Maka kulit harus diolah lebih lanjut agar menjadi lentur dan dapat dimanfaatkan melalui proses penyamakan kulit.  Dengan disamak, kulit menjadi barang yang berguna bagi  manusia, lebih-lebih bagi Manusia Prasejarah yang tinggal di Dataran Tinggi Bandung yang dingin.
Perlakuan terhadap kulit binatang hasil buruan untuk disamak ialah dengan menggunakan asap, lemak binatang, dan bahan-bahan dari kulit tumbuh-tumbuhan hutan yang menghasikan senyawa kimia yang disebut tanin.Â
Tanin diperoleh dengan merendam bagian dari tanaman seperti gambir, katechu, dan tumbuhan hutan lainnya yang banyak tumbuh di sekitar Sungai Citarum maupun anak-anak sungainya.Â
Jika sekarang di Bandung banyak industri kecil berbahan kulit seperti sentra sepatu Cibaduyut, jaket kulit Ciampelas, dompet dan tas kulit di daerah Cicadas, bisa jadi mereka meneruskan ketrampilan Manusia Prasejarah Dataran Tinggi Bandung yang sudah memiliki ketrampilan menyamak kulit binatang untuk membuat alas kaki dan pakaian dengan bahan kulit binatang. Demikianlah, keberadaan komunitas Manusia Prasejarah yang tinggal di Dataran Tinggi Bandung, sebelum Danau Bandung terbentuk.
Dalam legenda Sangkuriang-Dayang Sumbi juga disebutkan, bahwa sebelum Danau Bandung terbentuk  sudah ada penduduknya. Bukan hanya Danyang Sumbi,  dan Sangkuriang saja, yang merupakan Manusia Prasejarah penghuni awal Dataran Tinggi Bandung. Tetapi juga kepala suku dengan anak buahnya yang cukup banyak.Â
Mereka hidup dari berburu dan berladang. Mereka juga sudah mampu membuat rumah panggung yang dalam bahasa Sunda disebut ranggon. Kepala suku itulah yang dalam imajinasi penggubah legenda Sangkuriang- Dayang Sumbi, dinobatkan jadi seorang raja, Sungging Prabangkara.
Ketika terjadi bencana hebat letusan Gunung Tangkubanperahu, pastilah timbul banyak kurban. Tetapi ada juga sebagian kecil penghuni Dataran Tinggi Bandung yang berhasil menyelamatkan diri. Salah satu penghuni yang berhasil menyelamatkan diri dari Sungai Citarum yang meluap adalah Danyang Sumbi dan Sangkuriang. Tapi akhirnya keduanya juga tewas. Bukan oleh Sungai Citarum yang lagi meluap. Tapi tertimbun material vulkanik yang dimuntahkan Gunung Tangkubanperahu.
Jadi, pada masa Prasejarah, Sungai Citarum pernah banjir juga. Â Bukan karena hujan lebat. Tapi disebabkan letusan Gunung Tangkubanperahu pada 6 ribu SM.Â
Letusan itu begitu hebatnya, sehingga muntahan erupsi  material vukanik sebagian jatuh di utara Bandung, sebagian besar lagi jatuh di daerah Padalarang. Entah berapa ton material vulkanik yang dimuntahkan, sehingga yang jatuh di Padalarang mampu menyumbat aliran Sungai Citarum. Akibatnya pelan-pelan Sungai Citarum meluap dan terus meluap, sampai akhirnya menjelma menjadi Danau Bandung yang tidak pernah surut selama 3 ribu tahun.
Danau Bandung berada pada ketinggian 700 mdpl, Â dengan kedalaman 30 meter. Jadi, kedalaman Danau Bandung seperlimapuluhnya Danau Toba yang dalamnya mencapi 1600 meter. Tetapi kedalaman Danau Bandung hanya terpaut 16 m dari Laut Jawa yang dalamnya 46 meter. Sekalipun begitu, ke dalaman Danau Bandung menurut ahli geologi dari Musium Geologi Bandung, sebagaimana dikutip Haryoto Kunto, mampu dilayari kapal dengan bobot 50 ribu ton. Berapa luas Danau Bandung? Kurang lebih 1500 km persegi.Â
Batas timur danau di Cicalengka, dan batas barat di Padalarang. Batas utara Bukit Dago, dan batas selatan di Soreang. Jadi, pada jaman sekarang, bekas Danau Bandung itu mencakup suatu wilayah calon megapolitan, Bandung Raya. Mencakup empat admministrasi birokrasi, yakni Kota Bandung, Kabupaten Bandung Barat, Kabupaten Bandung, dan Kabupaten Sumedang.