Mohon tunggu...
Anjrah Lelono Broto
Anjrah Lelono Broto Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis

Penulis freelance

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ingin Ku Banting Pasir Waktu Itu

17 November 2011   11:06 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:33 177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Oleh Anjrah Lelono Broto

Watie’ yang bersuara merdu

Salah satu kesalahan terbesar dalam hidupku, mungkin, adalah berkawan baik dengan Bapakmu. Sebenarnya, usia kita terpaut jauh. Bahkan, kalau ku lihat angka di KTP-ku, aku ini lebih pantas menjadi anaknya ketimbang menjadi temannya. Namun, karena memiliki kesukaan yang sama, kami lebih pantas disebut sebagai karib daripada sekedar kawan ngobrol disanding nikmat-hangatnya kopi manis.

Aku dan Bapakmu memiliki kesukaan yang sama yaitu menulis. Karena waktu melihat-menikmati cahaya matahari lebih ada pada Bapakmu, dengan sendirinya aku lebih suka bertanya dan beliau menjawab tentang perihal tulisan. Kadang kala, kekariban memberi pengertian bahwa kebijakan tidak senantiasa berdiri kokoh pada pijakan usia. Bapakmu juga sering pula menanya tentang resital awan di balik bukit dari pandang mataku. Mata pandang yang menurutnya, senantiasa jatuh cinta.

Perkawanan baik ini pula yang teramat kusesal adanya, kala mendengarmu bernyanyi. Suaramu begitu-seindahnya merduan. Kamu yang biasanya hanya menunduk saat membelah ruang tamu, tersenyum sedikit saat aku dan Bapakmu berbalas aforis, dan menyembunyikan suara kakinya saat lelahan dengan imajinasi masing-masing menjadi petaka tak terelak, ketika shubuh mengintip. Ternyata, kamu menyimpan tiaranya suara di pita leher jenjang yang pernah kulirik satu kali saat kamu pulang sekolah, kehujanan.

Sumpah, hanya sekali.

Watie’ yang pernah membuatku menjadi Bung Karno

Meski hanya sekali, pandang mataku yang menurut Bapakmu senantiasa jatuh cinta ini, menikmati pemandangan leher jenjangmu. Namun, tak bisa dengan mudah kusimpan memori pandangan itu di laci benak dengan kunci yang kemudian sukar diingat model, juga tempat menggantungnya. Aku tidak mudah melupanya, bahkan sempat membuatku bermimpi tentang bebek yang berbulu merah dan kesederhanaan perempuan belia yang mengguncang-ngguncang keyakinan.

Hingga, kubuntukan jalan megah antara aku dan Bapakmu dengan sebuah kalimat tak teredit, melolos dari ketatnya kebernyawaan sebuah kosakata; “Watie’ sekarang sudah besar, ya...”

Beberapa derit pintu mengisi kekosongan yang sungguh ku sesal pernah terjadi. Bapakmu tidak memberikan reaksi ping-pong panggung. Beberapa detikan, dirinya terbunuh dalam mangu. Ingin rasanya, saat itu, ku jilat kembali kalimat itu dan kutekan dalam-dalam sebagai materi puisi kamar yang mungkin esok, lusa, bahkan bulan depan baru terpahamkan pesannya.

“Satu mitos tentang Bung Karno yang jarang diketahui publik adalah ke’dekat’annya dengan Bopha, putri Norodom Sihanouk, sahabatnya. Bung Karno juga menggunakan kosakata yang sama persis dengan yang kamu ucapkan,” mantab mengalir dari bibir Bapakmu.

Tentang p’rasaku saat itu, kiranya ada ratusan kata-frasa-klausa-kalimat yang tak mampu menggambarkannya. Aku mendadak malu dengan Pohon Jambu di depan rumahmu.

Watie’ yang pernah sakit mata

Suatu kali-hari, saat aku dan Bapakmu tengah mempersiapkan launching antologi cerpen keroyokan kami. Kulihat ada kaca mata hitam yang jadul modelnya menghias-tabiri sinar matamu. Aku tertawa, Bapakmu juga tertawa. Dan ku rasa, burung-burung yang hinggap di dedahan pohon Jambu depan rumahmu juga tertawa. Kami mengolokmu dengan diksi-diksi lawakan klasik tentang pemain Kuda Kepang.

Yang kulihat adalah sebuah nyataan yang tak ku jumpa dua atau tiga tahun sebelumnya. Biasanya kau majukan bibirmu, dan mengumbar cericauan yang pernah kuhapal hanya untuk sebuah referensi teenlit. Tapi suatu kali-hari itu, kamu malah tersenyum. Kau buka kacamata jadulmu dan kau tunjukkan merahnya matamu. Jelas, tertuju padaku. Jelas, tertuju, padaku.

Kalau Bapakmu, tentu dirinya telah memahfumi kesakitan di mata yang tengah melanda putri kesayangannya.

Seakan kau ingin berkata; “Aku sakit, Mas.”

Watie’ yang kusua kala hati tak lagi milik sendiri

Tak terbantahkan, kita telah lama tak bersua. Ketika Bapakmu memilih menjadi WNA, aku menghormati pilihan itu, meski sebenarnya berat juga menerimanya. Tak kudengar pekabaran tentangmu, Watie’. Tentang perempuan bersuara merdu yang ketika dadanya masih sesekal Mangga muda pernah ku curi dengan pandang mataku yang senantiasa jatuh cinta.

Hingga kita bersua hari itu. Seorang lelaki baik-baik dengan baik pula bersudi-sedia mendampingimu meniti baiknya hidup demi kebaikan duniawi-akhirati. Aku bersyukur. Kuapresiasi pertemuan indah hari itu dengan dua-tiga jumputan salam, salingan mendoa, juga harap agar pertemuan hari itu bukanlah titik.

Hingga via email, kau tanya tentang perempuan-perempuan dalam puisiku. Siapa mereka? Benarkah mereka nyata -sebagaimana Aryati-nya Chairil Anwar- atau hanya sebuah diksi terpilin? Tak segera ku jawab dengan ujaran harfiah, pertanyamu itu. Namun, kau terus mengejar, dan terus mengejar, hingga tak ku tersudut di antara alam nyataan dan imaji.

Kala ku ujar bahwa ada yang memang benar-benar putih mengalir dari alam imaji, “Namun ada juga yang bermuasal dari lebihan degupan dada kerna ada kejatuhan hati di sini,” sembari kuremas dada ini.

Di bangku taman perpustakaan kecil, kau menangis. “Selama ini, aku menyadari, aku tak bernilai. Aku terlalu sederhana untuk dipuisikan. Hadirku tidak menggelisahkan hati, kan? Bapak mengajariku bahwa gelisahlah yang membuat seniman-penyair senantiasa berkarya. Seniman-penyairlah yang selama ini membuatku gelisah,”

Alangkah kerdilnya aku. Tak mampu kubaca dengan benar ayat-ayat Tuhan yang terurai bersama tarikan nafasnya, merdu suaranya, sekal dadanya, bahkan ketika matanya memerah. Ingin kubanting pasir waktu, agar berkeping sehingga pusaran masa dapat kupinjam sejengkal dua jengkal guna membaca kembali dengan benar. Air mata ini jatuh. Pulasnya istirah musnah di pususan badai. Alangkah kerdilnya diriku.

Bahkan kalimat yang terakhir membuatku semakin menjadi kerdil. “Mas, aku ingin ada dalam puisi-puisimu,”

*********

Mojokerto, Oktober, 2011

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun