Mohon tunggu...
Anjrah Lelono Broto
Anjrah Lelono Broto Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis

Penulis freelance

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Lokalitas Dalam Puisi-Puisi Mas Ragil

10 Juli 2012   05:24 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:07 1314
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh Anjrah Lelono Broto *)

IDENTITAS BUKU:

Judul: AVONTUR, Sekumpulan Puisi

Penulis: Ragil Supriyatno Samid

Penerbit: Mozaik Books Malang

Cetakan: Pertama, Maret 2012

Ukuran: 13,5 x 20 cm, 100 halaman

Ahay, layaknya seorangguide, melalui buku Avontur, Sekumpulan Puisi”nya, Ragil Supriyatno Samid (selanjutnya biar lebih akrab kita sebut ‘Mas Ragil’, pen) menyuguhkan informasi dari sebuah tempat atau daerah kepada pembacanya, Mayoritas puisi-puisi dalam buku ini bercerita tentang perjalanan pribadinya dari satu kota ke kota lain, dari satu tempat ke tempat lain, bahkan besar kemungkinan dari satu pelukan (sosio-kultural) ke pelukan yang lain.

Melalui diksi-diksinya yang menunjukkan tempat seperti ‘Di Kota Lama’, ‘Di Depan Stadion, ‘Di Kahayan’, dan beberapa yang lain, Mas Ragil mendongengkan kisah di balik keberhargaan tempat-tempat tersebut bagi dirinya. Adalah sebuah harap juga, keberhargaan tersebut dapat ditranformasikan kepada pembacanya, sehingga apabila pembaca puisi-puisinya ada yang kebetulan singgah di tempat yang dimaksudkannya, mereka dapat memahami betapa berharganya tempat ini bagi kedewasaan batin Mas Ragil.

Di satu sisi, diksi-diksi yang mengarah pada satu entitas kultur tertentu seperti ‘To’o Kas Be Doi Do’, ‘Katong Ba Togo’, ‘Korak’, ‘Narong’, ‘Moke’ dan lain yang seruh, menjadi tambatan tanda betapa Mas Ragil begitu menghargai entitas kultur tersebut sebagai bagian mendasar dalam denyut nafas hidupnya, termasuk di antaranya denyut proses kreatifnya.

Ketika penyair memilih menjelma sebagi guide, sebagaimana yang dilakukan Mas Ragil melalui karya-karyanya, sebenarnya bukanlah hal yang baru dalam sejarah sastra Indo­nesia. Genre lokalitas sastra (baca; sastra yang mengangkat unsure-unsur lokal) telah dimulai di era Balai Pustaka, sebagaimana puisi-puisi Amir Hamzah. Ketika Pujangga Baru dan Periode 45 yang lekat dengan tema-tema dan gesture nasio­nalisme-humanisme menenggelamkan genre lokalitas sastra, Ajip Rosidi merevitalisasinya melalui “Jante Arkidam”. Kembali genre lokalitas sastra menemukan nampan nyamannya, terlebih ketika Ramadhan KH, WS Rendra, Remmy Silado, dll meruapkan karya-karyanya di blantika perpuisian tanah air. Belum lagi, jika jari-jari tangan kita juga dipaksa menghitung bentuk karya sastra yang lain seperti cerpen, novel, naskah drama, hingga skenario film. Sederet nama besar seniman di tanah air, mendekatkan dirinya senantiasa dengan unsur-unsur lokalitas. Tengoklah nama seperti Ahmad Tohari, YB Mangunwijaya, Pramudya Ananta Toer, Arifin C Noer, Teguh Karya, hingga generasi Rano Karno, Dee, Ayu Utami, Benny Arnaz, dll. Mereka juga membesarkan diri dengan idiomatikal kultur lokal tertentu.

Ada sesuatu yang tak kurang berharganya dalam lokalitas sastra karya-karya Mas Ragil dalam buku “Avontur, Sekumpulan Puisi” ini, lokalita dalam puisi-puisi Mas Ragil tidak hanya berhenti menjadi idiom latar, atau sekedar kalimat penjelas bahwa ini puisi tentang tempat tertentu. Mas Ragil mengambil spirit lokalitas tersebut dan membahasakannya dengan tata bahasa dan sastra Indonesia. Pengambilan spirit kebersamaan dalam puisi “Mari Katong Ba Togo”, ataupunspirit pencarian jati diri dalam puisi “Di Kahayan”, menjadi petanda tak terdustai betapa Mas Ragil tidak hanya menempatkan lokalitas sebagai komoditi tunggal perjalanan proses kreatifnya. Sehingga, lokalitas dalam puisi-puisi Mas Ragil dalam buku ini tidak sekedar menempelkan idiom-idiom lokal tersebut sebagai aksesoris yang indah namun jauh dari pemahaman-pengendapan kesejatian isi.

********

Ketika Modernisme dan Nasionalisme justru dipelintir segelintir oknum yang haus kekuasaan dan ternyata gagap-gagal menjadi antibodi lahirnya konflik-konflik horizontal, serta makin nampaknya upaya pe’maksa’an penempatan kebudayaan asing sebagai parameter berkualitas-tidak berkualitas, ataupun layak bersertifikat apa tidak. (perlu diingat, Bapak Mendikbud yang baru saja menerima rujuknya Kebudayaan hingga seatap lagi dengan Dinas Pendidikan, maaf, lagi getol mewacanakan adanya tes sertifikasi berstandar internasional bagi seniman Indonesia), kearifan lokal menjelma menjadi primadona mesin browser jati diri bangsa Indonesia. Bahkan, juga menjelma menjadi pilihan mainstreame per­kem­bangan kesusastraan Indo­nesia terkini. Para sastrawan seperti berlomba-lomba mem­promosikan daerahnya masing-masing, idiom-idiom seperti Sastra Etnik, Sastra Pesisir, Sastra Tapal Kuda, bahkan Sastra nJombangan menjadi wacana yang dipaksa-adakan entah demi eksistensi siapa.

Dalam atmosfer seperti ini, lokalitas memang demikian aduhai untuk menjadi pelantang “kata-kata” siapa saja, terutama bagi masyarakat kita yang memilih menjadi objek ketimbang subjek globalisasi. Bngsa Indonesia yang memang memiliki modal warisan pluralitas-multikultural pun menyambut datangnya era Post-­Modern ini dengan penuh suka cita.

Akan tetapi, dalam puisi-puisi­nya Mas Ragil, kesukacitaan tersebut tidak menjadi motivasi utama perjalanan proses kreatifnya. Pluralitas-multikulural yang diangkatnya ke dalam bahasa puitiknya tidak hanya berkutat dalam tataran plu­ralitas konvensional yang dekat dengan ke-SARA-an, namun juga menarasikan problematika kontemporer, seperti serpihan pluralitas berbasis geografis, sebagaimana yang tergambarkan dalam penggalan: / hidup di negeri mangkok ini / dalam dasaran lembah nan curam / kita orang mesti pandai bernyanyi //.

Dalam penggalan puisi “Mari Katong Ba Togo” ini, Mas Ragil bernarasi tentang stilistika perspektif masyarakat di dataran Flores, Nusa Tenggara Timur, yang ‘menerima’ takdir geografisnya dengan kesukacitaan. Keterpencilannya bukan sebuah alasan untuk tidak nyaman memandang dan menjalani hidup. Spirit kesederhanaan inilah yang mengesan batin Mas Ragil dan kemudian mengusiknya untuk didokumentasikan dalam sebuah puisi, hingga bisa dibagi-ceritakannya kepada sanak handai taulan di tempat-kultur yang lain.

********

Memang, tidak semua puisi-puisi Mas Ragil dalam buku “Avontur, Sekumpulan Puisi” menempatkan lokalitas sebagai ruhnya. Selain warna lokal, Mas Ragil juga menarasikan gita cintanya, kasih dan hormatnya kepada orang tua, ataupun kegelisahannya mencermati perkembangan politik tanah air. Namun, penulis terkesan dengan puisi-puisinya yang beraroma lokalitas karena di era multi-kultural sekarang ini, karya sastra semacam inilah yang diharapkan media penyambung lidah rakyat yang bersekat di antara satu budaya dengan budaya lain, satu daerah dengan daerah lain. Sehingga lokalitas tidak hanya berhenti menjadi aksesoris dan atau komoditi untuk menggapai eksistensi, namun justru menjadi perekat keberbedaan yang menjadi entitas sejati pluralitas masyarakat kita.

----------------ooo00000ooo----------------

*) Litbang LBTI, Penjaga Gawang Talkshow Belajar Sastra Radio Suara Pendidikan Depdibud Kabupaten Jombang.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun