Mohon tunggu...
anwar hadja
anwar hadja Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Pendidik di Perguruan Tamansiswa Bandung National Certificated Education Teacher Ketua Forum Pamong Penegak Tertib Damai Tamansiswa Bandung Chief of Insitute For Social,Education and Economic Reform Bandung

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Novel:Kisah Cinta Dewi Cipta Rasa - Raden Kamandaka(32)

2 Agustus 2014   12:47 Diperbarui: 18 Juni 2015   04:37 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14069329091376300594

SERI 32

“ Memangnya bagaimana rahasia cinta seorang wanita?” tanya prajurit tadi penasaran.

“ Mbakyumu Khandeg Wilis itu wanita pecinta romantis  model Banowati dalam kisah Mahabarata. Banowati itu tidak suka lelaki seperti Duryudana, Dursasana atau Kakrasana. Lelaki yang disukai Banowati itu lelaki yang badannya kurus seperti Narayana, Arjuna atau Karna. Makanya Mbakyumu Khandeg Wilis itu tidak bakalan mau dengan Kakang Jigjayuda, sekalipun Kakang Jigjayuda mengejarnya sampai ke ujung dunia,” kata Sindusari menjelaskan.

“ Lalu siapa yang sedang dia tunggu? “ tanya prajurit tadi masih tetap penasaran.

“ Ya, siapa lagi kalau bukan Kakangmu Sindusari?.....ha..ha..ha..  “ jawab Sindusari tertawa bangga.

“Ssst. Kakang Sindusari, jangan keras-keras!. Bisa gawat kalau Kakang Jigjayuda tahu.Tadi pesan Kakang Jigjayuda, komandan kita, secepatnya kita harus lapor. Biar aku saja yang lapor ya?”  tanya salah seorang prajurit.

“ Jangan!. Kita tangkap sendiri saja maling asmara itu. Baru kita bawa ke pos jaga. Biar Kakang Jigjayuda tahu beres saja. Masa kita berlima tidak bisa menangkapnya?. Biar aku yang masuk ke kamar Ndara Putri. Kalian berempat mengawal Aku dari belakang. Nah, lihat Mbakyumu Khandeg Wilis sudah masuk lagi ke dalam. Yuk kita kesana!” Sindusari memberi perintah, mereka berlima melangkah dengan mantap mendekati pintu kamar kaputren paling barat itu.

“Selamat malam Ndara Putri!. Hamba Sindusari, mendapat perintah untuk memeriksa kamar Ndara Putri” .

Dari dalam kamar sepi. Tak ada jawaban. Sindusari dan empat anak buahnya gelisah menunggu jawaban.

“Selamat malam Ndara Putri!” Sindusari mengulangi lagi, memberitahu maksud kedatangannya. Tetapi kembali tak ada jawaban. Para prajurit jaga itu semakin tidak sabar.

“Dobrak saja pintunya, Kakang Sindusari!” usul salah seorang prajurit.

“Ndara Putri sedang tidur pulas. Tak mungkin diganggu,” tiba-tiba terdengar suara dari dalam kamar. Bukan suara Sang Dewi, tetapi suara Emban Pengasuh Sang Dewi.

“ Emban Khandeg Wilis!. Buka pintu kamar Ndara Putri. Ini Kakang Sindusari”

“Oh, Kakang Sindusari?. Silahkan masuk. Pintu tidak dikunci!”.

Sindusari sebenarnya pandai ilmu bela diri. Tetapi kali ini dia lalai. Yang diingatnya hanyalah perintah dari Emban Khandeg Wilis, wanita berkulit kuning, berbadan gemuk, janda cerai karena suaminya meninggal, tidak punya anak, tetapi wajahnya tetap cantik. Sindusari sudah beberapa kali mengajaknya kawin. Tetapi masih terus ditolak. Kini wanita itu malah membiarkan dirinya masuk kamar yang pintunya tidak dikunci. Sindusari malah lupa bahwa itu kamar Ndara Putri. Yang diingatnya kamar itu adalah kamar Khandeg Wilis.

Dengan langkah anggun dan gagah Sindusari, Si Kerempeng itu, membuka daun pintu dan melangkah masuk. Tiba-tiba sebuah tendangan maut  mengenai ulu hati Sindusari. Tubuh Sindusari yang tinggi dan kurus itu langsung terlempar kembali keluar, jatuh terlentang. Tanpa mengeluarkan suara erangan, dia langsung pingsan di teras luar kamar Sang Dewi.

Melihat pemimpinnya terkapar, ke empat prajurit yang bertombak itu langsung ciut nyalinya. Mereka tidak berani masuk ke dalam kamar yang pintunya sudah terbuka. Lampu penerang di dalam kamar sudah dimatikan, sehingga kamar menjadi gelap. Khawatir terjadi  keributan di dalam kamar, Raden Kamandaka membuat loncatan salto keluar kamar. Tubuhnya melenting bagaikan seekor kelelawar raksasa yang terbang keluar dari dalam kamar, melewati keempat prajurit yang memegang tombak.

Raden Kamandaka mendarat tepat  di atas rumput di halaman taman kaputren, berdiri tegak dalam posisi kuda-kuda: monyet menari. Dengan jurus monyet menari, berarti Raden Kamandaka akan menggunakan gerakan-gerakan lincah dan indah untuk melumpuhkan musuhnya yang hanya berjumlah empat orang itu. Sekalipun Raden Kamandaka menguasai banyak jurus dalam ilmu seni bela diri seperti jurus harimau menerkam mangsa, jurus bangau terbang rendah dan lainnya lagi, di lingkungan prajurit Kerajaan Pajajaran Raden Kamandaka dikenal sebagai Pendekar Monyet Putih.

Keempat prajurit yang bertombak itu kini mengepung Raden Kamandaka. Karena malam hanya disinari bintang-bintang di langit, keempat prajurit itu tidak bisa melihat wajah orang yang hendak mereka tangkap. Yang mampu dilihatnya hanyalah bayangan sosok dalam gelap.

“Heh pencuri!. Menyerahlah sebelum dadamu sobek oleh ujung tombak prajurit Kadipaten Pasirluhur,”  ancam salah seorang prajurit.

Raden Kamandaka tak menjawabnya. Tiba-tiba salah seorang prajurit maju menusukkan tombaknya dengan sekuat tenaga. Dengan mudah Raden Kamandaka berkelit ke kanan. Ujung tombak lewat, nyaris menyentuh pinggang Raden Kamandaka. Prajurit tadi terbawa maju mendekati Raden Kamandaka yang segera memanfaatkan kesempatan yang ada. Raden Kamandaka meloncat sambil melepaskan tendangan yang tepat mendarat ditelinga kanan prajurit. Terkena tendangan di telinga kanan, keseimbangannya langsung hilang, prajurit tadi langsung tersungkur mencium tanah. Ujung tombak yang lain datang menyusul. Kali ini mengarah ke leher Raden Kamandaka. Raden Kamandaka cepat membungkuk. Ujung tombak lewat di atasnya. Raden Kamandaka melepaskan tendangan mautnya dari bawah yang tepat mengenai dada prajurit yang menyerangnya. Prajurit ini langsung roboh tak berkutik. Kembali ujung sebuah tombak mengarah lambung Raden Kamandaka. Dengan mudah Raden Kamandaka berkelit, tangkai tombak berhasil ditangkap dan ditariknya. Prajurit pemegang tombak tertarik mendekati Raden Kamandaka yang segera menyambutnya dengan ujung lutut kaki kanan yang langsung bersarang di pangkal paha prajurit. Prajurit itu langsung menjerit kesakitan terhuyung-huyung jatuh ke tanah. Tinggal seorang prajurit yang tentu saja sangat ketakutan. Dia melemparkan tombaknya dan lari meninggalkan gelanggang seraya berteriak meminta pertolongan pada prajurit jaga yang tengah berkumpul di gardu pintu depan. Prajurit tadi lari melewati sebuah lorong yang menuju taman bangsal Pancaniti.

Lorong itu memang jalan keluar meninggalkan taman kaputren menuju taman bangsal Pancaniti. Raden Kamandaka pun harus keluar melewati lorong itu. Dengan tiga kali loncatan Raden Kamandaka sudah mampu mengejar prajurit yang lari sambil berteriak-teriak meminta tolong itu. Pada loncatan ke tiga, Raden Kamandaka sudah mendarat tepat di belakang prajurit yang tengah lari yang sudah mencapai ujung lorong yang gelap itu. Raden Kamandaka melakukan loncatan harimau. Ujung kaki prajurit yang tengah lari itu berhasil ditangkapnya. Prajurit yang tengah berlari itu, langsung jatuh terguling di tanah. Dan tahu-tahu Raden Kamandaka sudah menindihnya dari atas. Siku Raden Kamandaka sudah mengunci leher prajurit itu dan siap mematahkannya. Tapi prajurit itu dengan nafas tersengal-sengal minta ampun. Akhirnya dengan hanya satu kali tamparan di mulutnya, prajurit itu langsung terdiam tak bekutik. Pingsan seketika.

Sementara itu, hampir seluruh parjurit jaga malam yang berada di gardu dan tengah tidur-tiduran di lantai pendopo, langsung terbangun begitu mendengar suara teriakan minta tolong. Komandan jaga Jigjayuda langsung mempin anak buahnya yang bersenjata lengkap menuju taman kaputren. Dia langsung tahu pastilah kelima prajurit yang ditugaskan untuk mengintai pencuri di kaputren itu bertindak ceroboh.

“Dasar tolol Si Kerempeng!. Kenapa dia bertindak sendiri dan tidak lapor kepadaku?. Akibatnya begini ini. Ingin naik pangkat, tapi ceroboh. Dasar Kerempeng tolol. Mana mau Khandeg Wilis punya suami tolol sepert itu?”  kata Jigjayuda dalam hati  menggerutu, sambil terus bergegas melangkah siap-siap untuk menangkap pencuri yang telah berhasil masuk kaputren.

Malam itu Ndalem Kadipaten dijaga oleh dua puluh orang prajurit jaga. Lima prajurit sudah ditugaskan ke kaputren. Kini yang tersisa tinggal lima belas orang. Komandan jaga membawa dua belas orang prajurit bersenjata lengkap. Tiga orang ditugaskan untuk berjaga di pintu gerbang depan untuk menutup jalan ke luar bagi pencuri.

Ketika Komandan jaga Jigjayuda sudah sampai di halaman bangsal Pancaniti, dilihatnya sebuah sosok berkelebat menuju  lapangan   terbuka ditengah taman bangsal Pancaniti. Raden Kamandaka kembali berdiri dengan kuda-kuda harimau menangkap mangsa. Hal itu menunjukkan Raden Kamandaka ingin menyelesaikan pertarungan dengan cepat, mengingat fajar pagi tidak lama lagi akan segera bertukar dengan malam.

“He Pencuri ! Sebutkan siapa namamu dan dari mana asalmu, sebelum Engkau menjadi mayat, agar aku mudah mengurus jazadmu!”  kata Jigjayuda.

Karena Raden Kamandaka tidak menjawab, Jigjyuda memberi komando agar menangkap sosok yang berada dalam kegelapan itu dengan cara melakukan pengepungan menggunakan ujung tombak. Dua belas orang prajurit segera mengepung Raden Kamandaka dengan membentuk formasi melingkar rapat, ujung tombak diarahkan kepada Raden Kamandaka.

“Maju!” Jigjayuda memberi komando. Sekarang dua belas mata tombak mengarah kepada Raden Kamandaka yang berada di pusat kepungan. Makin lama, ujung tombak semakin dekat, dan ruang lingkaran  pengepungan juga semakin sempit. Mereka sebenarnya ingin menangkap pencuri itu hidup-hidup(bersambung)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun