Demikian kisah Kiyai Tolih, yang dalam teks Naskah Kalibening sebagian adegan percakapan antara Kyai Mranggi Semu dan Kyai Tolih tentang keris pusaka Kyai Gajah Hendra itu dimuat pada halaman 41.
Kiyai Tolih, Kiyai Mranggi dan Jaka Kahiman, jelas adalah tokoh sejarah. Demikian pula jalan ceriteranya. Tetapi sejumlah peristiwa yang mengandung logika mistik, dengan tujuan memuja tokoh-tokohnya, seperti burung Mahendra yang bisa terbang, Kiyai Tolih yang bisa naik burung Mahendra dan Joko Kahiman yang sakti, semua itu merupakan imajinasi penulis naskah saja, yang menyebabkan dengan mudah naskah Kalibening itu harus diklasifikasikan bukan kitab yang mirip-mirip sejarah, seperti babad Sangkala, misalnya. Naskah Kalibening lebih tepat disebt sastra sejarah atau babad. Untuk menjadi kitab sejarah, masih perlu proses, antara lain menyingkirkan aspek-aspek yang mengandung logika irasional dan mistik dan mengembalikan tokoh dan peristiwanya ke dalam dimensi ruang dan waktu yang tepat pada masa yang telah lama berlalu.
Pengaruh Babad Tanah Jawi
Dengan disebutnya Kyai Tolih pada naskah Kalibening, dengan mudah sebenarnya bisa ditetapkan bahwa si penulis naskah Kalibening, siapa pun orangnya, pernah membaca Babad Tanah Jawi atau setidak-tidaknya pernah mendengar nama Brawijaya V dari orang yang pernah membaca Babad Tanah Jawi. Sebab salah satu ciri kitab babad dipengaruhi oleh Babad Tanah Jawi ialah disebutnya nama Brawijaya. Nama Brawijaya adalah nama raja-raja Majapahit ciptaan penggubah Babad Tanah Jawi, yakni Pangeran Adilangu II dan Carik Bajra. Keduanya pujangga kraton Kartosuro, hidup antara tahun 1680- 1746 M.
 Kitab Babad Tanah Jawi ditulis atas perintah Sunan Pakubuwono I ( 1703 – 1719). Isinya meliputi Babad Pajajaran, Babad Majapahit, Babad Pajang, Babad Mataram sampai jaman Kraton Kartosura- Surokarto tahun 1746. Pada masa Pakubuono III( 1749 – 1788), Sunan mengijinkan Kitab Babad Tanah Jawi dibuka untuk umum, dan sejak itu Babad Tanah Jawi tersebar kemana-mana dan menjadi sumber penulisan hampir semua kitab babad di tanah Jawa.
Sebelum jaman Pakubuwono III, Babad Tanah Jawi hanya dibaca oleh kalangan bangsawan terbatas dari para bangsawan kraton. Penulisan Babad Tanah Jawi berakhir, setelah muncul pujangga kraton Surakarta Yasadipura yang ditugaskan oleh Sunan Pakubuwono III untuk menulis Babad Giyanti. Nama Brawijaya sendiri tidak pernah ditemukan pada kronik yang lebih tua, seperti Pararaton dan Nagarakretagama. Karena itu, nama Brawijaya adalah khas dari Babad Tanah Jawi.
Karena Naskah Kalibening, menyebut Kyai Tolih yang pasti ada hubungannya dengan Majapahit dan nama Brawijaya, dapat dipastikan bahwa usia Naskah Babad Kalibening, tidak mungkin lebih tua dari Babad Tanah Jawi.
Sekalipun didiskripsikan oleh Sugeng Priyadi, penemu naskah Babad Kalibening, sebagai naskah dari abad ke-16, naskah Babad Kalibening tidak mungkin lebih tua dari Babad Tanah Jawi yang berasal dari awal abad ke-18. Paling jauh, naskah Kalibening berasal dari pertengahan abad ke-19. Memang lebih tua dari Naskah Kranji-Kedungwoeloeh yang berasal dari akhir abad ke-19 ( 1889 M) dan juga lebih tua dari Babad Banyumas Aria Wiryaatmaja yang juga berasal dari akhir abad ke-19 (1898 M ).
Demikianlah hal 41 Naskah Kalibening menceriterakan persiapan perkawinan Jaka Kahiman dengan Rr.Sukartimah, putri sulung Adipati Wirasaba VI.Wallahualam(anhadja-04-01-2016)[]
Baca artikel berkaitan dan lanjutannya: