Perlu diketahui pada akhir abad ke-19 M, Babad Tanah Jawi merupakan bacaan yang paling populer dan dianggap sebagai kitab sejarah oleh pembacanya. Baru setelah seorang sarjana Belanda JLA.Brandes menerbitkan kitab Pararaton, menjelang abad ke-20 M, popularitas Paraton mengungguli Babad Tanah Jawi
Patih Raden Aria Wiryaatmaja mengaku cara menulis kitab Babad Banyumas dengan polos dan jujur sbb:
“Wondene bab ingkang amratelakaken wektu alamipun panjenenganipun ratu jawi, awit ing Majapahit dumugi ing Pajang punika kula metik saking serat sejarah. Dene awit saking Mataram dumugi Surakarto puniko waton pamireng kulo saking tiyang sepuh-sepuh” (hal 9 – Ejaan dirubah). Yang dimaksud kulo metik saking sejarah, tidak lain adalah dia mengutip dari Babad Tanah Jawi yang pada saat itu dianggap kitab sejarah yang sangat populer.
Kembali pada angka 1570 yang ada pada Naskah Kranji Kedungwoeloeh. Dari mana si penggubah babad itu menemukan angka 1570?
Tahun 1570 tidak ditemukan dalam Babad Tanah Jawi, tetapi ditemukan dalam Sajarah Banten dan Babad Tanah Pasundan- Babad Cirebon. Tahun 1570 adalah tahun wafatnya Sunan Gunung Jati, pendiri Kesultanan Banten dan Kesultanan Cirebon. Menurut versi Banten, Sunan Gunung Jati dan putranya penguasa Banten, Hassanudin, wafat pada tahun yang sama, yakni tahun 1570 M.
Tetapi menurut versi Babad Tanah Pasundan-Babad Cirebon, Syarif Hidayatullah, wafat tahun 1568. Hassanudin putra Syarif Hidayatullah, wafat tahun 1570. Fatahillah menantu Syarif Hidayatullah, wafat tahun 1570. Syarif Hidayatulah dan Fatahillah, sering secara bersama-sama disebut sebagai Sunan Gunung Jati. Sunan Gunung Jati Fatahillah sangat terkenal karena dialah penakluk Sunda Kelapa.
Tentu saja tahun 1570 sebagai tahun wafatnya Sunan Gunung Jati Fatahillah akan lama dikenal dalam ingatan orang dan para peziarah. Makamnya di Komplek Makam Sunan Gunung Jati, Cirebon sudah lama menjadi pusat ziarah dari mana-mana. Tentu termasuk peziarah dari Kadipaten Banyumas pada masa lalu, terutama dari kelompok Kanjeng Purwokerto. Sebab jarak Banyumas-Cirebon relatif lebih dekat dari pada ke Demak dan Kadilangu atau pun ke Kudus.
Hubungan Cirebon pada masa lalu dengan daerah Banyumas sebenarnya sangat erat. Agama Islam masuk ke daerah Banyumas, di samping lewat Demak juga lewat Cirebon. Sunan Kalijaga pernah tinggal di Cirebon. Syekh Maghribi yang terkenal berhasil mengislamkan Syekh Jambu Karang lama tinggal di Cirebon. Raja-Raja Mataram sangat menghormati Cirebon. Hanya Sunan Bonang yang berdakwah ke Kadipaten Pasir lewat Demak.
Pendiri Mataram Senapati, membangunkan benteng Cirebon tahun 1590 karena menghormati Sunan Gunung Jati sebagai Wali Keramat. Permaisuri Sultan Agung adalah Putri Cirebon. Putri Amangkurat I, juga diperistri Panembahan Girilaya, penguasa Cirebon. Karena para Bupati Banyumas meneladani para penguasa Mataram, tentu saja banyak elit penguasa Banyumas pada masa lalu yang juga menghormati Wali Kramat dari Cirebon dan banyak yang berziarah ke makam keramat Sunan Gunung Jati.
Apalagi secara geografis, Banyumas sebenarnya lebih dekat kepada Cirebon dari pada ke Mataram, Kartosuro dan Surokarto. Hanya secara politis, memang para elit penguasa Banyumas wajib berpaling ke Mataram dan akhirnya ke Kartasura dan Surakarta. Kiblat politik elit penguasa Banyumas ke Surakarta, berakhir setelah daerah Banyumas diambil alih pemerintah Hindia Belanda di Batavia. Pada masa inilah intrik dan rivalitas antara Patih dan Bupati, sering kali terjadi. Dan pada masa ini pula banyak elit Kadipaten Banyumas yang terpinggirkan yang melakukan ziarah ke makam sunan Gunung Jati.
Dan diantara dari mereka, Kanjeng Purwokerto menulis kitab babadnya sebagai upaya memuja Adipati Mrapat, leluhur mereka. Tentu dia berharap dengan memuliakan Adipati Mrapat, mereka kelak akan mendapat barokah dan limpahan kewibawaan, keselamatan dan kesejahteraan dalam hidupnya. Karena alasan ini pula, kita dapat memahami apa sebab Kanjeng Purwokerto menulis Naskah Babad Banyumas lebih dulu dari Patih Purwokerto, R.Arya Wiryaatmaja.