Hingga tiba masa, kampung adalah haribaan paling sederhana dari semua cita,
semua cinta, juga semua tangkupan doa. Sesal lalu menabur.
Penyesalan lalu menghambur. Musnanya udara yang membujur
dari rongga dada beriringan langkahnya dengan umur. Tak dapat kiranya
dipungkiri, tapak-tapak kaki lalu sarat dengan ceceran darah dari luka
yang kita garit sendiri, dari pagi hingga pagi
ke seratus ribu pagi lagi.
Pernahkah kemudian kita sadari
bahwa penyair, presiden, pencuri, bahkan nabi,
juga memiliki; sepetak hamparan debu berkerikil batu yang bersaksi
akan kekampungan mereka di saat kanak, saat kekampungan mereka menari
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!