Mohon tunggu...
Anjrah Lelono Broto
Anjrah Lelono Broto Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis

Penulis freelance

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Diary Inong dari Surabaya

4 Oktober 2011   07:17 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:21 369
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Diary Inong Dari Surabaya

(Catatan Repertoar INONG; DONGENG RUMAH JALANG Produksi Ke-5 Teater Kopi Hitam Indonesia)

[caption id="attachment_134941" align="alignnone" width="574" caption="Inong (Gandis Uka) meratapi penyakit yang dideritanya."][/caption]

“Mungkin. Kau juga akan menyalahkan aku? Memang yang datang kemari selalu membawa alasan untuk menyalahkanku. Perempuan memang tidak akan mampu berbuat apapun jika terus dihujat dengan kesalahan.”

(Sepenggal dialog repertoarInong; Dongeng Rumah Jalang)

Keluh dan kesah yang tercermin dalam penggalan naskah di atas merupakan gambaran sederhana termarjinalisasinya eksistensi perempuan di mata publik. Eksistensi perempuan terpinggirkan dengan tidak hormat oleh banalitas paradigma patriarkhi yang menelusup dalam dimensi kehidupan manusia, baik dari sisi kultur, ekonomi, pendidikan, terutama di wilayah komunikasi trans-gender.

Situasi dan kondisi berkeluh kaum Hawa inilah yang kemudian diangkat menjadi repertoar oleh Teater Kopi Hitam Indonesia (TKHI). Sisi kemanusiaan terdalam perempuan yang terpaksa disubordinasikan oleh kaum Adam disampaikan dalam bahasa panggung teater dalam peristiwa budaya Parade Teater Alternatif (21/09). Repertoar produksi ke-5 TKHI ini mengambil tajuk “Inong; Dongeng Rumah Jalang”.

Inong Ya Inong

Inong’, secara etimologis dalam Bahasa Aceh berarti ‘perempuan’ dalam arti luas. Sedangkan ketika terserap ke dalam Bahasa Indonesia, kata ‘Inong’ bermakna ‘perempuan pemberani’. Penyempitan makna ini tercipta mengingat publik tanah air memandang perempuan Aceh adalah perempuan yang pemberani. Hal ini merujuk pada kajian historis bahwa “Malahayati” merupakan armada laut perempuan pertama di Indonesia, pahlawan-pahlawan perempuan dari Aceh seperti Cut Nya’ Dien, Cut Meutia, dll, hingga “Inong Bale” yang merupakan sayap militer Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang dikhususkan bagi perempuan. Realita inilah yang melatarbelakangi oleh TKHI memilih diksi ‘Inong’ sebagai tajuk repertoar ini.

Naskah repertoar Inong; Dongeng Rumah Jalang produksi ke-5 TKHI ini ditulis oleh Cucuk Espe. Sedangkan, musiknya diarransemen oleh Farid Khuzaini yang lebih dikenal sebagai Doelkhamdie. Lebih merinci, repertoar ini mengusung empat tokoh yaitu Sandek (Cucuk Espe), Madranu (Anjrah Lelono Broto), Silay (Farid Khuzaini), dan Inong (Gandis Uka). Sedangkan musik dan artistiknya dibantu oleh Rozikin, Agus, dan Wahyu.

Gandis Uka sendiri baru pertama kali ini bergabung bersama TKHI. Dara manis kelahiran Mojokerto ini sebelumnya tergabung dalam Lidi Art Forum dan sekarang tengah menempuh pendidikan di STKIP PGRI Jombang. Menurutnya, dalam proses berteater TKHI, dirinya menemukan banyak sisi tentang dirinya yang selama ini tidak mampu mewujud karena yunioritas dan keperempuanannya justru menjadi komoditi lingkungannya untuk ‘hanya memanfaatkannya’.

“Sebelumnya, saya gagap dengan stilistika proses TKHI yang membawa spirit bermain tak bermain dan aktor sebagai panggung itu sendiri. Tetapi kegagapan itu berubah menjadi rasa enjoy, saat kawan-kawan TKHI ternyata mudah sekali menerima dan menghargai perbedaan. Baik cara pandang, latar belakang, hingga keterbatasan masing-masing. Apalagi naskah ini menyampaikan susahnya menjadi perempuan,” tuturnya usai pementasan sembari menyeruput kopi, manis.

Gaya Inong (Gandis Uka) saat merayu Silay (Farid Khuzaini).

Repertoar Inong; Dongeng Rumah Jalang sendiri sejatinya tidak diperuntuk-gelarkan untuk Parade Teater Alternatif kemarin. Repertoar ini rencananya akan dibawa TKHI untuk menyambung silahturakhim kerja-kreasi seni budaya ke beberapa kota di Indonesia seperti Bandung, Yogyakarta, Jakarta, dan beberapa kota lain. Mengingat adanya undangan yang melayang ke manajemen TKHI maka repertoar ini pun dibawa-ramaikan dalam salah satu agenda Pra FSS 2011 kemarin.

Menjawab tanya tentang TKHI di Jombang, sejak sebelum puasa kemarin pihak manajemen TKHI telah berkoordinasi dengan DPRD Kabupaten Jombang. Sedianya, wakil-wakil rakyat kita akan menghadirkan repertoar Inong; Dongeng Rumah Jalang ini ke gedung dewan. Ekspektasi menjadi gedung dewan pertama di Indonesia yang akan berdengung-denging oleh suara pegiat teater besar kemungkinan adalah keniscayaan. Sayangnya, hingga kini kejelasan tentang ‘tanggal main’ repertoar ini masih kabur, karena masih menunggu rapim dan rapim.

FSS Ya FSS

FSS 2011 ini mengambil tema "Anomali Kebudayaan". Tema ini merupakan penyemangat dan nilai yang hendak dikedepankan dalam sebuah festival. Koordinator Program FSS 2011, Rakhmat Giryadi, berharap seluruh penyaji mampu memberi kontribusi positif terhadap perkembangan seni dan kebudayaan di Jawa Timur maupun Indonesia.

Menuju ke agenda besar FSS 2011 sendiri yang sedianya digelar awal Oktober ini, sebelumnya digelar Pra FSS yang berupa agenda Tadarus Sastra dan Parade Teater Alternatif.Agenda Tadarus Sastra yang dihelat akhir bulan Agustus lalu mengundang penulis pribadi selaku wakil kota Jombang. Sedangkan pada agenda Parade Teater Alternatif kemarin penulis bersama kawan-kawan TKHI juga mewakili kota Jombang.

Selain TKHI, Parade Teater Alternatif sendiri diramaikan dengan beberapa repertoar teater alternatif, yaitu: (1) Biola Tanpa Kata (Klinik Teater STKW); (2) Yang Terbunuh dan Yang Membunuh (Teater Sendratasik Unesa); (3) “..” (Gaprax); (4) Si Kancil dan Si Anjing (Teater Roda Lamongan); dan (5) Sudang-Suding (Sabda Theatre). Keterlibatan TKHI sebagai salah satu penyaji dalam peristiwa budaya ini merupakan bentuk komunikasi saling menghormati di antara egoisme berkarya kreatif. Bersedia membagi ruang waktu dan perhatian untuk menengok kerja-kreasi seniman lain merupakan bentuk penajaman pada kerja-kreasi sendiri.

Hal ini pulalah yang penulis sua ketika melihat hadirnya beberapa kawan dari Jombang sendiri seperti Mas Anugh dan Bambang Bee (Komunitas Alief Mojoagung), maupun dari daerah lain seperti Jabbar Abdullah (Mojokerto), Sri Wahyudi (Malang), Kang Yusril (Pasuruan), dll. Bagaimana seniman lain bertandang ke kota kita, kalau kita sendiri enggan bertamu ke kota-kota mereka?

*****

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun