To be honest, dari dulu saya selalu memilih berlari dengan musik. Mengapa? Entahlah, rasanya kaku aja kalau tidak ada suara apa-apa dan yang saya harapkan adalah musik bisa mengalihkan perhatian saya dari waktu yang bergerak begitu lambat ketika kita berlari. Betul bukan? Belum pernah saya menyadari betapa jauhnya 200m  itu atau betapa lamanya 60 detik berlalu.Â
Mungkin ini juga mekanism pertahanan saya tanpa sadar. Dari dulu saya lebih cenderung introvert, lebih senang mengamati daripada diamati. Dan ketika saya belajar atau mengerjakan sesuatu, mendengarkan musik adalah normal. Saya dapati diri saya lebih tenang dan dapat konsentrasi lebih lama jika ada distraksi kecil itu. Walau seluruhnya bisa disangkal dengan alasan scientific, tapi itulah yang saya alami dari kecil. Kadang saya cuma pasang earphone tanpa ada musik yang bersuara, hanya karena saya merasa lebih aman. Tapi ini dulu..
Berlari dengan orang lain, tentu berbeda. Pilihan pertama saya adalah berlari dengan background musik dari loud speaker. Tentu ada alasannya kenapa di setiap tempat seperti restoran, cafe, toko buku, supermarket, dan gym dipasang musik. Hanya satu hal yang saya bingung, kenapa di toilet umum tidak ada musik, mungkin mereka tidak mau orang berlama-lama di toilet. Dan saat berlari, saya bukan pada level yang nyaman untuk berbicara dengan orang lain, karena untuk mengatur nafas pun susah. Jadi dengan musik dari loud speaker hp, tanpa earphone, saya berlari dengan beberapa teman lain.
Sering saya dapati mereka yang berlari lebih professional dari saya, dalam arti sudah lebih lama menekuni hobi ini, mereka tidak menggunakan musik. Dan saya tentu bertanya pada mereka. Mereka jawab, coba deh, tenang dan nyaman kok. Tapi apa tidak bosan, tanyaku dalam hati.
Akhirnya saya coba berlari 10 miles dengan musik dan tanpa musik. Pada saat mencoba lari tanpa musik, tentu terasa akward dan tidak biasa. Mendengar nafas kita yang terengah-engah tentu bukan ritme favorit. Tapi ternyata tidak semengerikan yang saya pikirkan, dan tidak seindah yang saya pikirkan juga. Berlari tanpa musik membuat kita lebih waspada terhadap sekitar, mendengar irama tapak kaki dan aspal, mendengar angin berhembus di sekitar telinga, dan tidak repot memastikan kabel earphone tidak tersangkut. Saya bisa mengikuti irama nafas dan irama lari lebih peka. Dan waktu yang saya tempuh ternyata sama dengan waktu berlari dengan musik.Â
Ada saatnya juga saya bosan dan mencoba mencari distraksi dari melihat pace dan waktu di jam tangan saya. Dan saya rasa saya belum menemukan jawaban untuk ini, at least bukan jawaban yang bisa saya paparkan dengan percaya diri. Saya coba beberapa hal dan akan mencoba research lebih lagi untuk ini. Hal yang paling sering saya lakukan jika bosan, mencoba menghitung mundur menebak jarak, berlomba dengan benda yang diam atau benda lain di hadapan saya, atau ya lari saja.
Mendengar pikiran sendiri saat berlari, berlari dari stress kehidupan, berlari dari tuntutan, lepas dari angka-angka, adalah zen area dari berlari dan sebenarnya sangat menenangkan. Rileks.
Tentu pada saat perlombaan, akan banyak suara dan musik dari event organizer dan peserta dan penonton. Dan ini adalah sesuatu yang berbeda lagi dari musik. Apa mungkin kita perlu rekam suara sorak sorai penonton ini, dan menjadikannya soundtrack lari? Atau mungkin yang saya perlukan hanya teman berlari?
Sepertinya yang kedua.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H