Mohon tunggu...
Anjrah Lelono Broto
Anjrah Lelono Broto Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis

Penulis freelance

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Sudikah Kau Menjadi Kampungku?

1 April 2018   23:11 Diperbarui: 1 April 2018   23:09 282
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi Pribadi

Hingga tiba masa, kampung adalah haribaan paling sederhana dari semua cita,

semua cinta, juga semua tangkupan doa. Sesal lalu menabur.

Penyesalan lalu menghambur. Musnanya udara yang membujur

dari rongga dada beriringan langkahnya dengan umur. Tak dapat kiranya

dipungkiri, tapak-tapak kaki lalu sarat dengan ceceran darah dari luka

yang kita garit sendiri, dari pagi hingga pagi

ke seratus ribu pagi lagi.

Pernahkah kemudian kita sadari

bahwa penyair, presiden, pencuri, bahkan nabi,

juga memiliki; sepetak hamparan debu berkerikil batu yang bersaksi

akan kekampungan mereka di saat kanak, saat kekampungan mereka menari

di antara berak dan air seni paling hakiki kemanusiaan yang terberi,

saat kekampungan mereka berpuisi di senyum-tangis pertama kali.

Sebelum semuanya menjadi hampa dan purnama datang pergi tanpa arti.

Jika

masih ada tanya tentang harga sepetak hamparan debu berkerikil batu,

empu tanda tanya itu sebenarnya telah menemui ajal, sementara

Mustahilkah

masih ada tanya tentang harga sepetak hamparan debu berkerikil batu,

empu tanda tanya itu sebenarnya telah menemui ajal, sementara

berita kematiannya masih menjadi sketsa.

Mengapa

masih ada tanya tentang harga sepetak hamparan debu berkerikil batu, sementara

berita kematiannya masih menjadi sketsa?

Kemudian, kita membeli sepetak hamparan debu berkerikil batu, ketika

empu tanda tanya itu benar-benar telah menemui ajal, dan berita kematiannya

tidak lagi menjadi sketsa. Orang-orang yang yang pernah meringkuk bahagia

dalam rahim orang-orang tercinta satu per satu menulis harapan di atas

sepetak sepetak hamparan debu berkerikil batu. Terkadang mereka

juga melagukan duka tanpa nestapa yang sebenar-benarnya benar. Hingga

benar tiba masa itu, di kampungmu aku ingin menutup mata.

Bumi Setrawulan, Maret 2018

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun