinya saya juga berpikir bahwa dia mau membeli es pisang ijo juga, karena memang tempat duduk di depan gerobak lumayan penuh dengan pembeli. Kulihat si mbak juga mengeluarkan Al Qur’an dan melantunkan ayat-ayatnya. Gaya si mbakpun sama yang merasa tak terganggu dengan alam sekitar. Mbak Upik sambil melayani pembeli juga mencoba membetulkan lafadz yang diucapkan si mbak jika ada kesalahan baca. Saya tak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini dan ...cekrek !! Akhirnya saya bisa menjepret kegiatan si mbak saat sedang membaca Al Qur’an.

Dua kali saya memendam rasa penasaran. Hingga esok harinya saya datang lagi. Kali ini selain minum es saya bermaksud ingin menuntaskan rasa kepenasaran ini. Dan inilah kisahnya. Dulu sewaktu masih di Makasar mbak Upik adalah seorang guru ngaji. Saat pindah ke Semarang ini kesibukannya berganti dengan jualan es. Baginya melayani pembeli tidak harus diam. Dia suka mengajak ngobrol pembeli esnya. Dari seringnya ngobrol dengan para pembeli, entah gimana ceritanya para pembeli es pisang ijonya memintanya untuk mengajari mereka baca Al Qur’an.

Saya bilang, bagus donk. Sekalian bisa nambah-nambah masukan uang belanja. Tetapi alangkah terkejutnya saya saat mbak Upik bilang, apa yang dilakukannya tulus ikhlas mengajari mereka tanpa bayaran sepeserpun. Hahh……hari gini masih ada orang yang melakukan sesuatu tanpa memikirkan imbalan seperserpun ? Anak-anak kecil itu belajar baca kitab suci selepas pulang sekolah, sedangkan si mbak mengambil jam istirahat kerjanya. Setelah makan siang di tempat kerjanya langsung ngacir ke tempat jualannya mbak Upik untuk mendalami ayat-ayat suci Al Qur’an.

Upik, salah satu potret warga pendatang yang pantas untuk diteladani. Di sela-sela waktunya bekerja keras membanting tulang mencari sesuap nasi, dirinya masih bisa meluangkan waktu untuk berbagi ilmu dengan orang lain tanpa pamrih. Kesempatan berbuat baik tidak harus dicari tetapi bisa diupayakan dimana dan kapan saja, tinggal kitanya ada niat atau tidak untuk melakukannya. Upik bekerja untuk mendapatkan uang itu adalah ibadah, di sisi lain Upik berbagi kebaikan itupun juga ibadah. Kalau mau menyadari apa yang kita lakukan jika semuanya mengarah kepada kebaikan adalah ibadah. Semua kebaikan yang telah kita lakukan akan mendatangkan rejeki, baik secara materi atau non materi. Bisa saja berupa uang, banyak teman atau informasi. So, tenggelamkan diri kita dengan kegiatan yang berguna agar kehidupan terasa lebih lancar dijalani.

Salam Sukses

Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun