Relasi Kekuasaan dan Seksualitas Di Dunia Pendidikan
Oleh Anjrah Lelono Broto *)
[caption id="attachment_254636" align="alignleft" width="300" caption="courtesy www.bisnisaceh.com"][/caption] Maraknya tindak asusila yang terjadi di dunia pendidikan kita akhir-akhir ini tentu saja mengundang keprihatinan yang mendalam. Aksi tindak asusila guru kepada anak didiknya sebagaimana yang terjadi di SMAN 22 Jakarta, SDN Gandu Nganjuk, serta beberapa sekolah lain di tanah air, menghidupkan kembali polemik klasik tentang relasi kekuasaan yang terbangun di balik tembok sekolah-sekolah di tanah air. Besar kemungkinan, relasi kekuasaan tersebut menggurita menyentuh pelbagai dimensi kemanusiaan, di antaranya adalah seksualitas.
Akibatnya, seorang guru yang kehilangan kesadaran moralitasnya dapat menggunakan relasi kekuasaan ini untuk menyalurkan syahwatnya dengan melakukan tindak asusila pada anak didiknya. Berlindung di balik kekuasaannya untuk menentukan baik-buruknya nilai evaluasi pembelajaran, seorang guru yang amoral pun bisa menghancurkan masa depan anak didiknya demi kepuasan seks semata.
Relasi seksual antara guru dan siswa merupakan topik yang provokatif dan sering dijumpai dalam situasi manajerial sensitif gender yang buruk. Artinya, mayoritas lembaga pendidikan di tanah air jarang yang memiliki komisi etik yang bertugas untuk mengawasi perilaku guru dan atau staf administrasi sekolah yang menyalahgunakan kekuasaannya. Kepala sekolah lebih sibuk memberikan sanksi kepada siswa ketimbang mencermati pribadi-pribadi yang dipimpin dan dibinanya.
Terlebih, konstruksi saling menjaga kehormatan yang telah mapan di lingkungan pengelola dan penanggung jawab pendidikan kita. Ketika, ada satu oknum tenaga pendidik yang terbukti melakukan tindak kejahatan, di antaranya asusila, dan menjadi konsumsi publik secara umum. Maka, tidak hanya kehormatan oknum tenaga pendidik tersebut yang jatuh. Tetapi juga sekolah tempatnya mengabdikan diri, dinas pendidikan dan kebudayaan daerah tersebut, bahkan korps guru di daerah-daerah lain juga mendulang stigma negatif yang senada.
Guna menghindari terjadinya hal tersebut, maka menyeleseikan secara internal sekian banyak kasus tindak kejahatan di lingkungan dunia pendidikan kita adalah kelaziman. Selama dapat dikondisikan agar tidak tercium publik, serta tersentuh elemen penegak hukum maka paling-paling oknum tenaga pendidik yang melakukan tindak kejahatan tersebut hanya memperolah sanksi mutasi. Padahal lemahnya sanksi justru tidak memberikan efek jera kepada pelaku tindak kejahatan, sehingga terulangnya tindak kejahatan merupakan keniscayaan.
Dalam konteks tindak kejahatan asusila, pelecehan seksual merupakan bagian dari definisi kekerasan terhadap perempuan. Kekerasan terjadi bila ada seorang atau sekelompok orang yang memiliki “kekuasaan atas” (power over) dan bukan “kekuasaan untuk” (power to) orang lain atau kelompok lain. Pendekatan “kekuasaan atas” merupakan pendekatan dominasi atau penindasan sedangkan “kekuasaan untuk” merupakan pendekatan keinginan untuk mencipta. Seseorang yang ditunjuk untuk berkuasa dapat menggunakan kekuasaannya dalam dua cara tersebut, yakni, menghancurkan (power over) atau memberdayakan orang (power to). Oleh sebab itu, memiliki kuasa dalam sebuah jabatan merupakan tanggung jawab yang besar.
Tanggung jawab seseorang atau kelompok yang berkuasa meliputi tanggung jawab untuk melindungi mereka yang tidak berkuasa. Tanggung jawab orang atau kelompok yang berkuasa adalah memberdayakan pihak yang tidak berkuasa serta menghormati hak-hak mereka. Maka, “kekuasaan” guru, negarawan, orangtua, majikan, dan sebagainya, merupakan kekuasaan yang bertumpu pada “kekuasaan untuk”. Untuk senantiasa menegakkan keadilan dan bukan melecehkan orang atau kelompok yang menjadi tanggung jawabnya.
Sementara, dalam hal kekuasaan relasi seksual, relasi ini lebih pelik, karena hubungan kekuasaan seringkali diwarnai oleh pendekatan power over terhadap yang lemah. Apalagi bila kekuasaan itu tidak seimbang, artinya, salah satu partisipan memiliki otoritas yang lebih tinggi. Maka jelas, hubungan seksual antara guru dan anak didiknya merupakan hubungan yang tidak setara. Di dalam kode etik profesi, hubungan yang tidak setara merupakan hubungan yang tidak dapat berjalan secara profesional karena tidak akan ada akuntabilitas dan transparansi.
Secara umum, tindakan asusila merupakan tindakan yang mencedarai konstruksi moralitas kemanusiaan kita. Terlebih, apabila terjadi di antara guru dan anak didiknya. Karena relasi kekuasaan yang ada di lingkungan lembaga pendidikan hendaknya berdasarkan penilaian yang objektif, bukan subjektif. Tenaga pendidik harus memberikan nilai evaluasi pembelajaran yang sebenar-benarnya kepada anak didiknya secara objektif. Hal-hal di luar konteks tersebut tidak boleh ikut mempengaruhi objektifitas penilaian evaluasi pembelajarannya. Bukan karena sang anak didiknya tersebut menarik hatinya, dan atau bersedia menerima penyaluran syahwat seksualitasnya.
Dalam hal penjagaan objektifitas, Peter Markie (1990) dan Deirde Goulash (2008) menjelaskan dalam tulisan mereka tentang relasi guru dan anak didik sebagai relasi yang harus memiliki prinsip keadilan bagi anak didik lainnya. Markie mengambil sikap ekstrim untuk tidak memiliki relasi apapun dengan anak didiknya selain relasi yang sejalan dengan kode etik profesionalitas. Sedangkan Goulash lebih fleksibel dalam mentolerir relasi guru dan anak didiknya, meskipun ia tetap menempatkan relasi tersebut sebagai bukan faktor yang mempengaruhi objektifitas penilaian dalam evaluasi pembelajaran. Simpulannya, ketika relasi guru dan anak didik masih dapat menimbulkan conflict of interest, maka guru tersebut dapat dianggap tidak mampu menjalankan tugasnya secara profesional.
Semoga menjadi renungan kita bersama.
**********
~ dimuat di Harian BERITA METRO, edisi 11 April 2013]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H