Mereka berdua menyaksikan panorama yang indah sekali saat alam yang semula diam dicekam sepi itu, tiba-tiba mulai berdenyut dan menggeliat. Aneka macam burung hutan mulai kelihatan keluar satu demi satu mengarungi langit dan membentuk titik-titik hitam yang makin lama makin banyak. Mereka berbondong-bondong keluar dari sarangnya untuk mencari mangsa di tempat yang jauh entah di mana. Burung-burung itu bermunculan dari pohon-pohon raksasa yang tumbuh di hutan itu, seakan-akan bergembira ria mengiringi munculnya semburat warna merah jingga di kaki langit sebelah timur.
Kemudian pada jalan yang membentang dari utara ke selatan itu, satu persatu mulai muncul pula para pejalan kaki laki-laki maupun perempuan bagaikan mahluk-mahluk yang tiba-tiba saja bermunculan dari perut bumi. Mereka adalah para petani yang tinggal berjauhan di sepanjang Sungai Banjaran yang sepagi itu sudah menggendong dan memikul barang hasil ladangnya dan ternaknya untuk di bawa ke pasar. Tidak lama lagi memang matahari akan segera terbit.
“Kakang Rekajaya, lihatlah hutan yang lebat itu. Kita akan berlindung di sana. Aku pikir akan lebih aman di sana, jika kelak prajurit Pasirluhur yang mengejarku membawa senjata. Tahukah Kakang, hutan apakah itu?” tanya Raden Kamandaka sambil menunjuk hutan di timur laut yang ada di seberang padang ilalang yang luas itu.
“Hamba tidak tahu namanya Raden. Yang hamba tahu, di situ banyak aneka macam satwa termasuk binatang buas. Ada harimau, banteng, kijang, rusa, babi hutan, monyet, lutung, serigala, ular dan kentus. “
“Apa itu kentus?”
“Pelanduk bertanduk, Raden,”
“ O iya? Aku belum pernah melihat kentus.”
“Ya, kalau sedang mujur, Raden bisa menangkapnya. Biasanya orang-orang menangkap kentus dengan memasang alat perangkap. Sebenarnya di pasar hewan Pangebatan ada juga yang menjualnya, Raden,”
“Ada yang sudah mencoba beternak?”
“Sepertinya belum ada.”
“Wah, sayang sekali. Jika terus-menerus ditangkap lama-lama pasti punah.”