Seperti halnya dengan apa yang saya sampaikan dalam makalah berbahasa Jawa saya yang berjudul "Kepethuk Bathuk"(Pertemuan Kepala, terjemahan), bayangan (alm) Bambang Widoyo Sp (Kenthut Gapit) langsung berputar di kepala saya ketika pertama mengetahui bahwa Andy Sri Wahyudi menggunakan bahasa Jawa dalam penulisan naskah repertoar teater di buku ini. Hal ini seakan sebuah reflek mengingat selain "Rol", "Leng",maupun"Tuk"yang ditulisnya, sepengetahuan saya tidak ada karya naskah teater berbahasa Jawa yang berkualitas. Bambang Widoyo Sp benar-benar seperti sejarah yang senantiasa membayangi gerak-langkah perjalanan produktifitas naskah teater berbahasa Jawa.
Hadirnya bayangan tersebut dalam kepala saya ternyata tidak berlebihan, Barbara Hatley dalam Pengantar buku ini pun menyenggol kegenialan Bambang Widoyo Sp dalam penulisan naskah teater berbahasa Jawa. Hal ini pula diakui oleh Andy Sri Wahyudi, bahwa dalam perjalanan proses kreatifnya, dirinya juga pernah membaca-memainkan naskah-naskah Bambang Widoyo Sp.Â
Walaupun dirinya menolak disebut sebagai epigon, tetapi dirinya juga tidak memungkiri betapa Bambang Widoyo Sp-lah yang juga memberikannya gambaran konkret sebuah naskah teater berbahasa Jawa dan menginspirasi untuk membuat karya serupa tapi dengan modal literatur mindset generasi serta asupan lingkungan sosial-politik-budaya yang berbeda. Bahkan, dalam diskusi istimewa tersebut, tanpa mengecilkan seorang Bambang Widoyo Sp, Andy Sri Wahyudi lantang berkata andai kelahirannya lebih dulu maka karyanyalah yang membayang-bayangi dalam perjalanan sejarah penulisan naskah repertoar teater berbahasa Jawa. Bukan "Rol", "Leng",maupun"Tuk".
Dalam buku ini terdapat tiga naskah repertoar teater. Selain, "Mak, Ana Asu Mlebu nGomah"sendiri, juga ada "Lelakon"dan "Ora Isa Mati".Tiga naskah repertoar teater ini cenderung menyampaikan keoptimisan dalam melakoni hidup. Kepahitan penderitaan dalam hidup dan berkehidupan yang mencuat sebagai tema cerita tidak serta-merta menampilkan aura nglayung(mengeluh dan mengharapkan kematian sebagai solusi akhir, terjemahan saya) plus udan tangis(penuh kenestapaan, terjemahan) sebagimana yang berkali dihadirkan dalam karya-karya Bambang Widoyo Sp dalam catatan sejarah sebelumnya.
Naskah "Lelakon"secara lugas menyampaikan pesan bahwa hidup harus dijalani dengan kepala dingin, dengan pikiran yang waras, dan trengginas dalam mengambil inisiatif solusi. Betapa tokoh Samsinah yang terpinggirkan dalam kelola-mengelola usaha Keluarga Lukito (orang tua tokoh Nanang) tidak menyerah dan membanjirkan keluh-kesah.Â
Sedang di naskah "Mak, Ana Asu Mlebu nGomah!"kegetiran hidup karena menjadi korban penggusuran oleh Pengembang "Asu" Perumahan tidak bermuara pada nglayung tanpa kendhattetapi dihadapi dengan ketegaran dan keyakinan betapa kekalahan fisik tidak harus diikuti dengan kekalahan batin. Warga yang tergusur memilih membawa pergi maesan (nisan) makam sesepuh desa sebagai simbol ketidakmatian nurani. Optimisme ini semakin runcing diraut dalam naskah ketiga dalam buku ini; "Ora Isa Mati". Orasi tokoh Ganang di bagian akhir menjadi petanda bahwa kedirian kita sebagai manusialah yang membuat kita tetap hidup dalam pemaknaan yang lebih luas.
Sekali lagi, sebagimana yang saya sampaikan dalam makalah saya di agenda istimewa ini, melalui buku istimewa ini seakan Andy Sri Wahyudi mengajak kita untuk tidak selamanya tenggelam dalam bayangan sejarah masa lalu dan tak memiliki bayangan tentang masa depan. Mengetahui sejarah itu perlu, namun memuja-mujanya secara berlebihan, mengotak-atiknya, serta menjadikannya komoditi pro-kontra bukanlah bijak bagi saya. Andy Sri Wahyudi dengan buku istimewanya menginspirasi kita semua untuk membuat sejarah sendiri yang tak kalah istimewanya.
Saya ucapkan selamat kepada Andy Sri Wahyudi atas buku istimewanya, dan terima kasih kepada Andhi Setyo Wibowo atas pendaulatannya dalam agenda istimewanya. Sungguh, kami yang membaca buku ini dan hadir dalam agenda ini merasa begitu istimewa.
--- oo0oo ---
Trowulan, 08 Maret 2018
Â