Mohon tunggu...
Herlianiz
Herlianiz Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Penggemar berat Dan Brown yang juga menyenangi Jostein Gaarder dan Linda Christanty serta terobsesi pada pahlawan super Iron Man.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Dua Sisi

21 September 2018   15:43 Diperbarui: 21 September 2018   18:36 165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

1

Kau selalu berada di perpustakaan hampir sepanjang waktu. Terpekur menyelami buku-buku pelajaran, seolah-olah dia adalah kakak kelas paling tampan di sekolah kita. Matamu tidak pernah lepas darinya. Begitu gemilang dan penuh semangat. Apalah artinya aku yang mengintip dari sela jendela. Bahkan ujung matamu pun tidak pernah sudi untuk melirik barang sedikit.

Aku juga selalu ingat bagaimana caramu berpakaian. Bajumu kedodoran menutupi tubuhmu yang sekecil kancil. Kaos kakimu selalu hitam polos tanpa corak, tidak ada warna lain, selalu itu setiap hari. Aku bahkan sempat berpikir, jangan-jangan isi lemarimu kaos kaki hitam semua. Kadang aku terkekeh sendiri bila mengingatnya. Ah, aku juga ingat bentuk kacamatamu. Tebal dan kotak dengan warna hitam juga. Begitu kaku dan dingin, sedingin raut wajahmu yang jarang tersenyum.

Bila kaupikir aku lupa bagaimana caramu berjalan kau salah besar. Tidak pernah sedikitpun hilang dari ingatan betapa kau selalu tergesa. Kepalamu lagi-lagi menunduk seperti sedang mencari koin yang terjatuh. Atau jangan-jangan kau memang sedang mencari sesuatu? Cinta pertama, mungkin? Sungguh, pikiran-pikiran semacam itu selalunya berputar-putar di dalam otakku yang berandalan. Kadang membuatku gemas, tak jarang membuatku tertawa lepas. Kenapa harus ada perempuan seaneh kamu di dunia ini. Dan yang lebih aneh lagi, kenapa aku harus memperhatikannya.

Di antara teman-temanmu, kau bukan yang paling cantik. Nyaris paling tidak terlihat bila dibandingkan dengan Selia yang tajir atau Monik yang seksi. Tapi kau adalah si bintang kelas, yang mana semua teman-temanmu selalu mendekatimu karena kau tidak pernah pelit memberi contekan. Iya, aku juga tahu akan hal itu.

Sebenarnya aku ingin mendekatimu. Tapi sepertinya kau takut kepadaku atau jijik? Pernah sekali waktu saat kita berpapasan kau malah membuang muka. Padahal aku bermaksud untuk menyapamu, ingin mencoba berkenalan denganmu. Belakangan aku malah mendengar kau berpacaran dengan Edward, ketua osis kita. Aku sedikit kecewa, tapi aku lega. Kalian cukup pantas. Yang satu pintar, yang lainnya cerdas.

Kau mungkin akan menertawakanku jika kali ini kuceritakan lagi semua kenangan tentangmu. Kaubilang aku pelawak yang gagal dan membosankan. Tidak punya materi baru. Selalu saja mengulang-ngulang cerita yang sama. Tapi kau tidak akan pernah tahu bahwa jauh di dasar hatiku aku selalu mensyukuri hari di mana kita akhirnya bertemu kembali. Siapa yang akan menyangka jika berpuluh tahun kemudian kita menjadi sepasang kekasih. Siapa yang akan menyangka pula jika di saat-saat sakaratul mautku, kaulah orang yang menemaniku, membisikkan kalimat-kalimat Tuhan di telingaku. Iya, kau yang sedari masa remaja sering aku selipkan ke dalam ingatan, menjadi kenangan.

***

2

Kau si berandalan sekolah. Aku tidak pernah lupa bagaimana orang-orang memanggilmu bos karena bagi mereka kau adalah pemilik sekolah. Bukan dalam artian yang sesungguhnya karena sekolah kita adalah sekolah negri. Tidak jarang mereka meminta perlindungan darimu ketika ribut dengan anak sekolah sebelah. Kau selalu melindungi teman-temanmu. Bukan untuk menjadi pahlawan, tetapi semata-mata karena rasa setia kawan.

Kau juga anak laki-laki yang populer. Teman-teman perempuanku seringkali tertawa genit bila membicarakan tentangmu. Mereka bilang siapapun yang jadi pacarmu adalah perempuan paling beruntung di seantero sekolah. Kadang aku sebal bila mereka mulai cekikikan dan berusaha mencari perhatianmu. Setiap kali kau lewat selalu saja ada salah satu dari mereka yang menjerit genit lantas heboh sendiri seolah-olah baru saja berpapasan dengan aktor hollywood.

Kau mungkin tidak pernah tahu kalau aku selalu memperhatikanmu bermain basket. Kau adalah kaptennya, tidak ada yang lebih jago mendribel bola selain kau. Pantas saja sekolah kita selalu menang tiap kali ada pertandingan antar sekolah. Kau juga mungkin tidak akan pernah tahu kalau aku selalu diam-diam mendengarkan bisik-bisik teman-teman perempuanku tentangmu. Mereka bilang kau playboy, tukang gonta ganti pacar. Sudah kuduga, batinku. Laki-laki seperti kau, yang selalu dikelilingi perempuan-perempuan cantik pastilah punya banyak pacar.

Adakalanya aku ingin mencoba untuk tersenyum padamu ketika kita tidak sengaja berpapasan. Namun aku cukup tahu diri untuk tidak melakukan itu. Aku takut kau akan membuang muka lantas diam-diam menertawakan ketololanku. Sungguh, pikiran-pikiran semacam itu membuatku urung. Lebih baik aku membaca buku di perpustakaan daripada harus berharap-harap cemas menanti perhatian darimu.

Kau tahu, aku berdiam diri di perpustakaan bukan semata karena aku suka. Kelasmu bersebelahan dengannya. Dari situ mataku merdeka memperhatikanmu. Melihatmu bercanda bersama teman-temanmu dari balik tirai jendela. Kau mungkin tidak akan mampu menyelami seperti apa perasaanku saat itu. Melihatmu saja sudah cukup membuat aku bahagia dan bisa tersenyum lebar.

Lalu aku mendengar kabar bahwa kau berpacaran dengan Siska. Aku sedih, sangat sedih. Aku bukanlah apa-apa bila dibandingkan dengan Siska yang berasal dari keluarga terpandang. Sudah cantik, pintar pula. Sungguh kalian memang pasangan yang sepadan. Kau tampan, dia menawan.

Namun masa depan adalah misteri. Siapa yang akan menyangka bahwa berpuluh tahun kemudian kita akan menjadi sepasang kekasih. Dan kau ternyata sudah sejak lama menaruh minat terhadapku. Kita saling menaruh minat, tepatnya. Andai waktu dapat diputar ulang serupa piringan hitam sungguh aku ingin kembali ke masa-masa itu. Lantas kita saling memperbaiki kisah, mengukir sejarah. Namun, apabila itu terjadi, akankah aku menjadi orang yang menemanimu di saat-saat terakhirmu menjemput maut? Akankah aku menjadi orang yang membisikkan kalimat-kalimat Tuhan di telingamu?

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun