Mendengar pernyataan pihak Kadipaten Pasirluhur-Dayeuhluhur, ketiga komandan pasukan Nusakambangan itu segera berunding dengan berbisik-bisik. Mereka sangat terkejut ketika mendengar Raja Pulebahas telah tewas. Lebih-lebih Patih Puletembini. Raja Pulebahas adalah kakak kandungnya.
“Tewas? Siapa yang telah membunuh kakak Saya?” Puletembini nampak emosi dan hampir-hampit tidak percaya berita itu. Sebab Puletembini tahu kedigdayaan kakaknya, antara lain tubuh Raja Pulebahas dikenal kebal terhadap serangan senjata tajam.
“Kamu boleh percaya atau tidak. Tetapi kenyataanya seperti itu,” kata Wirapati.
”Kamu boleh lihat jasadnya, setelah kamu menyatakan menyerah dan takluk.”
“Siapa yang membunuh kakak saya?” kembali Puletembini bertanya.
“Rajamu tewas karena digigit seekor lutung,” jawab Wirapati.
“Seekor lutung? Seekor lutung membunuh Raja Nusakambangan yang sakti mandra guna?”
“Sudah kubilang. Percaya boleh! Tidak juga boleh!” jawab Wirapati pendek.
Patih Puletembini bingung juga mendapat jawaban yang tidak masuk akal, tapi meyakinkan. Tidak masuk akal mana ada kakaknya yang terkenal kebal bisa dikalahkan oleh seekor lutung. Lutung apa-apaan? Tetapi jawaban yang diberikan Wirapati cukup meyakinkan, karena tidak ada komando atau perintah dari Raja Pulebahasas. Tapi akhirnya Patih Puletembini itu memperoleh jawaban dari hasil menduga-duga.
Patih Puletembini menduga Raja Pulebahas yang sakti itu ditangkap secara licik dan curang oleh pasukan Kadipaten Pasirluhur. Kalau dibunuh, Patih Puletembini berpikir tidak mungkin. Sebab kakaknya, kebal. Paling banter kakaknya hanya ditahan di suatu tempat yang tersembunyi. Patih Puletembini, sama sekali tidak tahu, bahwa gigitan seekor monyet akan menyebabkan daya kekebalan kakaknya akan musnah. Dan gigitan seekor monyet, merupakan pantangan bagi Raja Pulebahas. Dan jika itu terjadi, bisa berakibat fatal, yakni kematian.
Karena menduga kakaknya masih hidup, dan dalam keadaan tak berdaya. Maka Patih Puletembini bertekad untuk bertempur guna merebut dan menyelamatkan kakaknya, Raja Pulebahas yang disayanginya. Tiba-tiba Patih Puletembini berteriak memberi komando kepada pasukannya.
“Serbu!!!” teriaknya sambil jari telunjuk tangan kanannya ditujukan kepada Silihwarna.
Perang pun pecah!!!. Pasukan dari sektor utara, tidak mau kalah. Mereka langsung melemparkan tombak ke arah pasukan Nusakambnagan. Pasukan sektor barat dan timur, menyusul melemparkan tombaknya.
Pasukan Nusakambangan dihujani tombak dari timur, dari barat dan dari utara. Mendapat serangan secara mendadak seperti itu pasukan Gajah langsung bubar berantakan. Mereka tidak mengira akan dihujani tombak dari tiga jurusan. Pasukan Gajah barisan depan bersenjatakan pisau pendek bermata dua. Hanya pasukan yang ada dibelakangnya yang bersenjatakan tombak.
Pasukan pisau Nusakambangan mencoba berkelit dari lemparan tombak. Mereka pandai menggunakan loncatan salto agar terhindar dari mata tombak, sambil mendekati musuh. Setelah dekat baru pisau bermata dua itu dilemparkan ke arah musuh. Jika gagal dilanjutkan dengan duel satu lawan satu.
Lain dengan Tumenggung Surajaladri. Dia memang ahli melempar pisau. Dalam waktu singkat dia bisa melemparkan sepuluh pisau bermata dua ke arah musuh. Dan lemparannya jarang meleset. Pada pinggangnya berderet pisau andalannya. Tujuh pisau sudah dilemparkan ke arah Silihwarna. Untunglah Silihwarna menguasai jurus monyet putih, sehingga ketika mendapat serangan lemparan pisau secara beruntun, dia bisa berkelit dengan melakukan gerakan yang indah dan lincah bagaikan seekor monyet yang tengah menari.
Sayangnya Silihwarna tidak sempat membalas, karena lemparan pisau Tumenggung Surajaladri sangat cepat dan tiba secara beruntun. Silihwarna memang mampu berkelit, tetapi akibatnya, tujuh pisau yang dilemparkan Tumenggung Surajaladri semuanya mengenai prajurit yang ada dibelakang Silihwarna. Mereka yang terkena pisau nyasar itu, langsung tewas. Untunglah dari belakang Raden Silihwara, melesat sebuah tombak yang bergerak bagaikan kilat mengarah kepada Tumenggung Surajaladri yang akan melemparkan pisau ke delapan. Tombak yang datang bagaikan kilat itu, tak sempat dihindarkan oleh tumenggung pelempar pisau yang hebat itu. Tombak yang melesat itu tepat menancap di dada Tumenggung Surajaladri. Dia pun langsung roboh ke tanah.
Ketika Silihwarna melihat ke belakang untuk mengetahui siapakah yang melemparkan tombak begitu bertenaga dan tombaknya meluncur begitu cepat bagaikan anak panah, Silihwarna melihat Uwak Lengser yang tersenyum kepada Silihwarna. Uwak Lengser Kamandakalah yang telah melemparkan tombak dan menewaskan tumenggung pelempar pisau andalan prajurit Nusakambangan itu.
Patih Puletembini juga pelempar pisau, tetapi tidak secakap Tumenggung Surajaladri. Pisau-pisau yang dilemparkan kepada Wirapati nyaris gagal semuanya, karena mudah dihindari Wirapati dan prajuritnya. Sama dengan Kamandaka, Wirapati juga pelempar tombak yang hebat. Setelah persediaan pisau Patih Puletembini habis dan sedang menunggu pasokan dari pembantunya, Wirapati tidak mau melepaskan kesempatan yang baik itu. Sebuah tombak dilemparkan kearah Patih Puletembini.
Patih Puletembini sebenarnya sempat melihat mata tombak yang mengarah ke dadanya. Karena itu, dia ingin menunduk, tapi sudah terlambat. Satu-satunya jalan yang paling cepat ialah berkelit dengan memutar tubuhnya. Gerakan ini pun tidak menolongnya. Sebab, mata tombak yang dilemparkan sudah menyentuh punggungnya yang terlambat memutar. Mata tumbak yang dilemparkan Wirapati, menghunjam punggung Patih Pulatembini, menerobos merusak tulang rusuknya. Patih Puletembini langsung tumbang terkapar di atas tanah.
Sementara itu. Rangga Singalaut juga pelempar pisau yang hebat. Sudah lebih dari sepuluh buah pisau yang dilemparkan ke arah Arya Baribin. Tetapi Arya Baribin juga pendekar hebat yang menguasai jurus Bandung Bandawasa. Jurus Bandung Bandawasa sebenarnya jurus yang mengandalkan pada pukulan dengan tangan kosong. Sebenarnya gerakan jurus Bandung Bandawasa tidak terlalu bervariasi. Tetapi gerakannya memang sangat bertenaga. Tendangan jarak dekatnya yang cepat, bisa menghasilkan gerakan yang memutar bagaikan baling-baling, sehingga dengan mudah dapat melumpuhkan banyak lawan. Tetapi sekaligus juga bisa untuk menghindari serangan senjata yang datang secara beruntun.
Karena itu bagi Arya Baribin, menghadapi lemparan pisau yang bertubi-tubi datang kepadanya, dia tidak terlalu repot. Dengan mudah Arya Baribin berkelit, membuat gerakan salto, sehingga makin lama, Arya Baribin makin mendekati posisi Rangga Singalaut. Rangga Singalaut tahu Arya Baribin sengaja mendekati, karena ingin mengajak berkelahai dari jarak dekat.
Semakin dekat Arya Baribin, semakin sulit Rangga Singalaut melemparkan pisaunya. Akhirnya terpaksa Rangga Singalaut melayani Arya Baribin dalam perkelaihan dari jarak dekat. Rangga Singalaut hanya mengandalkan pisau yang ada ditangannya. Tentu saja Rangga Singalaut bukanlah lawan yang seimbang bagi Arya Baribin yang menguasai jurus Bandung Bandawasa yang mengandalkan pukulan tangan kosong untuk melumpuhkan lawan.
Tetapi kali ini, Arya Baribin ingin memanfaatkan pusaka kujang pemberian Ratna Pamekas yang terselip dipinggangnya. Tiba-tiba Arya Baribin melihat pisau Rangga Singalaut mengarah ke arah lehernya. Arya Baribin membungkuk dan menggunakan kaki untuk menyapu kuda-kuda kaki Rangga Singalaut. Rangga Singalaut meloncat ke atas untuk menghindari serangan rendah. Tetapi gerakan melenting ke atas itulah yang justru ditunggu-tunggu Arya Baribin yang segera meloncat menyusul Rangga Singalaut dengan menggunakan gerakan tendangan memutar.
Rangga Singalaut mengira Arya Baribin hendak menggunakan tandangan kaki yang memutar ke arah lehernya. Karena itu, dia cepat menunduk. Arya Baribin melihat leher Rangga Singalaut terbuka. Tanpa membuang waktu, secepat kilat Arya Baribin mencabut senjata kujang pusaka yang ada dipinggangnya. Ujung senjata kujang dari Ratna Pamekas, tahu-tahu sudah bersarang di leher kiri Rangga Singalaut dan memutuskan urat lehernya. Rangga Singalaut langsung jatuh terpuruk mencium tanah. Rangga Singalaut tewas seketika menjadi korban kesaktian Kujang Kencana Shakti pusaka Kerajaan Pajajaran.
Melihat tiga komandannya tewas semua, prajurit Nusakambangan yang tersisa langsung menyatakan menyerah dan meletakkan senjata. Mereka bagaikan anak ayam yang kehilangan induknya. Pasukan bagian depan memang yang paling banyak menjadi korban, karena mereka rata-rata tidak siap untuk bertempur. Senjata yang dibawanya rata-rata senjata untuk serangan jarak dekat. Karena itu ketika dihujani tombak, mereka tidak siap untuk menghindar atau pun menangkis. Karena itu pasukan bagian depanlah yang lebih dulu meletakkan senjata. Dan mereka pula yang banyak menjadi korban.
Lain halnya dengan pasukan belakang prajurit Nusakambangan yang memang sengaja disiapkan untuk berjaga-jaga dari segala kemungkinan. Mereka lebih siap bertempur. Mereka tidak segera menyerah dan masih mencoba mau melawan.
Dan mereka memang menyembunyikan senjata tombak yang mereka bawa. Ketika pertempuran meletus, dari merekalah tombak-tombak dilemparkan. Dan sasaran pasukan tombak Nusakambangan adalah pasukan lawan yang paling dekat dan paling mudah dijangkau. Pasukan itu tidak lain adalah pasukan dari sektor timur, anak buah Arya Baribin.
Pasukan sektor timur yang datang dari Rawalo itu memang unik. Semua terdiri dari 400 prajurit. Yang 200 orang sudah terlatih. Dan senjata andalan utamanya juga tombak, seperti juga pasukan dari sektor barat dan utara. Memang ada beberapa orang dari prajurit yang sudah terlatih itu yang bersenjatakan pedang, untuk persiapan menghadapi pertempuran jarak pendek. Di samping 200 orang parjurit yang sudah terlatih, sektor timur memiliki 200 prajurit yang dilatih secara dadakan. Mereka terdiri dari sukarelawan yang sudah akrab menggunakan senjata pendek, yaitu sabit.
Arya Baribin memang terpaksa harus melatih 200 orang yang aktivitasnya sehar-hari sebagai penderes. Kurang lebih 90 hari Arya Baribin melatih mereka ilmu beladiri. Karena mereka adalah para penderes yang secara suka rela ingin ikut berperang, Arya Baribin melatih mereka bukan ketrampilan menggunakan pedang, tombak, tongkat atau pun pisau. Mereka dilatih menggunakan sabit sebagai senjata andalan mereka. Karena itu mereka dikenal sebagai pasukan sabit. Selain itu tentu saja mereka dilatih ilmu beladiri tangan kosong
Mereka mendapat pelatihan yang intensif dan dipersiapkan dengan sebaik-baiknya, kurang lebih tiga bulan sebelum perang. Tempat berlatih mereka di Pusat Latihan Kendalisada. Di sana dibangun perkemahan khusus untuk berlatih. Arya Baribin dibantu pelatih pembantu, Jigjayuda dan Lurah Karangjati. Termasuk yang ikut latihan masuk kelompok pasukan sabit adalah Rekajaya.
Usia Rekajaya sebenarnya sudah tidak muda lagi. Dia pernah mohon ijin kepada Kamandaka. Kamandaka sebenarnya pada awalnya melarangnya jika Rekajaya ikut terjun menjadi pasukan tempur. Tetapi karena Rekajaya beralasan ingin menguasai ilmu beladiri, maka akhirnya Kamandaka mengijinkannya dengan catatan hanya untuk ikut belajar ilmu beladiri saja. Selanjutnya dalam perang tempat tugasnya bukan di garis depan. Tetapi cukup di garis belakang saja.
Tentu saja Rekajaya menjadi satu-satunya peserta yang paling tua. Tetapi semangat Rekajaya untuk berlatih sangat luar biasa. Akhirnya, disela-sela waktu istirahat, Arya Baribin memberikan latihan tambahan dan beberapa dasar ilmu pernafasan untuk meningkatkan kekebalan dan kecepatan bergerak. Ternyata ketekunan Rekajaya, memberikan hasil yang lumayan. Tidak kalah dengan anggota pasukan sabit yang lebih muda. Bahkan Rekajaya diangkat menjadi wakil komandan pasukan sabit atas usul anggota pasukan sabit yang lain(bersambung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H