SERI 64
Kini Raden Kamandaka berdiri dengan memutar-mutarkan senjata kujang yang ada di tangannya, hingga seperti baling-baling yang berkilat-kilat manakala tertimpa cahaya matahari. Tentu saja tak ada seorang pun yang berani mendekat. Raden Kamandaka lalu mengeluarkan ancaman kepada para prajurit yang mengepungnya.
“Beri aku jalan keluar meninggalkan tempat ini, atau aku bunuh kalian semua?” kata Raden Kamandaka seraya menunjukkan jalan yang harus ditinggalkan oleh para pengepungnya. Prajurit pengepung yang ditunjuk, tanpa banyak bicara menyingkir ketakutan sambil membukakan jalan bagi Raden Kamandaka keluar dari kepungan.
Raden Kamandaka bergegas meninggalkan tanah lapang Desa Pangebatan diiringi Rekajaya yang berjalan mengikutinya sambil membawa si Mercu. Raden Kamandaka berjalan ke arah hulu Sungai Logawa menuju timur laut. Dari kejauhan tampak sejumlah prajurit Kadipaten Pasirluhur mengikutinya sekedar untuk mengetahui kemana Raden Kamandaka akan pergi sambil menunggu bantuan tambahan prajurit dari Kadipaten yang bersenjata lengkap.
Raden Kamandaka berpikir tidak akan pulang ke Kaliwedi, sebab khawatir akan terjadi bentrok antara penduduk Kaliwedi yang setia kepada dirinya dengan prajurit Kadipaten Pasirluhur yang akan menangkapnya.
Matahari sudah bergerak menuruni puncak langit, ketika Raden Kamandaka dan Rekajaya sampai di sebuah hutan kecil yang ada di sisi barat Sungai Banjaran. Mereka berdua cepat masuk ke dalam hutan, mencari tempat yang rindang dan teduh, lalu beristirahat untuk mengobati lambung kanan Raden Kamandaka yang terluka dan masih mengeluarkan darah. Si Mercu dilepaskan di padang rumput untuk mencari sendiri makanan di sela-sela tanaman perdu yang banyak tumbuh di situ.
“Kakang Rekajaya, tahu nggak daun-daun atau batang tumbuh-tumbuhan yang bisa menyembuhkan luka?” tanya Raden Kamandaka sambil menekan luka di lambung kanannya agar darah tidak terus menetes. Mereka berdua duduk di atas rumput hijau yang tumbuh di bawah pohon pinus.
“Banyak Raden, ada simbukan, sirih, batang lumbu, bluluk, daun petai china,daun pace dan lainnya lagi, bisa menyembuhkan luka,” jawab Rekajaya.
“Dari mana Kakang tahu tumbuh-tumbuhan penyembuah luka itu?”
“He..he..he.., Kakak hamba Nyai Kertisara sebenarnya ahli membuat ramuan jamu. Dulu ketika Kakang Kertisara masih hidup, Mbakyu sering membuatnya dan hamba sering membantu meraciknya, Raden.”
“Kalau begitu coba Kakang carikan di sekitar sini, barang kali ada. Tapi bukakan dulu ikatan selendang sutra yang melilit pinggang ini. Simpulnya ada di sebelah kiri. Aku khawatir selendang sutra kuning terkena tetesan darah.”