Debat Capres keempat dalam Pilpres 2019 antara Jokowi vs Prabowo, merupakan titik balik dari debat kedua. Pada debat kedua, Jokowi cenderung agresif menyerang Prabowo, bahkan ada serangannya yang bersifat pribadi menyangkut luas lahan yang dikuasai Prabowo. Sebaliknya dengan Prabowo.Pada debat kedua, Prabowo yang terkenal sebagai orator epigon Bung Karno, tampak santai-santai saja.
Dalam beberapa sesi malah cenderung mendukung gagasan-gagasan Jokowi dan memberikan kesempatan Jokowi untuk meraih poin. Sampai-sampai Budiman Sujatmiko merasa kecewa berat kepada Prabowo dalam laga debat Capres kedua. Konon, dalam benak Budiman Sujatmiko sempat menduga, bahwa Prabowo akan tampil bagaikan macan Asia yang gagah dan perkasa."Ternyata, dia cuma kucing Angggora," sindirnya. Bahkan seorang anggota DPR dari PAN  pendukung Prabowo, ikut kesal juga dengan penampilan Prabowo dalam debat kedua  yang dinilainya lembek. "Debat itu harus menyerang," katanya pula.
Banyak orang yang menduga, Prabowo memang seorang orator, tetapi bukan debator. Sebagai debator, Sandi dinilai lebih baik ketimbang Prabowo. Bahkan menjelang debat keempat, masih banyak yang pesimis Prabowo akan mampu mengungguli Jokowi yang jauh lebih berpengalaman dalam mengelola birokrasi pemerintahan, karena Jokowi seorang petahana.
Kucing Anggora, akan mudah ditekuk lagi oleh Jokowi, demikian spekulasi yang berkembang.Tetapi ternyata penampilan Prabowo dalam debat keempat mampu menjungkirbalikkan asumsi-asumsi yang berkembang. Rupanya Prabowo menggunakan jurus strategi perang kuno yang diajarkan Jendral Sun Zi, "Mengecoh langit, Menyeberang lautan," dalam debat Capres 2019.
Pada debat keempat, Prabowo tampil sangat natural sesuai dengan bakat alamiyahnya. Dia juga tampil memukau dengan serangan-serangan tajamnya yang menohok. Uniknya serangan-serangan Prabowo tidak ditujukan secara langsung kepada pribdi Jokowi, tetapi lebih diarahkan kepada pembantu-pembantu Jokowi, baik dari kalangan sipil maupun militer. Ketika memaparkan visi dan misinya, Prabowo tampil dengan gaya orator yang memikat sebagai singa podium. Mau tidak mau mengingatkan orang pada gaya pidato Bung Karno pada masa kejayaannya.
Sementara itu penampilan Jokowi yang agresif pada debat kedua justru hilang. Yang muncul adalah kepribadian Jokowi yang asli, natural, dan lugu, sebagaimana  wong Solo. Jokowi  tampil sebagai seorang story teller dengan gayanya yang khas, yakni menyelipkan ungkapan-ungkapan milenial.
Pada debat kedua muncul kosa kata unicorn. Dan pada debat keempat muncul kosa kata dilan, singkatan dari digital melayani. Sayang ketika menceriterakan misi dan visinya seputra ideologi, pemerintahan, pertahanan, keamanan, dan hubungan internasional, Jokowi cepat kehabisan stock bahan ceritera, sehingga terkesan sedikit gagap, dan selesai lebih cepat 30 detik dari waktu yang disediakan.
Pada sesi menjawab pertanyaan panelis, bagaimana ideologi Pancasila ditanamkan pada generasi muda tanpa pendekatan indoktrinasi agar lebih mudah diterima generasi muda, kembali Prabowo tampil dengan kombinasi gaya orator dan story teller. Tampak Prabowo  memberikan jawaban lebih konseptual sekaligus juga menyelipkan kritik secara terselubung.
Pendekatan indoktrinasi, menurut Prabowo harus diganti dengan pendekatan edukasi lewat kurikulum pendidikan sejak usia dini dari TK, sampai  SMP, SMA,  S1,S2 dan S3. Selain pendekatan edukasi pada generasi penerus, juga penting adalah pendekatan memberikan contoh atau keteladanan.  "Terutama para pemimpin harus memberi contoh, mempersatukan, menyejukkan, dan memberikan contoh dalam masalah edukasi ini. Dalam memilih orang, tidak boleh memandang suku, agama, ras. Dalam menjalankan politik, harus menjalankan poltik persatuan, bukan politik pecah belah, bukan politik cari kesalahan, dan bukan politik cari perbedaan....," kata Prabowo.
Sebaliknya dengan Jokowi, yang kembali tampil dengan gaya story teller. Sebagai alternatif indoktinasi, Jokowi berusaha meghindari penggunaan kosa kata yang sudah dipakai Prabowo. Secara substansi,  sebenarya baik Jokowi dan Prabowo sama-sama memandang pentingnya menggunakan jalur pendidikan formal untuk menanamkan nilai-nilai Pancasila pada generasi muda. Antara  lain Jokowi berakata, "Pancasila harus diberikan di dalam pendidikan-pendidikan anak-anak kita. Sejak bukan dari TK. Tapi Sejak dari PAUD. PAUD, TK,SD,SMP,SMA, SMK,  Universitas, S2, S3...,"
Karena kata PAUD diulangi dua kali, pendukung Jokowi langsung besorak. Mungkin mereka menilai, solusi Jokowi dalam menanamkan nilai-nilai Pancasila lebih unggul dibanding solusi yang ditawarkan  Prabowo. Sebab Jokowi ingin memasukkan kurikulum pendidikan Pancasila kepada anak-anak sejak PAUD, sedangkan  Prabowo baru sejak TK. Akibatnya moderator  mengingatkan pendukung Jokowi.
Sebagai  ganti istilah edukasi yang digunakan Prabowo, Jokowi memilih penggunaan kosa kata pendidikan kekinian. Yaitu dengan metode memberi tahu. Perlu diketahui, bahwa pendidikan nilai-nilai Pancasia sudah masuk kurikulum pendidikan formal pada era Suharto. Di tingkat Pendidikan Dasar dan Menengah dikenal dengan mata pelajaran PMP(Pendidikan Moral Pancasila). Sedang di tingkat Perguruan Tinggi, dikenal dengan mata kuliah Pancasila.
"Anak-anak harus diberitahu, bagaimana bertoleransi karena kita ini memiliki 714 suku. Anak-anak juga harus diberitahu bagaimana berkawan dengan saudara-saudara kita sebangsa dan setanah air yang  memiliki lebih dari 1100 bahasa daerah yang berbeda-beda. Anak-anak juga harus diberi tahu bagaimana bertoleransi, karena kita ini berbeda-beda agama.  Dalam kehidupan sehar-hari seperti itulah sebetulnya ingin terus kita lakukan pendidikan-pendidikan. Dan kita telah membentuk Badan Pembinaan Ideologi Pancasila. Tetapi ini harus kekinian. Tidak indoktrinasi lagi. Harus kekinian. Bisa dilakukan lewat visual-visual baik yang ada di facebook, baik yang ada di instagram, baik yang ada di tweeter dengan cara sehingga relevansi antara Pancasila dengan anak-anak muda dengan mudah tersambung...," kata Jokowi menjawab pertanyaan panelis. Dalam solusi yang ditawarkan Jokowi sama sekali tidak disinggung pentingnya unsur memberi contoh dalam proses internalisasi nilai-nilai Pancasila.
Tampak jelas, bahwa solusi yang ditawarkan Jokowi dalam proses internalisasi nilai-nilai Pancasila, justru lebih mengedepankan pendekatan pengajaran, insruksional, pelatihan, dan indoktrinasi yang ingin dihindarinya. Semboyannya Jokowi yang sangat populer, "Saya Jokowi, Saya Pancasila...," merupakan model pendekatan indoktrinasi yang ditawarkan Jokowi. Â Kita juga bisa mendengar, kosa kata yang berbau indoktrinasi, seperti anak-anak harus diberi tahu, dicapkan berulang kali oleh Jokowi sampai tiga kali.
Padahal pendekatan internalisasi nilai-nilai Pancasia yang paling baik, efektif, dan sudah terbukti di lapangan, bukan hanya pendekatan memberi tahu, tetapi dilanjutkan dengan  diskusi, dan pemberian keteladanan. Di dunia pendidikan dikenal dengan metode Tut Wuri Handayani, (metode menunjukkan informasi dengan mendorong agar anak aktif mencari sendiri sumber-sumber informasi), Ing Madya Mangun Karsa, (mendiskusikan dan mendialogkan informasi yang telah diperoleh), dan Ing Ngarso Sung Tulodo (mengamalkan nilai-nilai yang telah dipelajari dan didiskusikan, dengan contoh dan keteladanan dari para guru, orang tua, dan birokrasi pemerintahan).
Sebagai seorang prajurit, Prabowo tentu tidak asing dengan  gagasan  Sistem Among dan Trilogi Kepemimpinan sebagai solusi internalisasi nilai-nilai moral, budipakerti, dan ahlakul karimah yang efisien dan efektip, yang pernah diajarkan Bapak Pendidikan Nasional Ki Hadjar Dewantara dan Panglima Besar Jendral Sudirman. [01/04/2019]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H