Mohon tunggu...
Ana Purwitasari
Ana Purwitasari Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

In der heutigen Zeit studiere an einer Uni in der Deutschabteilung in Bandung. Denn später möchte Übersetzerin werden. Wenn Freizeit hab', schreibe gern eine Novelle. Wie meine Dozentin hat gesagt, "Das Lesen ist die Brücke, die bunte Welt zu sehen." Einverstanden!

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Pesan Lama 'Ibunda' Sherina

8 Desember 2013   21:20 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:10 164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Karena kamu harus mengenal teman kamu itu dengan sebaik-baiknya. Sebelum kamu tahu kenapa dia bisa jadi kayak begitu, Sher." Itulah sebaris kalimat yang diucapkan oleh 'ibunda' Sherina dalam film berjudul Petualangan Sherina. Film yang disutradarai oleh Riri Riza dan berdurasi 120 menit ini merupakan film musikal karya anak bangsa yang bisa dinikmati oleh semua umur. Adegan yang paling berkesan menurut saya adalah saat dialog Sherina dan ibunya di menit ke-25 sampai ke-26. Adegan yang diisi oleh wejangan-wejangan seorang ibu pada anaknya yang baru menapaki masa-masa ABG itu mengandung makna yang sangat dalam. Ketika pertama kali menonton film ini, saya masih sangat polos dan banyak melewatkan pesan-pesan moral yang terdapat dalam setiap scene film ini. 12 tahun berlalu. Di tengah kesibukan menyusun proposal penelitian untuk melanjutkan studi ke jenjang pascasarjana, tiba-tiba saya tergugah untuk memutar kembali film tersebut. Rasanya film ini telah lama terabaikan karena banyaknya film-film Hollywood baru yang memenuhi memori laptop saya. Seperti sebelumnya, saya pun membiarkan setiap adegan berlalu begitu saja. Tak ada yang menarik perhatian saya. Mungkin karena saya sudah hafal urutan scene yang terdapat dalam film tersebut. Sehingga rasa malas pun muncul mengalahkan semangat untuk belajar tentang kehidupan dari film peraih penghargaan Film Anak-Anak Terpuji di Festival Film Bandung pada tahun 2001. Tatapan pun seakan terbelalak saat mendengar penuturan 'ibunda' Sherina (lupa nama tokohnya siapa) yang diperankan oleh Uci Nurul. Jika didengarkan secara sekilas, tak ada yang istimewa dari ucapan tersebut. Hanyalah sebuah wejangan biasa bagi anak yang masih belum bisa menentukan hal baik dan buruk. Namun, saya mencoba mendalami pesan yang terkandung di dalamnya. Tak ada yang salah dengan dialog tersebut. Justru saya merasa terkesima bahwa sesungguhnya para sineas lebih cerdas dari seorang ilmuwan sekalipun. Mengapa demikian? Tak banyak ilmuwan yang memiliki kecerdasan emosional yang tinggi seperti ilmu yang dimilikinya. Namun, sineas tak demikian. Pesan-pesan yang mereka sampaikan secara implisit melalui karya-karyanya telah membukakan mata hati banyak pecinta film bahwa film bukan hanya sebuah hiburan yang selalu berkawan dekat dengan kita manakala kita membutuhkan ketenangan. Lebih dari itu. Film telah dijadikan alat untuk menyampaikan pesan kehidupan kepada publik melalui cara-cara yang elegan dan mengandung nilai seni. Sama halnya pesan yang tersirat dalam film Petualangan Sherina. Dalam dialog yang dituliskan di atas, terlihat bahwa terkadang seseorang selalu melakukan penghakiman seenaknya kepada orang lain. Padahal orang yang menghakimi tersebut tidak mengetahui motivasi perbuatan yang dilakukan oleh orang yang dihakiminya. Banyak siswa yang bertengkar di sekolah dengan sesama temannya. Alasannya pun beragam. Hingga pihak sekolah dan guru memanggil kedua orang tua mereka. Padahal, jika diperhatikan secara seksama, alasan sesungguhnya dibalik setiap perkelahian mereka adalah kesalahpahaman. Tak jarang banyak siswa menjauhi temannya HANYA karena terprovokasi oleh satu tindakan. Mereka tidak mengetahui bahwa tindakan negatif yang dilakukan oleh temannya dilatarbelakangi oleh sebuah tragedi yang MUNGKIN tak pernah dialami oleh mereka sendiri. Bahkan mereka pun tak pernah membayangkan tragedi tersebut. Jika sudah demikian, biasanya siswa yang dijauhilah yang selalu menjadi kambing hitam. Sebaik apapun sikap dia terhadap orang lain di lingkungan sekolah, tetap saja cap buruk selalu menempel lekat dalam dirinya. Jika hal tersebut terjadi, apakah siswa tersebut satu-satunya tersangka dalam berbagai kasus negatif yang dia lakukan di masa depan. Lalu bagaimana dengan teman-teman yang menjauhinya? Apakah mereka dinyatakan bebas hukuman dan bisa melenggang seenaknya kemana pun mereka mau? Entahlah! Menjauhi dan menghukum siswa nakal adalah sebuah kebiasaan dan lumrah terjadi di tengah masyarakat kita. Hal terparah, biasanya kenakalan tersebut berimbas pada kehidupan siswa bersangkutan di masa datang. Jadi, menjauhi dan menghakimi siswa nakal (ilustrasi) adalah sebuah langkah yang tepat? Mengapa Anda tidak tergugah untuk mengetahui alasan kenakalan tersebut? Tak inginkah Anda berteman dengannya dan mendengarkan sedikit curahan hatinya yang MUNGKIN tengah menjerit dan meronta meminta pembebasan nama baik dari lingkungan? Es kommt auf Sie selbst an. (Itu tergantung pada Anda sendiri).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun