Mohon tunggu...
Ankiq Taofiqurohman
Ankiq Taofiqurohman Mohon Tunggu... Guru - Pengajar

Orang gunung penyuka laut dan penganut teori konspirasi. Mencoba menulis untuk terapi kegamangan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Dampak Corona karena Buruknya Public Relation

11 April 2020   20:35 Diperbarui: 11 April 2020   20:41 169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Betapa mirisnya ketika kita mendapat kabar mengenai penolakan jenazah perawat korban corona. Bagaimana tidak, seorang tenaga kesehatan (nakes) yang berjuang mempertaruhkan nyawanya merawat korban corona diperlakukan seperti mayat teroris, bahkan sampai ibu korban memohon kepada warga untuk dapat memakamkan anaknya. 

Sungguh suatu ironi pada negeri ini. Jauh-jauh hari sebelumnya tentu kita menyimak bagaimana penolakan warga Natuna ketika wilayahnya digunakan sebagai wilayah karantina, lalu penolakan warga di beberapa daerah yang wilayahnya akan digunakan untuk area pemakaman korban corona, sampai-sampai mobil jenazahnya dilempari warga. Mungkin itulah potret negeri ini sekarang, tidak punya hati dan kurang wawasan.

Wabah corona tidak memilih SARA, siapapun bisa jadi korbannya dan itulah yang membuat panik seisi negara saat ini. Pada awal muncul, kita menyaksikan bagaimana percaya dirinya seorang menteri kesehatan menghadapi wabah ini. 

Dengan segala keyakinannya, sang menteri berusaha menenangkan rakyat dengan anjuran hidup sehat. Mungkin karena punya latar belakang militer, pak Menkes lupa bahwa ucapannya sudah bukan lagi rantai komando, rakyat sipil hanya akan mendengar saja tanpa melaksanakan anjuran pimpinan, berbeda dengan militer yang menganggap anjuran adalah perintah. 

Dan pak Menkes nampak seperti mengecilkan dampak corona, sekali lagi pak menteri sepertinya lupa bahwa rakyat sipil tidak sekuat para tentara di republik ini. Pun begitu dengan jubir pemerintah untuk masalah corona, yang dikritik oleh masyarakat seperti dr.Tirta hingga DPR. 

Belum lagi para bawahan dan jubir Pak Jokowi yang sering tidak seiring dan seirama saat menyampaikan informasi-informasi terkait penanganan corona. Para pembantu Jokowi seakan-akan "pagi tempe sore dele" alias pernyataan-pernyataan mereka dapat dengan cepat berubah. 

Jika kita melihat di level pemerintahan, begitu berantakannya koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah, hingga muncul perlawanan pemda dalam mengatasi corona. 

Tapi pemerintah pusat tidak tinggal diam dengan memberikan ancaman pada pemerintah daerah menggunakan Undang-undang karantina. Lalu terkait kebijakan keuangan dalam mengatasi corona, banyak intruksi Presiden RI yang diabaikan. 

Salah dua contohnya mengenai intruksi presiden kepada leasing dan bank untuk menangguhkan cicilan nasabah yang mana hal ini tidak direalisasikan oleh pihak bank, akibatnya di lapangan banyak terjadi benturan antara pihak penagih hutang dengan kreditur hingga mengakibatkan korban jiwa. Contoh lainnya mengenai realisasi Bansos untuk Covid-19 yang belum tertata dengan rapih, menimbulkan harap-harap cemas di masyarakat.

Ketidakjelasan informasi dalam penanganan corona ditambah kekhawatiran masyarakat awam tentang virus corona mengakibatkan ketakutan di lapisan bawah. 

Keadaan ini diperparah dengan hoaks yang ditelan mentah-mentah oleh mereka dan bisa jadi kondisi ini dimanfaatkan oleh oknum-oknum yang mencari keuntungan atau yang tidak mendapatkan keuntungan dari adanya wabah corona. 

Kampanye mengenai apa itu corona dan bagaimana cara mengatasi corona mungkin tidak bisa dicerna secara jelas oleh masyarakat yang menolak korban corona. 

Bisa kita lihat contoh bagaimana dulu, masyarakat kita mengasingkan tanpa mengobati penderita kusta atau lepra, memasung penderita gangguan jiwa atau mengucilkan para penderita AIDS. Ini membuktikan adanya ketakutan tanpa dasar dalam pemikiran mereka mengenai suatu penyakit, dan sekarang terjadi pada wabah corona. 

Dalam kondisi seperti ini, seharusnya pemerintah mengutamakan kekuatan dan kecepatan informasi mengenai corona melalui pendekatan budaya. 

Pemerintah harus bisa merangkul orang-orang yang dituakan atau memiliki pengaruh di daerahnya, bukan hanya birokrat atau pejabat publik. Bahkan tidak menutup kemungkinan justru orang-orang muda pada tingkat bawah  yang harus diperkuat dalam mengkampanyekan penanganan corona yang benar. 

Cara lain yang bisa dilakukan agar penanganan corona ini efektif yaitu melalui punish dan reward. Sebaiknya pemerintah menyegarakan penegakan hukuman bagi siapa saja yang menghalangi upaya dan usaha penanganan wabah corona dan sebaliknya pemerintah harus dapat memberikan hadiah atau kompensasi pada masyarakat yang membantu dan melancarkan penanganan wabah corona, agar tidak ada lagi diskriminasi terhadap para korban corona.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun