“Betapa pun kecilnya dan sedikitnya harta yang dimiliki oleh seseorang itu tetap saja perlu selagi manusia hidup di dunia. Apalagi bagi seorang demang dari wilayah sima seperti Kakang. Bagaimana mungkin Kakang bisa memberi tongkat agar mereka tidak tergelincir, memberi minum agar mereka tidak kehausan, memberi makan agar mereka tidak kelaparan, memberi payung agar mereka tidak kehujanan, dan memberi pakaian agar mereka tidak telanjang jika Kakang miskin? Bahkan untuk bisa mendapatkan beras saja, Kakang mengharapkan uluran tangan dari orang lain? “kata Nyi Demang menyampaikan pandangannya.
“Harta, tahta dan wanita, memang bisa menjadi malapetaka jika dicari, dikejar dan diperoleh dengan ketamakan. Tetapi harta, tahta, dan wanita, akan bermanfaat jika dicari dengan benar dan digunakan untuk kepentingan kemanusiaan dan kesejahteraan bersama. Nafsu tamak akan harta, tahta dan wanita itulah yang akan menghancurkan peradaban dan kemanusiaan,” kata Nyi Demang masih melanjutkan.
“Benar sekali istriku. Aku setuju sepenuhnya dengan pendapatmu itu.” kata Ki Demang yang masih berbaring di samping istrinya sambil matanya menatap kosong langit-langit atap kamar tidurnya.
“Dan dalam soal tahta, Kakang lebih miskin lagi, bukan?” kata istrinya lagi, mengingatkan.
“Ya, Betul sekali. Hanya untuk membuka sawah baru saja agar kademangan ini tidak kekurangan pangan, harus minta ijin kepada Kanjeng Adipati Wirasaba lebih dahulu. Itu berarti aku miskin dalam soal-soal kekuasaan.” Ki Demang mengeluh kepada istrinya.
“Bahkan untuk bisa pergi ke Pakuan Pajajaran hanya untuk keperluan menghadiri pesta dan ritual perkawinan, Kakang pun harus minta ijin kepada Kanjeng Adipati dan Sang Raja Kediri bukan?” kata istrinya mengingatkan lagi.
“Kamu betul Istriku. Sesungguhnya aku merasa sakit hati sekali. Hanya untuk bisa sekedar menyenangkan kamu jalan-jalan ke Pakuan Pajaran saja aku tidak mampu. Padahal ongkos tidak menjadi masalah, bukan? Pastilah Raden Arya yang akan mengongkosi kita,” keluh Ki Demang pula.
“Nyai Kertisara dengan menggunakan sedikit kecerdasannya memanfaatkan pohon kelapa yang banyak tumbuh di Kaliwedi dan sepanjang Sungai Ciserayu, bisa menjadi orang kaya yang berarti memiliki kekuasaan atas harta. Padahal Kademangan Kejawar jauh lebih luas dari Kaliwedi. Kekayaan alam Kejawar juga jauh lebih luar biasa dari Kaliwedi. Tetapi kenapa Kakang tetap miskin? “tanya Nyi Demang.
“Itu karena Kakang tidak memiliki kekuasaan duniawi. Kakang hanya punya kekuasaan atas ritual-ritual keagamaan saja!” kata Nyi Demang menjawab sendiri pertanyaan yang diajukannya kepada suaminya.
“Benar sekali apa yang engkau katakan, istriku. Maafkan aku atas segala ketidakberdayaanku” kata Ki Demang pasrah.
“Kakang! Aku rela hidup miskin mendampingi Kakang, karena itu memang kewajiban sebagai seorang istri. Tetapi aku tidak rela anak kita Bagus kelak hanya mewarisi sebuah kemiskinan yang sama dengan kita. Aku tidak ingin Bagus hanya menjadi seorang pandita seperti ayahnya. Bagus harus menjadi seorang pandita sinatria. Itulah sebabnya aku sangat berharap Bagus kelak bisa belajar ilmu keprajuritan kepada Raden Arya. Syukur-syukur bila kelak Bagus bisa jadi menantunya Raden Arya. Jika Raden Arya kelak bisa membangun Kadipaten Kalipucang, kenapa Bagus kelak tidak bisa membangun Kademangan Kejawar menjadi sebuah Kadipaten? “ kata Nyi Demang dengan semangat menggebu-gebu.