Mohon tunggu...
Ankiq Taofiqurohman
Ankiq Taofiqurohman Mohon Tunggu... Guru - Pengajar

Orang gunung penyuka laut dan penganut teori konspirasi. Mencoba menulis untuk terapi kegamangan.

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Perindo dan PSI Kalah karena Iklan

21 April 2019   10:23 Diperbarui: 21 April 2019   14:54 7441
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ketua Umum Perindo Harry Tanoesoedibjo menunjukkan nomor urut 9 saat Pengambilan Nomor Urut Partai Politik untuk Pemilu 2019 di Gedung Komisi Pemilihan Umum (KPU), Minggu (18/2/2018). Kompas.com/Kristianto Purnomo

Pemilu 2019 telah sukses dilaksanakan, hasil perhitungan tengah dilakukan KPU. Secara peluang petahana akan kembali memimpin negeri ini, walau klaim kemenangan dari lawan gencar dilakukan. Bergeser pada pemungutan suara legislatif, hasil quick count menunjukan PDIP diurutan pertama disusul Partai Golkar lalu Partai Gerindra. 

Melihat kemungkinan tiga besar, maka tak aneh rasanya jika diduduki oleh ketiga partai tersebut. PDIP dan Gerindra sebagai motor utama dalam Pilpres akan diminati para pemilih, sedangkan Golkar memiliki nilai historis yang sangat kuat di Indonesia. 

Sementara di papan bawah, partai-partai baru ditambah Partai Hanura, PBB, dan PKPI masih berkutat untuk melewati ambang batas. Partai Hanura sebagai partai petahana menjadi tumbal dari parliamentary treshold, sementara PBB dan PKPI dari beberapa pemilu sudah terbukti sebagai figuran belaka. 

fajar.co.id
fajar.co.id

Partai-partai baru pun nampaknya hanya menjadi cameo politik saja, dengan tampil sekilas dan minim bahkan tidak memiliki kursi di DPR. Dua partai baru yang boleh dikatakan fenomenal di Pemilu 2019 kali ini yaitu Perindo dan PSI, sepertinya harus merasakan ketatnya persaingan mencari suara rakyat. 

Bahkan hasil hitung cepat Litbang Kompas menunjukan PSI yang digadang-gadang akan lolos ke Senayan dengan bermodal politikus muda nan idealis, suaranya kalah oleh Partai Beringin Karya besutan Tomi Soeharto yang menjual nostalgia rezim daripada bapaknya. 

Begitu juga dengan Perindo yang telah sedari lima tahun lalu sang ketua umum berkampanye politik dengan media miliknya, belum aman di zona degradasi. Menarik untuk dianalisis mengapa kedua partai yang secara media populer tetapi tidak diminati oleh rakyat. 

Perindo

Hary Tanoesoedibjo sebagai ketua umum Perindo telah memulai petualangan politiknya lebih dari lima tahun yang lalu, yaitu saat akan menghadapi Pemilu 2014. Hary Tanoe terlebih dahulu bersama Surya Paloh membidani ormas Nasional Demokrat, lalu ormas tersebut berubah menjadi partai dengan masih tetap dirinya menjadi bagian dari partai tersebut. 

Namun seiring waktu kemesraan Hary Tanoe bersama Surya Paloh yang sama-sama raja media tidak berlangsung lama, entah angin apa yang akhirnya membuat Hary Tanoe hengkang dari Partai Nasdem. Tak lama, Hary Tanoe (HT) merapat ke Hanura untuk mendorong Wiranto sebagai calon presiden di Pilpres 2014, dengan imbalan dirinya sebagai cawapres. 

Dan lagi-lagi harapan ini hanya mimpi belaka, Hanura tidak mendapatkan suara signifikan yang akhirnya pasangan capres dan cawapres ini tinggal cerita.

Ketua Umum Perindo Harry Tanoesoedibjo menunjukkan nomor urut 9 saat Pengambilan Nomor Urut Partai Politik untuk Pemilu 2019 di Gedung Komisi Pemilihan Umum (KPU), Minggu (18/2/2018). Kompas.com/Kristianto Purnomo
Ketua Umum Perindo Harry Tanoesoedibjo menunjukkan nomor urut 9 saat Pengambilan Nomor Urut Partai Politik untuk Pemilu 2019 di Gedung Komisi Pemilihan Umum (KPU), Minggu (18/2/2018). Kompas.com/Kristianto Purnomo
Selepas Pemilu 2014 rupanya nafsu HT didunia politik masih belum tuntas, dirinya mendirikan Partai Persatuan Indonesia (Perindo) sebuah partai yang siap untuk menatap Pemilu 2019. Jauh-jauh hari sebelum Pemilu 2019, HT melalui jaringan media MNC grupnya sudah memperkenalkan kendaraan politiknya baik secara langsung maupun tidak langsung. 

Berbagai cara dilakukannya, dari mulai mars Perindo kerap digaungkan lewat televisinya, yang tak jarang membuat anak-anak terutama balita hapal akan lagu mars tersebut. Lalu acara festival baik musik ataupun film tidak luput digelar tiap tahun pada jaringan medianya, pastinya dengan HT dan keluarga sebagai objek liputan.

Rekam jejak Perindo pun tak lepas dari tindakan populis. Saat diawal-awal kemunculan, Perindo mendukung total Prabowo dan teman-teman, hal ini bisa disaksikan saat mendukung Anies-Sandiaga dalam Pemilu DKI 2017. 

Tetapi ketika menghadapi Pilpres 2019, Perindo berbalik arah dengan mendukung pemerintahan, bahkan hingga Presiden Joko Widodo menyambut langsung kedatangan pembesar Perindo saat mereka soan ke istana. Melihat hasil Pemilu 2019 lagi-lagi harapan HT nampak hanya angin lalu saja, dengan angka suara kurang dari 4% maka Perindo berada pada area merah. 

Sepertinya Perindo ingin mengikuti langkah-langkah Partai Nasdem yang menjadi partai debutan dengan lolos ambang batas parlemen di Pemilu 2014 dengan bermodal media milik ketua umumnya. Tetapi Perindo dan Nasdem memiliki perbedaan, ini dikarenakan segmen dari MNC TV sebagai media afiliasi Perindo dan Metro TV sebagai media di Nasdem sangat berbeda. 

Nasdem dengan Metro TV sebagai kendaraan medianya memiliki iklan partai yang halus. Metro TV yang memiliki acara utama sebagai televisi berita, menyiarkan iklan-iklan partai serta kegiatan ketua atau kader-kadernya dengan balutan berita reportase, akibatnya penggiringan iklan tidak terasa secara langsung namun dicerna sebagai informasi fakta. 

Melihat juga pada level penonton di kedua TV tersebut, pemirsa Metro TV merupakan masyarakat yang membutuhkan berita faktual dibandingkan hiburan macam sinetron atau acara kontes yang sering ditayangkan di MNC TV. 

Sehingga saat iklan partai di Metro TV muncul, maka diasumsikan sebagai berita dan jika mengena pada penontonnya, tak jarang penonton tersebut akan memberikan wawasannya pada orang disekitarnya. 

Berbeda dengan MNC TV yang memiliki segmen utama dalam media hiburan, iklan-iklan partai ini tak lebih sebagai commercial break karenanya informasi yang ditangkap pirsawan pun lebih dimaknai sebagai produk iklan yang hanya lewat. 

Bahkan iklan partai yang muncul saat asik-asiknya mereka menonton acara hiburan, malah menjadi sebagai gangguan yang akhirnya bisa menimbulkan antipati mereka. Apalagi jika iklan partai atau kegiatan ketua umumnya disiarkan secara masiv tanpa melihat waktu dan acara.

Dengan kemasifan iklan Perindo ditambah juga dengan sentralisasi liputan pada ketokohan Hary Tanoe dan keluarganya, serta ditambah rekam jejak HT yang mencari popularitas politik tanpa mengenal batas, maka tak salah kiranya jika rakyat tak bersimpati pada partai baru ini.

PSI

Kemunculan Partai Solidaritas Indonesia (PSI) dikancah perpolitikan Indonesia, bakal seperti bunga sebagaimana lambang partainya. Mekar dengan segala kontroversinya lalu segera layu karena tak dapat simpati pemilih. 

Jika dibandingkan partai-partai debutan di Pemilu 2019, tokoh-tokoh PSI kerap diundang sebagai narasumber dalam diskusi politik di beberapa media. 

Ketua umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI)| Tribun Medan/Riski Cahyadi
Ketua umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI)| Tribun Medan/Riski Cahyadi
Hal ini tak lepas dengan narasi-narasi anak muda PSI yang berani namun dinilai tak berisi oleh masyarakat. Segala curah wacana mendukung petahana dilontarkan hingga acap kali menyikut sesama koalisi.

Jika politisi dan partainya harus populis, maka PSI mengambil cara populis tersebut melalui hal-hal yang membuat kuping merah sebagian masyarakat. 

Sebut saja wacana penghapusan Perda Syariah dan Injil atau pelarangan poligami. Wacana penghapusan perda-perda tersebut menunjukan dukungan PSI terhadap kebebasan beragama bagi seluruh rakyat NKRI di bumi pertiwi, tetapi melarang poligami pun memperlihatkan pengekangan kebebasan bagi sebagian agama. 

Kontroversi PSI belum selesai dalam ranah wacana partai, pada penyajian iklan untuk kampanye, pun PSI mengundang cibiran dari sebagian masyarakat. 

Konten iklan PSI yang tak jelas dengan lelucon yang tak lucu dari sang ketua, membuat masyarakat tidak paham makna dan tujuan partai. Mungkin iklan PSI adalah menyasar kalangan anak muda yang memilih untuk pertama kali, namun justru para anak muda tersebut yang menilai iklan PSI garing.

Bisa jadi kegaringan iklan tersebut yang coba ditonjolkan sist Grace agar selalu diingat oleh para pemirsa, sebagaimana kontroversi para artis yang sering diliput infotainmen agar diperhatikan dan dibicarakan khalayak. Namun sepertinya maksud tersebut malah menjadi bumerang bagi PSI sendiri. 

Hampir mirip dengan iklan Perindo, kemunculan iklan PSI sering kali hadir ditengah-tengah acara favorit masyarakat atau juga prime time siaran televisi swasta, akibatnya iklan-iklan tersebut malah mengganggu dan menimbulkan stigma partai garing oleh karena iklan tak lucu.

Tidak bisa dipungkiri bahwa liputan media adalah kunci kesuksesan meraih simpati dan dukungan masyarakat dalam sebuah politik. Popularitas suatu partai akan berbanding lurus dengan capaian suara partai tersebut, namun masyarakat sudah pintar dengan memilah dan memilih partai berdasarkan popularitasnya. 

Popularitas sebuah partai tidak bisa hanya dibangun oleh iklan apalagi kontroversi saja, popularitas tersebut harus dibentuk berdasarkan realita yang dirasakan oleh masyarakat. 

Contohnya Partai Golkar, partai yang ditenggarai sebagai kendaraan rezim orde baru tidak pernah keluar dari empat besar pemilu, walaupun orde baru dengan segala keburukannya telah diruntuhkan dua puluh tahun yang lalu. Masyarakat masih memiliki memori akan kenyamanan saat rezim daripada Soeharto berkuasa dengan Golkar sebagai suara pendukungnya.

Lalu apakah Perindo dan PSI akan sebesar partai Partai Golkar ataukah hanya sebagai partai yang hidup segan mati tak mau sebagaimana PBB dan PKPI, hanya waktu dan simpati masyarakat yang akan menjawabnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun