Buku itu selanjutnya menyatakan bahwa,usaha Patih R.Aria Wirjaatmadja itu mendapat bantuan dari Asisten Residen Banyumas E.Sieburgh. Pada tahun 1898 E.Sieburgh, diganti De Wolf van Westerrode. Ternyata asiten residen yang baru itu tertarik pada usaha-usaha yang telah dijalankan Patih R. Aria Wirjaatmadja. Setelah Westerrode mempelajari persoalan yang ingin dipecahkan dengan didirikannya Bank Penolong itu, Westerrode bercita-cita mengadakan perbaikan dan merubah bank yang didirikan Patih Aria Wirjaatmadja itu menjadi Koperasi Kredit model Raiffeisen di Jerman. Tetapi usahanya tidak berhasil karena pemerintah tidak menyetujui rencananya untuk membimbing rakyat ke arah berkoperasi
Maka sebagai gantinya, demikian tulisan itu melanjutkan, Westerodde mendapat tugas untuk mendirikan badan-badan kredit untuk rakyat yang langsung diurus sendiri oleh pemerintah. Pada tahun 1900, pekerjaan Westerrode ini menghasilkan berdirinya Bank Rakyat (AVB), Rumah Gadai, Bank Desa dan Lumbung Desa. Nampaknya bank-bank tersebut bertujuan memberikan pertolongan kepada rakyat. “Tetapi di dalamnnya, tersembunyi maksud buruk, yaitu untuk merintangi jangan sampai rakyat dapat mengurus kepentingannya sendiri dengan jalan berkoperasi!” tulis penulis buku Ideologi Koperasi itu.
Ada beberapa hal aneh dan ganjil dari buku karya Drs.Suradjiman yang diterbitkan di Bandung itu, antara lain hal-hal berikut ini:
Pertama, karena Patih Aria Wirjaatmaja sukses merintis Bank Penolong Tabungan dan Kredit Pertanian yang didirikan pada tahun 1895, seharusnya pembabakan sejarah koperasi di Indonesia, dimulai sejak tahun 1895 M, bukan sejak tahun 1900. Jika dimulai tahun 1900 akan terkesan perintis Bank Perkreditan Rakyat adalah Asisten Westerrode. Padahal Westerrode pada awalnya justru banyak bertanya dan berdiskusi dengan Patih Raden Aria Wirjaatmadja.
Ketika mereka saling berdiskusi dan Westerrode menerima penjelasan dari Patih R.Aria Wirijaatmaja, Westerrode rupanya teringat pada sosok FW.Raiffeissen, seorang walikota sebuah kota kecil di Jerman yang memiliki kesamaan cita-cita dengan Patih Purwokerto yang cekatan dan cerdas itu.
Seperti juga Patih R.Aria Wirjaatmadja, FW.Raiffeisen sangat terharu menyaksikan nasib kaum tani yang sangat menderita. Sebagian besar kaum tani rakyatnya terjerat timbunan utang. Berkali-kali FW.Raifessen mengajukan usul kepada pemrintah pusat di Jerman disertai usul-usul untuk mengadakan perbaikan masyarakat tani. Tapi usulnya tak pernah mendapat perhatian. Terdorong oleh kecintaannnya yang besar kepada rakyat tani, FW.Raifessen mengambil inisiatip sendiri dengan mendorong kaum tani mendirikan perkumpulan simpan pinjam.
Pada tahun 1848 dengan menggunakan pengaruhnya sebagai walikota, FW.Raiffeissen, berhasil mendirikan perkumpulan yang bertujuan memberikan bantuan kepada kaum tani. Usahanya dimulai dengan mengumpulkan uang dari beberapa orang hartawan. Modal yang telah terkumpul disediakan bagi petani yang memerlukan pinjaman dengan bunga ringan. Ternyata dari usaha tersebut, banyak sekali petani yang tertolong. Namun begitu ada sejumlah hal yang membuat FW.Raiffeisen kecewa, antara lain :
1. Karena tidak ada pengawasan yang teliti atas penggunaan uang yang dipinjam, banyak petani yang malah menyalahgunakan kesempatan meminjam uang untuk kepentingan yang kurang penting.
2. Keuntungan yang diperoleh dari pembayaran bunga akhirnya jatuh ke tangan pemilik modal.
Singkat ceritera usaha FW.Raiffeisen gagal. Petani ternyata belum terlepas dari timbunan utang. Malah ditemukan gejala yang memprihatinkan, para petani lebih gemar meminjam uang dari pada menabung, karena syarat-syaratnya yang dianggap mudah dan bunganya yang rendah. Namun begitu FW.Raifeissen tak kenal menyerah. Pengalaman pertamanya itu membawanya pada suatu hipotese atau kesimpulan sementara:
“Sesungguhnya jalan satu-satunya untuk memperbaiki nasib seseorang harus dicapai dengan jalan usaha dan kesadaran mereka sendiri. Bukan dengan bantuan yang diterimanya dari pihak lain”