“ Hem, Dinda Dewi, Aku sudah menilai, Engkau ini gadis cerdas siswa-siswi Sang Hyang Syiwa, Dewa pemilik sejuta kebijakan dan kecerdasan. Dinda sangat pantas mendampingi Kakanda, menjadi satu-satunya prameswari Kerajaan Pajajaran kelak dikemudian hari. Dinda Dewi Cipta Rasa, Aku Raden Banyak Catra putra Prabu Siliwangi, berjanji akan setia kepada Dinda sampai akhir hayat Kanda.”
“Terimakasih, Kanda, Dinda dan Kanda telah sama-sama setia. Dinda sangat bergembira.Tetapi sumpah Dinda tadi, baru sebatas kesetiaan Dinda kepada Kanda, sebagai sahabat sejati, sebagai saudara sejati, ibaratnya barulah sebatas hubungan kesetiaan antara kakak dan adik saja. Sedangkan tujuan kanda menghendaki hubungan Dinda dan Kanda, tidak sebatas hanya hubungan adik dan kakak. Tetapi hubungan yang lebih jauh lagi yakni sebagai sepasang suami-istri. Betul Kakanda?”.
“ Betul sekali Dinda Dewi. Aku melamarmu malam ini, disaksikan bintang-bintang dilangit, Aku ingin Engkau menjadi istri pendampingku sampai akhir hidupku. Terimalah lamaranku Dinda Dewi.
“Terima kasih, Kanda Banyak Catra. Dinda telah bersumpah, jangankan hanya menerima lamaran seorang pria seperti Kakanda. Dinda bahkan bersedia menyerahkan seluruh jiwa dan raga Dinda kepada Kakanda malam ini juga, hanya jika kakanda bisa menjelaskan satu masalah yang penting. Jika Kakanda tidak mampu menjelaskan dengan memuaskan kepada Dinda, Dinda tidak mungkin menerima lamaran Kakanda dan tidak mungkin persahabatan kita meningkat kearah hubungan sebagai sepasang suami-istri. Siapkah Kakanda dengan pertanyaan Dinda?”.
Raden Kamandaka hanya tersenyum. Dugaannya benar adanya. Gadis pujaan hatinya yang wajahnya bagaikan pinang dibelah dua dengan ibunya itu, mempunyai agenda tersembunyi yang hanya dapat diketahui oleh para ksatria yang cerdas, yakni ksatria yang memiliki kebijakan dan kebajikan seorang brahmana. Apalagi kalau bukan kepentingan masa depan Kadipaten Pasirluhur?.
“ Dinda Dewi, sebenarnya Kanda lebih suka melaksanakan darma seorang ksatria, yakni berlaga di medan peperangan karena hendak menegakkan kebenaran, dari pada menebak soal-soal yang merupakan darma para wiku, pendeta dan brahmana.Tetapi, karena Dinda memintanya. Silahkan ajukan pertanyaaan itu. Kanda akan mencoba menjawabnya.”.
“Baiklah Kanda Banyak Catra.”
Emban Khandeg Wilis mendekat dengan membawa baki berisi dua cawan minuman nira dari buah aren yang masih hangat dan potongan pisang rebus. Diletakkanya diatas meja, lalu Emban Khandeg Wilis pun cepat-cepat menjauh. Di luar, suara burung bence dari pinggir tamansari, terbang melintasi kaputren beberapa kali.
“Kanda Kamandaka itu suara burung bence. Dia tahu ada ksatria masuk kamar seorang gadis,” ujar Sang Dewi menggoda. Dia sengaja menyebutnya nama Kamandaka, karena ada Emban Khandeg Wilis. Bagaimana pun juga Sang Dewi merasa tetap harus merahasiakan Raden Kamandaka di depan emban kesayangannya itu.
“Biar saja Dinda, ksatria itu bukanlah seorang pencuri yang akan merusak pager ayu. Dia masuk kamar gadis pujaannya, karena diundang,” jawab Raden Kamandaka sambil tersenyum. Tetapi secara naluri, diam-diam dia meraba pusaka Kujang Kancana yang terselip di pinggangnya.
“Baiklah Kanda Kamandaka. Apakah sebenarnya yang dimaksud dengan tiga tiang utama pendukung pemerintahan kerajaan atau pun kadipaten manapun, yang akan menyebabkan suatu pemerintahan bisa lestari, berwibawa, dan berkelimpahan?.Tolong Kanda jelaskan!” tanya Sang Dewi minta penjelasan kepada Raden Kamandaka(bersambung).