Mohon tunggu...
anwar hadja
anwar hadja Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Pendidik di Perguruan Tamansiswa Bandung National Certificated Education Teacher Ketua Forum Pamong Penegak Tertib Damai Tamansiswa Bandung Chief of Insitute For Social,Education and Economic Reform Bandung

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Novel : Kisah Cinta Dewi Ciptarasa - Raden Kamandaka (83)

9 Mei 2016   00:52 Diperbarui: 9 Mei 2016   01:04 162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

Dalam pertemuan itu, selain dihadiri Sang Dewi, ikut hadir juga Kanjeng Ayu Adipati, Dyah Ayu Mayangsari dan Dyah Ayu Ratna Pamekas. Kehadiran para wanita itu adalah dalam rangka memberikan semangat dan mempertebal daya juang untuk dapat memenangkan perang. Kehadiran Sang Dewi sangat penting, karena dalam perang dengan Nusakambangan itu Sang Dewi akan berada di pusat pertempuran, sehingga Sang Dewi harus tahu persis gambaran dari pertempuran yang akan terjadi itu.

 “Sekarang marilah kita dengar formasi perang yang akan digelar untuk  menghadapi Kerajaan Nusakambangan. Lebih dulu silahkan  Dinda Wirapati yang banyak mengetahui strategi perang macam apa yang biasa digelar oleh prajurit Nusakambangan. Keterangan yang berhasil dikumpulkan, menyebutkkan bahwa  Kerajaan Nusakambangan adalah Kerajaan Lautan yang paling tangguh di Lautan Selatan. Kerajaan Nusakambangan ini memiliki prajurit-prajurit yang terlatih dengan baik, memiliki disiplin yang tinggi, dan memiliki panglima-panglima perang yang hebat. Gerakan pasukannya sangat cepat. Daerah pantai yang telah dilindas kekuatan prajurit perang Nusakambangan antara lain Kadipaten Kalipucang di bagian barat daratan dan Kadipaten Banakeling di bagian  timur daratan. Kedua kadipaten yang memiliki wilayah luas di pantai selatan itu, sekarang berada di bawah kekuasaan Nusakambangan. Silahkan Dinda Wirapati,” kata Raden Kamandaka yang mempersilahkan Raden Wirapati untuk berbicara.

 “Benar sekali apa yang dikatakan Kanda Kamandaka mengenai kekuatan prajurit Nusakambangan,” kata Raden Wirapati mengawali penjelasannya.

”Kebetulan Ayunda Dewi banyak membaca kitab Mahabharata dan Ramayana yang berisi riwayat perang-perang besar.”

 “Ayunda Dewi pernah memberikan pendapatnya dalam suatu diskusi yang sering kami lakukan berdua. Menurut pendapat Ayunda Dewi jika prajurit Nusakambangan menyerang Kadipaten Dayeuhluhur sekarang ini, Kadipaten Dayeuhluhur juga akan jatuh seperti Kadipaten Kalipucang dan Kadipaten Banakeling. Demikian pula jika Kerajaan Nusakambangan menyerang Kadipaten  Pasirluhur sekarang ini, Kadipaten Pasirluhur juga akan mengalami nasib yang sama.

 “Menurut Ayunda Dewi, prajurit Kerajaan Nusakambangan memiliki kemampuan yang luar biasa. Mereka bisa  menggelar siasat perang yang cepat dan mematikan musuh-musuhnya, yang disebut siasat perang Gilinganrata. Siasat perang ini berupa formasi bentuk kereta perang yang bergerak dengan kecepatan tinggi untuk menggilas musuhnya dengan roda-roda kereta perangnya yang berputar dengan cepat.

 “Untuk membentuk formasi perang Gilinganrata ini tidak mudah. Diperlukan ketrampilan individu yang tinggi, tetapi bisa tetap menjaga kekompakan kelompok. Panglima perangnya  harus bisa mengerahkan prajuritnya secara besar-besaran yang harus bisa bergerak dengan cepat. Sebab tujuan dari formasi Gilinganrata adalah melindas musuh dengan segera dan membinasakannya seketika juga.

 “Panglima yang menyusun formasi ini memang harus seorang panglima perang yang ulung yang bisa membuat musuh tak berdaya untuk melawan. Prajurit Nusakambangan rajin berlatih dan memang memiliki prajurit-parjurit yang hebat seperti Patih Puletembini, Tumenggung Surajaladri dan Rangga Singalaut dan lainnya lagi. Bahkan mereka pernah punya prajurit wanita yang hebat dan menguasai seni bela diri tingkat tinggi, yakni Nyai Gede Wulansari.

 “Formasi perang kedua yang dimilki prajurit Nusakambangan yang juga tidak kalah hebatnya adalah formasi Diratameta, yang artinya adalah formasi gajah mengamuk. Formasi ini berbentuk gajah yang yang sedang marah dan mengamuk, sehingga belalainya dan gadingnya sangat berbahaya. Dalam menggelar formasi ini, biasanya Patih Puletembini berposisi memimpin sejumlah prajurit yang bertindak sebagai belalai. Rangga Singalaut dan Tumenggung Surajaladri  berposisi memimpin sejumlah prajurit yang bertindak sebagai sepasang gading.

 “Kita tidak tahu formasi mana yang akan disiapkan oleh prajurit Nusakambangan pada saat perang menghadapi gabungan Pasirluhur-Dayeuhluhur kelak. Akan tetapi ada kelemahan dari prajurit Nusakambangan terutama para panglima perangnya. Mereka adalah penyembah aliran sesat dan menggunakan ilmu hitam untuk meningkatkan daya kekebalan tubuh mereka. Mereka adalah para penyembah Maha Dewa Ditya Kala Rembuculung. Mereka secara rutin menyelenggarakan ritual persembahan perawan suci dengan cara menculik anak-anak gadis. Semua itu dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan bertempur mereka dengan menggunakan pertolongan ilmu hitam.

 “Tetapi ilmu hitam sejenis ini, sebenarnya mudah sekali dilawan. Mereka punya pantangan takut setengah mati dengan segala jenis monyet. Jika sampai tergigit monyet, bukan hanya kekebalan yang mereka miliki hilang. Nyawa mereka pun akan secepatnya meninggalkan tubuh mereka,” kata Raden Wirapati mengakhiri keterangannya.

 Raden Kamandaka kembali mengambil alih pembicaraan dengan mengajak para peserta pertemuan untuk merenungkan dan mengendapkan dengan sebaik-baiknya semua hal yang telah disampaikan wakil panglima tinggi dan panglima komandan operasi sektor barat itu.

 “Itulah tadi penjelasan dari Dinda Wirapati yang menarik sekali. Telah dijelaskan kekuatan formasi perang Kerajaan Nusakambangan, tetapi sekaligus juga kelemahan-kelemahan yang mereka miliki. Sekarang, marilah kita dengar pandangan-pandangan tentang ilmu perang hasil telaah Dinda Dewi dari rontal-rontal yang berisi kisah-kisah tentang peperangan besar, seperti perang Bharata Yudha dan perang Brubuh Alengka. Silahkan Dinda Dewi,” kata Raden Kamandaka kepada Sang Dewi yang duduk di sampingnya.

 “Baiklah Kanda Kamandaka,“ kata Sang Dewi, “Suatu kadipaten, ataupun kerajaan manapun tanpa memiliki kemampuan berperang yang memadai, pastilah akan cepat runtuh dan rakyatnya akan diperbudak oleh sang penakluk. Apakah kita akan membiarkan rakyat Kadipaten Pasirluhur dan Kadipaten Dayeuhluhur diperbudak oleh Nusakambangan?” tanya Sang Dewi kepada peserta rapat yang segera dijawab dengan penuh semangat,”Tidaakkkk!”

“Terimakasih,” kata Sang Dewi. “Apakah kita akan membiarkan gadis-gadis yang cantik-cantik dari Pasirluhur dan Dayeuhluhur, diculik prajurit Nusakambangan untuk dikorbankan dalam ritual aliran sesat?”

 Kembali para peserta menjawab serentak dan penuh semangat,” Tidaaakkk!!!”

 “Terimakasih! Kita hanya bisa mempertahankan kemerdekaan dan kebebasan kita sehingga terlepas menjadi budak, hanya apabila kita menguasai ilmu perang. Kita hanya bisa melindungi anak-anak gadis kita dari penculikan-penculikan yang terus dilakukan oleh prajurit Nusakambangan, hanya apabila kita menguasai ilmu perang. Apakah ilmu perang itu sebenarnya?” tanya Sang Dewi kepada hadirin yang hanya dijawab dengan tatapan sinar mata keinginan yang besar untuk memperoleh pengetahuan apa itu hakekat dari ilmu perang.

 “Perang itu sebenarnya merupakan seni, ketrampilan dan keahlian untuk mempertahankan keselamatan diri sendiri, keluarganya, masyarakatnya, bangsanya dan tanah airnya. Perang bukanlah ketrampilan untuk menaklukan masyarakat dan bangsa lain untuk kemudian memperbudak dan menguasai mereka. Perang bukanlah ilmu untuk menjajah dan memperbudak kemanusiaan. Perang, sekali lagi, adalah ilmu untuk mempertahankan dan membela diri. Karena itu kita harus terus mewariskan semangat, daya juang, dan nilai-nilai perjuangan dan ilmu perang kepada generasi penerus dari para penduduk yang tinggal di lembah Ciserayu. Kita hanya bisa memenangkan perang dengan Kerajaan Nusakambangan hanya apabila kita memiliki semangat bersatu padu untuk bisa menggabungkan kekuatan-kekuatan perang yang terpisah-pisah yang dimiliki oleh masyarakat menjadi satu kekuatan. Apa sebab Kadipatan Kalipucang dan Banakeling, dengan begitu mudah dilindas kekuatan perang prajurit Nusakambangan? Karena Banakeling dan Kalipucang tidak mau bersatu,” kata Sang Dewi.

 “Lihatlah Sungai Ciserayu dan sungai-sungai besar lainnya. Sungai Ciserayu menjadi sebuah sungai yang besar dan arusnya lebih bertenaga dan lebih hebat, karena ke dalam Sungai Ciserayu telah mengalir anak-anak sungai, seperti Sungai Cingcinggoling, Sungai Logawa dan anak-anak sungai yang lain. Kenapa Sungai Logawa lebih besar dari Sungai Kabunan dan Sungai Banjaran? Karena kedalam Sungai Logawa telah mengalir anak-anak sungainya. Tenaga yang dimiliki Sungai Logawa, adalah gabungan dan persatuan dari tenaga anak-anak sungainya. Hanya apabila semua anak-anak sungai bersatu padu, maka semua anak sungai itu akan bisa mencapai tujuannya, yaitu bermuara di Samudra Raya yang luas, bebas , damai dan merdeka. Mencapai Samudra yang luas yang menjanjikan kemerdekaan, kebebasan dan keadilan, itulah sejatinya tujuan dari setiap perang,”  kata Sang Dewi melanjutkan.

 “Kita pun akan bisa memenangkan perang dengan Nusakambangan apabila kekuatan perang Dayeuhluhur dan Pasirluhur bersatu padu melawan kekuatan perang Kerajaan Nusakambangan. Kita akan memenangkan perang, bila pusat-pusat pelatihan prajurit di Dayeuhluhur, di Baturagung dan di Kendalisada, dibawah panglima-panglima perangnya bersatu padu melawan prajurit Nusakambangan. Untuk memenangkan perang, tentu saja semangat bersatu saja tidak cukup,” kata Sang Dewi masih melanjutkan penjelasannya.

  “Pusat-pusat pelatihan prajurit harus bisa dijadikan mandala untuk meningkatkan ketrampilan dan kecakapan ilmu perang. Pelatihan-pelatihan tidak cukup dengan hanya mengandalkan ketrampilan perang berbasis daratan. Ketrampilan perang berbasis sungai dan lautan juga harus diajarkan,” kata Sang Dewi dengan semangat.Sang Dewi berhenti sejenak. Dilihatnya semua wajah pendengarnya. Nampak semuanya mendengarkan apa yang dikatakan Sang Dewi dengan penuh perhatian. Sang Dewi bangga juga, kata-katanya disimak dengan sungguh-sungguh.

 “Untuk pusat pelatihan Dayeuhluhur, sungai Cijolang, Cikijing, dan Citanduy bisa dijadikan tempat latihan ketrampilan perang berbasis sungai,” kata Sang Dewi melanjutkan. “Untuk pusat pelatihan Baturagung, Sungai Kabunan dan Logawa bisa dijadikan tempat latihan ketrampilan perang berbasis sungai. Sedangkan untuk pusat latihan Kendalisada, bisa memanfaatkan Sungai Ciserayu dan Cingcinggoling.”

 Sang Dewi kembali diam, memberi kesempatan pada para pendengarnya mencernakkan dengan baik apa yang telah disampaikannya. Para pendengarnya itu termasuk juga para carik, lurah, ngabehi, rangga, tumenggung dan para punggawa Kadipaten Pasirluhur lainnya.

 “Bagi Kanda, ada sumbangan gagasan Dinda Dewi yang menarik,” kata Raden Kamandaka setelah Sang Dewi selesai memberikan pandangan-pandangannya tentang ilmu perang.

  “Yaitu perlunya menjadikan sungai dan lautan sebagai bagian dari basis ketrampilan berperang. Dengan demikian sangat jelas bahwa ketrampilan perang yang utuh bukan hanya didasarkan pada kemampuan menguasai daratan saja. Tetapi perlu juga ketrampilan untuk menguasai sungai dan lautan. Bisa jadi inilah kelebihan Kerajaan Lautan Nusakambangan.

 “Mereka mampu mengembangkan ilmu perang berbasis daratan dan lautan, karena lingkungan mereka sangat mendukung. Saran Dinda Dewi agar ketrampilan perang berbasis sungai diajarkan kepada prajurit-prajurit kita, dimaksudkan untuk bisa mengimbangi dan sekaligus bisa mengungguli ketrampilan perang prajurit Nusakambangan. Terima kasih Dinda Dewi atas sumbangan pemikirannya yang bermanfaat untuk meningkatkan kemampuan prajurit-prajurit kita dalam ilmu perang. Jika tidak ada yang menyampaikan keberatan, berarti apa yang disampaikan Dinda Dewi, bisa disepakati?” tanya Raden Kamandaka yang sebenarnya ditujukan kepada para punggawa Kadipaten yang hadir dalam rapat itu. Karena Ki Patih dan Kanjeng Adipati setuju, tentu saja semua punggawa yang hadir langsung memberikan dukungan sepenuhnya.

 “Sekarang yang terakhir, mari kita dengar bersama pemaparan Dinda Dewi lagi soal formasi perang prajurit gabungan Pasirluhur-Dayeuhluhur. Formasi perang apa  yang sebaiknya dipilih untuk menghadapi Nusakambangan. Silahkan Dinda Dewi,” kata Raden Kamandaka mempersilahkan kepada Sang Dewi untuk berbicara kembali.

 “Dinda Wirapati?“ Sang Dewi berpaling kepada Raden Wirapati menawarkan untuk berbicara lebih dulu. Tetapi Raden Wirapati menggelengkan kepalanya, suatu tanda dia mempersilahkan Sang Dewi saja yang berbicara soal formasi perang yang akan digelar menghadapi Nusakambangan.(bersambung)

Disain by anwar hadja

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun