Mohon tunggu...
Herlianiz
Herlianiz Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Penggemar berat Dan Brown yang juga menyenangi Jostein Gaarder dan Linda Christanty serta terobsesi pada pahlawan super Iron Man.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Sepenggal Kisah (Aku dan Tante Veni) [FFK]

18 Maret 2011   13:30 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:40 24137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1300454952990373106

"Permisi, Tante." sapaku ramah.

Perempuan itu meminggir memberi jalan kepadaku. Aku memilih tempat duduk yang agak pojok, untuk menikmati hidangan makan malamku.

Café yang buka hingga malam itu semakin ramai oleh pengunjung. Banyak diantaranya yang berpasangan. Namun tak sedikit juga yang datang sendirian seperti aku. Bahkan beberapa meja terisi oleh sekelompok orang, pria dan perempuan. Dentuman musik dan suara cekakak cekikik makin terdengar riuh, tak jelas. Aku larut dengan kesendirian dan segelas minumku. “Hai.. jangan panggil tante dong. Panggil saja Veni.” Tiba-tiba perempuan yang kupanggil tante itu sudah duduk di hadapanku. Kulihat bibir bergincu merahnya memasang senyum lebar. Aku sedikit terperangah. Dia mengibaskan rambutnya yang terurai hitam. Keriput-keriput halus di ujung matanya tampak samar karena riasan tebal berhasil menutupinya, walau tak sempurna. Kulihat, matanya sedikit mengerling penuh makna. Aku tersenyum dengan kelakuannya. Kulihat sekilas gayanya, cukup trendi untuk ukuran perempuan yang sudah tak muda lagi. Dandanan masa kini membalut bodynya yang kiranya masih aduhai untuk perempuan seusianya. Celana jeans ketat berwarna biru pudar berpadu dengan tanktop putih yang mempertontonkan belahan buah dadanya. Sepertinya dia berusaha keras memperlihatkan bahwa dia masih layak untuk dilirik. Sebuah usaha yang patut aku hargai. “Sendirian saja nih.” tanpa kupersilahkan, dia duduk di hadapanku. Tak segera kujawab pertanyaannya. Aku menyeruput minumanku lamat-lamat. Sengaja. “Kasian ya, ganteng-ganteng kok mojok sendirian. Saya temani mau ya?” perempuan yang tadi memperkenalkan diri dan tak ingin dipanggil tante itu mulai sedikit agresif. Aku masih belum mau meladeninya. Kembali kuhirup minumanku, lebih pelan dari sebelumnya. Lalu, aku membuka bungkus rokok dan mengambilnya sebatang. Kuniatkan untuk menyalakannya. Belum sempat rokokku menyentuh mulut, Veni mengasongkan api di tangannya. “Nih…” Aku menyambutnya. Segera saja kuhirup rokokku yang mulai menyala biar semakin menyala dan tidak padam. Kusedot dalam-dalam sebelum aku membumbungkan asapnya ke udara.

"Nama kamu siapa?" perempuan genit itu kembali bertanya padaku setelah menyalakan sebatang rokok untuk dirinya sendiri.

"Joe." jawabku singkat.

"Kamu jarang kemari ya, Joe? Sepertinya baru kali ini saya melihat kamu." Veni terus memberondongku dengan berbagai tanya, sedang aku hanya tersenyum. Rupanya dia pengunjung tetap cafe ini. Sebenarnya aku malas meladeni perempuan genit seperti dia. Lagipula niatku datang kemari hanya untuk duduk-duduk saja melepas lelah setelah seharian bekerja.

"Hei Joe! Kok diam? Saya ganggu kamu ya?" dia kembali bertanya sembari memonyongkan bibirnya yang berhiaskan garis-garis halus pertanda usia tua. Hampir aku terbahak, namun masih bisa kutahan. Terlihat sekali kalau veni tengah mencoba merayuku.

"Tidak!" aku menggelengkan kepala, lalu menyeruput minuman yang tinggal bersisa setengah.

Malam menanjak. Alunan musik berganti lembut. Menaburkan suasana romantis ke setiap penjuru cafe. Diluar bulan naik perlahan. Bulatnya yang sempurna menambah indah malam yang cerah.

"Ada acara sepulang dari sini, Joe?" tanya Veni sembari mendekatkan wajahnya ke telingaku. Suaranya yang agak serak terdengar sedikit berdesah di telingaku. Perempuan ini pasti sengaja berbuat seperti itu. Tampak sekali kalau dia sedang berusaha membangkitkan gairahku.

"Tidak!" kembali aku menjawab singkat seperti itu. Veni tersenyum, terlihat senang.

"Bagaimana kalau kamu ikut dengan saya?"

"Kemana?"

"Ke apartemen saya. Kita bisa berkenalan lebih intens disana."

Aku mengetuk-ngetuk meja dengan ujung jariku seolah tengah berfikir. Diam tercipta. Tak ada suara diantara kami selain alunan musik yang berpadu dengan suara ketukan jemari. Kulihat beberapa kali Veni merubah posisi duduknya. Tampak resah.

"Bagaimana, Joe?" gusar Veni bertanya, tak sabar.

Aku hanya tersenyum. Kulambaikan tanganku pada waiter yang tengah berdiri di sudut cafe. Waiter itu segera mendekat lalu menyerahkan selembar bill.

"Ambil kembaliannya buatmu." ujarku.  Waiter itu tersenyum penuh makna seraya melirik keberadaan Veni dan mengerling padaku. Dia segera berlalu setelah mengucapkan terimakasih.

Aku berdiri. Kulihat Veni semakin resah menanti jawabku. Kusorongkan wajahku mendekat pada telinganya, lalu turun menuju pipinya yang dipoles merah.

"Sorry Tante, gue gak suka cewek." ucapku sembari mengecup lembut pipinya.

*****

Ditulis bersama oleh Duel BelahDuren

Hadi Samsul

Herlya Annisa

Ilustrasi dari:

uptopics.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun