1.De Graaf, Bapak Sejarah Jawa.
Sejarawan Belanda De Graaf dalam telaahnya mengenai Kadipaten Wirasaba telah menemukan fakta historis kapan tahun terjadinya tragedi Sabtu Pahing dengan menggunakan Babad Banyumas sebagai salah satu sumber referensi buku yang ditulisnya, “Kerajaan Islam Pertama di Jawa, Tinjauan Sejarah Politik Abad XV dan XVI.” Apa pendapat De Graaf tentang tahun wafatnya Adipati Wirasaba VI atau Wargahutama I?
De Graaf menulis tentang wilayah Kedu, Bagelen dan Banyumas abad XV pada hal 240- 241 sbb:
“Ceritera Mataram memberitakan para penguasa setempat dari Kedu dan Bagelen yang dalam perjalanannya ke timur untuk menyerahkan upeti tahunan ke Kraton Pajang terbujuk oleh Senopati di Mataram untuk mengakuinya sebagai Raja dan tidak meneruskan perjalanannya ke Pajang. Para kepala daerah itu mungkin yang disebut kenthol-kenthol Bagelen, yang sampai abad XX masih dikenal orang. Salah seorang penguasa Bagelen, Yang Dipertuan di Bocor, ingin tetap taat kepada Raja Pajang, mencoba membunuh Senapati, tetapi gagal. Oleh karenanya, ia yakin bahwa Raja Mataramlah yang berhak memerintah seluruh Jawa. Dalam sejarah setempat di Pasir –suatu daerah di aliran Sungai Serayu (sekarang daerah Banyumas)-nama Bocor disebut sebagai tempat seorang penguasa Pasir yang murtad terhadap agama Islam dan mengasingkan diri, karena wilayah warisannya diduduki oleh tentara Sultan Demak yang ingin menegakkan kembali pemerintahan Islam. Mungkin Yang Dipertuan di Bocor pada paruh kedua abad XVI tidak mau mengikuti begitu saja kekuasaan Senapati, karena ia berasal dari keturunan para Adipati Pasir, yang berkedudukan penting di Keraton Demak. Lain dari pada itu, dari babad itu juga dapat disimpulkan bahwa kekuasaan Sultan Pajang diakui dalam perempat ketiga abad XVI di Kedu dan Bagelen.
“Dalam Babad Banyumas diberitakan bahwa Sultan Pajang memerintahkan pembunuhan atas Yang Dipertuan di Wirasaba (suatu daerah disebelah utara Banyumas) yang bernama Warga Utama. Suatu kronik Jawa menyebutkan tahun 1500 J ( 1578 ) sebagai tahun pendudukan Wirasaba. Apabila kedua berita ini dibandingkan, dapat diperkirakan bahwa Kraton Pajang dalam tahun-tahun pemerintahan Raja Adiwijaya masih ingin meneguhkannya di daerah pedalaman dengan kekerasan senjata. Ceritera tentang Bocor dan Wirasaba tidak bertentangan.” demikian De Graaf menulis komentar daerah Wirasaba, setelah menceriterakan panjang lebar tentang Kedu, Bagelen, Pasir dan Bocor, dalam hubungannya dengan usaha Pajang untuk menegakkan kekuasaannya atas daerah itu dengan kekerasan.( De Graaf; Kerajaan Islam Pertama Di Jawa;2001,hal:240-241)
Dari telaah De Graaf, kita tahu bahwa kisah tewasnya Adipati Wirasaba VI atau Adipati Wargahutama I yang dikenal dalam ceritera rakyat Banyumas sebagai tragedi Sabtu Pahing itu terjadi pada tahun 1578 M. De Graaf menyebutnya sebagai tahun pendudukan Wirasaba. Saat terjadi pendudukan Wirasaba itulah terjadi tindakan kekerasan yang mengakibatkan tewasnya Adipati Wirasaba VI.
Dalam tradisi lokal, baik yang berupa ceritera rakyat maupun tertulis dalam sejumlah babad lokal, kisah terbunuhnya Sang Adipati nampak sangat diperhalus, sehingga terkesan tragedi Sabtu Pahing itu bukan suatu tindakan kekerasan. Tetapi suatu kekhilafan dari seorang Raja yang harus dimaafkan oleh kawulanya. Dalam kerajaan yang bersifat totaliter dan otoreter, memang para kawula wajib menyembunyikan perasaan ketidaksenangannya dan kekecewaannnya pada Sang Raja. Tetapi tafsir apapun yang terjadi, tidak mengurangi hasil rekonstruksi De Graaf, bahwa tragedi Sabtu Pahing yang telah menewaskan Adipati Wirasaba itu terjadi pada tahun 1578 M.
Tidak ada alasan untuk meragukan pernyataan De Graaf tersebut. Tahun 1578 M sebagai tahun wafatnya Adipati Wirasaba VI dapat dipertanggungjawabkan, sesuai dengan kenyataan yang sesungguhnya, dan merupakan fakta sejarah. Kepakaran dan otoritas De Graaf dalam mempelajari karya babad telah diakui sendiri oleh Sugeng Priyadi ( hal 38 ). Karena itu pendapat De Graaf yang menyebutkan tahun terbunuhnya Adipati Wirasaba Wargautama I terjadi pada tahun 1578 M, tentunya lebih memiliki kredibititas yang tinggi dari pada data yang ada dalam Babad Kranji-Kedungwoeloeh yang menyatakan bahwa Adipati Wirasaba Wargahutama I terbunuh tahun 1570 M!
Pendapat De Graaf itu lebih layak dijadikan salah satu pertimbangan dalam menentukan hari jadi Kabupaten Banyumas. Apalagi pernyataan De Graaf itu sesuai pula dengan analisa filologi yang telah dibahas di atas, bahwa tahun wafatnya Adipati Wirasaba VI adalah tahun 1578 M.
Dengan demikian tahun 1578 M sebagai fakta sejarah dari tahun wafatnya Adipati Wirasaba telah didukung oleh analisa historis dan analisa filologi. Analisa historis berasal dari kajian De Graaf, sedang analisa filologis berasal dari analisa yang telah kita lakukan terhadap alinea hal 25-26 dalam Naskah Babad Banyumas versi ISBB yang yang telah dikutip Sugeng Priyadi pada hal 19 buku yang kita bicarakan ini.
Agak mengherankan juga, jika kita teliti daftar literatur yang dijadikan Sugeng Priyadi sumber referensi dari buku yang ditulisnya, sama sekali tidak ditemukan buku karya De Gaaf di atas. Buku De Graaf di atas membicarakan konflik Pajang Wirasaba dengan menggunakan Babad Banyumas sebagai salah satu sumber referensinya. Padahal rekonstruksi sejarah kapan Adipati Wirasaba VI atau Wargahutama I terbunuh dalam tragedi Hari Sabtu Pahing, sangat penting dan merupakan kunci untuk mengetahui kapan Jaka Kahiman, pendiri kota Banyumas itu diangkat Sultan Pajang menggantikan mertuanya yang tewas.
Sebagai peneliti, Sugeng Priyadi ternyata hanya menyantumkan satu buku karya De Graaf yang merupakan disertasi De Graaf, ”Terbunuhnya Kapten Tack, Kemelut Di Kartasura Abad XVII”. Dan soal Banyumas dalam buku ini hanya disinggung dengan mengisahkan dua anak buah Surapati yang menimbulkan kraman di daerah Banyumas, yang namanya Saradenta dan Saradenti. De Graaf mengisahkan pemberontakan anak buah Untung Surapati dalam alinea yang sangat singkat “Karena mendapat laporan Adipati Banyumas, Amangkurat II(1677 -1703 ) menugaskan untuk memadamkan kraman di daerah Banyumas. Usaha itu dengan mudah dilakukan Untung Surapati. Dua kepala Saradenta- Saradenti yang telah dipenggal di bawa ke Kartosura”.
Mengomentari pemberontakan Saradenta dan Saradenti itu, Sugeng Priyadi melaporkan bahwa jenasah kedua kraman itu dikuburkan di pemakaman desa Pekunden ( hal 56 ). Tentu yang dimakamkan hanya gembungnya saja, karena kepala kedua pemberontak itu telah dibawa ke Kartasura.
Seandainya saja Sugeng Priyadi menggunakan karya De Graaf, ”Kerajaan Islam Pertama Di Jawa” sebagai salah satu sumber referensinya, dengan mudah Sugeng Priyadi akan menemukan telaah De Graaf kapan Adipati Wirasaba Wargautama II tewas dibunuh gandhek atau utusan Sultan Pajang Adiwijaya. Tetapi Sugeng Priyadi rupanya lebih suka memilih sebagai sumber referensinya, buku W. Fuin Mees berjudul Geschiedenis van Java, deel II, Weltevreden, Uitgave van de Volkslectuur,1920.
Ada memang artikel Fruin Mees yang dipakai oleh De Graaf sebagai sumber referensinya berjudul, Winrick Kieft en zijn rapport over zijn gezantschap naar Mataram 1655 M. Tetapi artikel Fruin Mees itu hanya dipakai untuk menjelaskan kedatangan orang Belanda Winrick Kieft ke Katon Plered yang bermaksud menghadap Sunan Amangkurat I. Orang Belanda itu tidak bisa menghadap Amangkurat I, hanya bisa diterima oleh Tumenggung Pati. Kisah selama berada di pusat Keraton Mataram itulah yang ditulis oleh Fruin Mees. Tidak ada kisah wafatnya Raja Pajang tahun 1582 M dalam artikel Fruin Mees yang digunakan De Graaf sebagai rujukannya.
2.Sumbangan Sukarto Kartoatmodjo
Sebuah Fragmen :
Ibarat sebuah rumah, hari jadi kota dan Kabupaten Banyumas sebenarnya telah dipikirkan dan diletakkan dasar-dasarnya oleh tokoh-tokoh Banyumas tempo doeloe dalam karya-karya mereka. Patih R.Wiriyaatmaja telah membangun fondasi rumah, Patih Purwosuprojo telah memikirkan kerangka dinding dan kerangka atapnya, RMS.Brotodirejo dan R.Ngatijo Darmosuwondo sudah memikirkan dinding tembok dan atapnya. Namun calon rumah Kabupaten itu belum punya pagar pembatas halamam dan pekarangan dan belum punya daun jendela, daun pintu dan kunci.
Sukarto yang cerdik tetapi bukan wong Banyumas itu pada tahun 1989 M dimintai tolong oleh Pemda Banyumas agar rumah warisan leluhur wong Banyumas itu dapat digunakan dan ditetapkan status kepemilikannya. Sebagi seorang peneliti senior tentu Sukarto harus melakukan survai mendatangi lokasi, untuk melihat komponen-komponen apa yang diperlukan agar rumah warisan leluhur wong Banyumas itu bisa digunakan dan memiliki status yang jelas. Begitu datang ke lokasi, Sukarto langsung takjub, karena leluhur wong Banyumas ternyata cerdas-cerdas. Agar supaya rumah itu siap digunakan dan memiliki batas yang legal, nyaris 80 % sudah selesai. Sukarto tambah kagum lagi, desain bangunan rumah Kabupaten warisan masa lalu itu nyaris merupakan replika dari bangunan-bangunan sejenis di Mataram tempo doeloe yang tentu saja Sukarto sangat akrab dan tidak asing.
Karena kecerdikannya Sukarto tidak harus berkeringat dengan membangun fondasi baru dan membongkar yang lama, membangun kerangka tiang dan atap baru dan membongkar yang lama, mencari bahan atap dan bahan dinding tembok yang baru dan membuang dinding dan atap yang lama. Yang diperlukan tinggal mengecat, cari daun pintu dan jendela dan sejumlah asesoris agar siap dipakai. Soal pagar pembatas, Sukarto minta tolong Tuan De Graaf. Sekalipun bukan orang Banyumas, tapi dia pakar kaliber internasioanl soal batas wilayah. Akhirnya Sukarto take action. Tentu saja tak perlu lima tahun, pesanan Sukarto selesai dalam waktu singkat. Sambil tersenyum dia menyerahkan kunci bangunan dari rumah warisan leluhur wong Banyumas yang telah didisain dengan sangat indah kepada DPRD II pada tanggal 14 November 1989. Sebelum pulang ke Yogyakarta untuk menerima upah, Sukarto meyampaikan pidato singkat closing statement sbb:
“Terimakasih Mr.De Graaf, Bapak Sejarah Jawa. Pagar pembatas dan pintu gerbang bangunan pendopo yang berupa tahun 1578 M, dari anda. Terimakasih pada Patih R.Wirjaatmaja, pondasi pendopo yang berupa Babad Banyumas 1898 dari anda. Terimakasih pada Patih R. Purwosuprojo, kerangka atap dan tiang yang berupa angka tahun 1582 yang mirip kerangka bangunan di Mataram dari anda. Terimakasih kepada RMS.Brotodiredjo dan R.Ngatijo Darmosuwondo yang telah berjuang begitu keras karena anda berdua telah bekerja mencari bahan-bahan untuk dinding dan atap yang khas Banyumas sehingga pendopo itu mencerminkan identitas bangunan di Banyumas yang berupa angka tahun 1582 sebagai tahun didirikannya Pendopo ini. Saya sendiri Sukarto, dengan segala kerendahan hati, hanya sedikit sumbangan yang bisa saya berikan, yaitu hanya daun jendela, daun pintu dan kunci. Saya yakin tanpa daun jendela, dan daun pintu serta kunci yang berupa tanggal 6 April, pendopo belum nyaman untuk digunakan.
“Tanggal 6 April 1582 adalah bersamaan dengan Garebeg Agung Perayaan Maulud Nabi Muhammad SAW yang dimuliakan Allah SWT. Semoga rahmat, kasih sayang dan barokah juga dilimpahkan kepada Ki Adipati Wargohutomo II yang hadir dalam pasowanan agung itu. Pada pasowanan agung itu Ki Adipati Wargo Hutomo II mendapat restu dari Sultan Pajang untuk segera menempati kota Banyumas dan rumah Kabupaten yang dilaporkan oleh Sang Adipati sudah selesai dibangun dan siap digunakan. Semoga barokah dilimpahkan Allah SWT, karena telah menghadiri Perayaan Maulud mengenang kelahiran Nabi kekasih Allah SWT. Limpahan barokah, sejahtera dan keselamatan semoga juga dilimpahkan kepada seluruh rakyat Banyumas. Sekian yang bisa saya sampaikan. Dengan ini kunci bangunan saya serahkan kepada Ketua DPRD II Kab.Banyumas. Salam pula dari Senopati Ing Ngalaga. Matur nuwun!”.
Tepuk tangan yang meriah pun terdengar. Kunci bangunan yang digantungan pada lempengan logam berlapis emas bertuliskan tanggal 6-April- 1582, diserahkan kepada Yang Terhormat Ketua DPRD Kab.Banyumas untuk disahkan menjadi Perda Hari Jadi Kabupaten Banyumas. Tidak lama kemudian memang keluar Perda No.2/1990.
Demikian Sukarto yang cerdik itu pulang kembali ke Yogyakarta, bekas Pusat Kerajaan Mataram Tempo Doeloe yang mengendalikan Wilayah Lembah Serayu yang subur. Tentu saja dengan menenteng amplop tebal sebagai fee atas jerih payahnya dan kecerdikannya.[bersambung]
[caption caption="Disain gambar anwar hadja,,latar belakang buku terbitan SIP Publishing dan foto milik Nadija"]
Artikel berkaitan dan lanjutan baca:
http://www.kompasiana.com/anklbrat/siapakah-mm-sukarto-kartoatmodjo_56bf641962afbdc40417b95d
[/caption]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H