Mohon tunggu...
Anjrah Lelono Broto
Anjrah Lelono Broto Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis

Penulis freelance

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tren Komunitas Sastra; Legitimator, Feodalistik, dan Patahnya As

22 Juli 2011   11:22 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:28 339
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh Anjrah Lelono Broto *)

Adalah sebuah tren baru di dunia sastra kita dewasa ini. Tren tersebut adalah trend membuat-mencipta nama komunitas sastra di belakang nama pribadi yang bergulat-berkarya di dunia sastra. Bermunculannya nama komunitas sastra X, komunitas sastra Y, di berbagai daerah Indonesia memang patut diapresiasi positif. Kemunculan nama-nama komunitas sastra ini (bisa jadi) menjadi petanda bahwa masyarakat Indonesia kian melek sastra. Serta, menjadi petanda betapa masyarakat kita ‘mencoba’ membalas umpan bola lambung pemerintah tentang industri berbasis kreatif. Sastra sebagai cabang seni, tentu saja menggunakan proses kreatif sebagai amunisi fundamennya dalam proses produksi dan pemasaran.

Namun, ada satu hal yang musti bijak kita cermati di balik munculnya sederet nama komunitas sastra tersebut. Penempatan nama komunitas sastra pada nama seorang sastrawan memang mampu mendongkrak sebuah otoritas kesastrawanannya. Sebagaimana ketika sesosok figur dihadirkan dalam sebuah forum, maka kapasitas serta kapabilitasnya dalam menyampaikan pandangan dapat didongkrak dengan keterangan di belakang namanya.

Secara praktis, penempatan nama komunitas sastra pada nama seseorang yang memproduksi karya sastra dapat menjadi media pembenaran bahwa dirinya menguasai betul bidang yang digelutinya, sehingga sepatutnyalah karya sastranya mendulang apresiasi yang (harus) positif. Meskipun penempatan nama komunitas sastra ini beraura ‘rekayasa’ akan tetapi memegang posisi penting dalam proses pemetaan (pengenalan) pertama pembaca karyanya kepada diri sang sastrawan.

Akibatnya, tiada berlebihan kiranya berkembang asumsi bahwa pribadi yang mencoba menggeluti dunia tulis-menulis sastra dan merasa belum ‘pantas’ menyandang predikat “sastrawan” menggunakan nama komunitas sastra sebagai media penasbihan. Sedangkan, bagi pribadi yang telah lama malang-melintang di dunia sastra menjadikan nama komunitas sastra sebagai piranti penguat guna mengejar predikat “sastrawan besar”. Dalam pemahaman saya, sastrawan besar adalah sastrawan yang telah menghasilkan karya sastra berkualitas, popular, dan tidak mudah dilupakan publik pembaca sastra. Di satu sisi, ada pegiat sastra yang ‘jarang’ menelurkan karya namun lebih rajin berpolitik sastra? Entitas yang terakhir ini juga menggunakan nama komunitas sastra sebagai kendaraan agar manuver politik sastranya mendapatkan perhatian publik. Dus, simpulan besarnya adalah nama komunitas sastra berfungsi sebagai legitimator status “sastrawan”.

******

Di mata penulis, tren di atas mencuat karena mayoritas komunitas sastra yang eksis dibangun dengan pola relasi yang feodalistik-otoriter. Salah satu anggota dalam komunitas sastra cenderung menjelma menjadi pribadi super, baik dalam proses kreatif hingga pernik-pernik kecil yang sebenarnya bisa berkembang menjadi petanda masing-masing pribadi anggota dalam komunitas tersebut.

Pola komunikasi dan relasi yang berstrata tersebut umumnya dilatarbelakangi oleh spirit awal eksistensi komunitas tersebut yang memang berorientasi pada aspek pembinaan dan pelatihan, bukan wahana pergesekan kreatif secara murni. Pribadi yang berposisi sebagai as (center of act) roda kreatif komunitas sastra berperan sebagai guru (mentor) dan pengarang (kreator). Sehingga, kultur yang berkembang dalam komunitas seperti ini adalah kultur feodalistik, dimana ketidakmerdekaan untuk menyanggah, mengkritik, menyampaikan pandangan, bahkan menganalisis secara proporsional adalah pemandangan yang wajar.

Padahal, idealnya sebuah komunitas sastra sebagaimana dalam film “Dead Poets Society”, tetap menempatkan kesetaraan posisi dalam berkreasi dan berkarya. Meski Jhon Keating (Robin Williams) adalah sosok guru dan Neil Perry (Robert Sean Leonard), Todd Anderson (Ethan Hawke), Knox Overstreet (Josh Charles), Charlie Dalton (Gale Hansen), Richard Cameron (Dylan Kussman), Steven Meeks (Allelon Ruggiero) dan Gerard Pitts (James Waterston) adalah murid-muridnya, akan tetapi dalam komunitas tersebut tidak semua yang dikatakan oleh Jhon Keating adalah kitab suci dimana harus diyakini dan tidak terbantahkan sama sekali. Bahkan, Jhon Keating pun bisa menerima pandangan maupun gagasan Neil Perry maupun Steven Meeks.

******

Sebagaimana sebuah tren, ada kalanya berkembang bak cendawan di musim hujan, namun ada kala juga baginya untuk layu, mati, kemudian dilupakan. Mungkinkah nama sebuah komunitas sastra yang telah eksis kemudian terhempas dan terputus?

Ketika salah satu pribadi yang berperan sebagai as di dalam komunitas sastra tersebut mengalami ‘kekeringan inspirasi’ yang bisa jadi disebabkan oleh faktor kurangnya pencarian dan pengendapan. Mengingat inspirasi sebagaimana aliran air, terkadang mengalun bak air bah namun kadang juga mampu mampet seperti tersumbat. Eksistensi komunitas sastra tersebut akan sampai pada episode kerakap tumbuh di batu, hidup segan mati tak mau.

Kurang menggigitnya kegiatan-kegiatan proses kreatif, bahkan sepinya karya-karya baru yang berkualitas akan menjadi problema klasik komunitas sastra dengan pola relasi berstrata. Saat individu yang menjadi as ini mengalami kepatahan kreatifitas, maka nama komunitas sastra yang ada di belakang namanya pun mengalami hal yang serupa.

Ada tiga kemungkinan eksistensi ke depan komunitas sastra yang menikmati diagnosa seperti di atas. Pertama, mengulang-ulang kreatifitas dalam memori di masa sebelumnya, dimana dilakukan dengan penuh ratapan karena menempatkan pemahaman bahwa terbaik adalah yang disampaikan oleh Sang As. Kedua, munculnya as baru yang menjadi tautan penggerak kreatifitas berkarya. Kemungkinan ketiga ini adalah kemungkinan yang paling mungkin namun pahit untuk diterima, yaitu kematian eksistensi nama komunitas sastra tersebut.

Mungkinkah?

Hal ini sangat mungkin terjadi. Mengingat, energi untuk mengulang-ulang kreatifitas itu memiliki batas. Sedangkan, dorongan untuk menemukan kabaruan kreatifitas pada komunitas sastra lain juga terbuka lebar. Apalagi jika tidak ada pribadi yang dianggap mampu menjadi as baru dimana ‘pantas’ untuk tetap membawa panji-panji nama komunitas sastra.

Sebelum lebih dalam mencermat-mengurai tren berkembangnya komunitas sastra di tanah air, bagaimana dengan komunitas sastra anda? Sebagai legitimatorkah, berkultur feodalistikkah? Atau menempatkan anda sebagai Sang As?

*****************

*) Litbang LBTI, Anggota Komite Sastra Dewan Kesenian Jombang (Dekajo)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun