Hingga tiba masa, kampung adalah haribaan paling sederhana dari semua cita,
semua cinta, juga semua tangkupan doa. Sesal lalu menabur.
Penyesalan lalu menghambur. Musnanya udara yang membujur
dari rongga dada beriringan langkahnya dengan umur. Tak dapat kiranya
dipungkiri, tapak-tapak kaki lalu sarat dengan ceceran darah dari luka
yang kita garit sendiri, dari pagi hingga pagi
ke seratus ribu pagi lagi.
Pernahkah kemudian kita sadari
bahwa penyair, presiden, pencuri, bahkan nabi,
juga memiliki; sepetak hamparan debu berkerikil batu yang bersaksi
akan kekampungan mereka di saat kanak, saat kekampungan mereka menari
di antara berak dan air seni paling hakiki kemanusiaan yang terberi,
saat kekampungan mereka berpuisi di senyum-tangis pertama kali.
Sebelum semuanya menjadi hampa dan purnama datang pergi tanpa arti.
Jika
masih ada tanya tentang harga sepetak hamparan debu berkerikil batu,
empu tanda tanya itu sebenarnya telah menemui ajal, sementara
Mustahilkah
masih ada tanya tentang harga sepetak hamparan debu berkerikil batu,
empu tanda tanya itu sebenarnya telah menemui ajal, sementara
berita kematiannya masih menjadi sketsa.
Mengapa
masih ada tanya tentang harga sepetak hamparan debu berkerikil batu, sementara
berita kematiannya masih menjadi sketsa?
Kemudian, kita membeli sepetak hamparan debu berkerikil batu, ketika
empu tanda tanya itu benar-benar telah menemui ajal, dan berita kematiannya
tidak lagi menjadi sketsa. Orang-orang yang yang pernah meringkuk bahagia
dalam rahim orang-orang tercinta satu per satu menulis harapan di atas
sepetak sepetak hamparan debu berkerikil batu. Terkadang mereka
juga melagukan duka tanpa nestapa yang sebenar-benarnya benar. Hingga
benar tiba masa itu, di kampungmu aku ingin menutup mata.
Bumi Setrawulan, Maret 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H