Mohon tunggu...
Anjrah Lelono Broto
Anjrah Lelono Broto Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis

Penulis freelance

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Refleksi Talk Show Belajar Sastra Chapter VII

11 Juni 2011   03:11 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:38 259
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Oleh Anjrah Lelono Broto *)

Alhamdulillah, di tudung lindungan Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, Minggu 29 Mei 2011 kemarin, agenda Talk Show Belajar Sastra telah memasuki chapter VII (bagian ke-7, pen). Geliat Sastra Biru merupakan tema yang diangkat sebagai tema agenda Talk Show Belajar Sastra minggu ini, dimana fenomena “Geliat Sastra Biru” menjadi topik dialog interaktif yang menarik antara Cucuk Espe, Anjrah Lelono Broto, dan Rahmat Sularso NH.

Agenda yang dipancarluaskan dari pelataran belakang Dinas Pendidikan Kabupaten Jombang tersebut merupakan kerja bareng TKHI, Lembaga Baca-Tulis Indonesia (LBTI), dan Radio Suara Pendidikan Kabupaten Jombang (SPFM). Indra Setiawan, Director Program dan Produksi Radio SPFM, mengapresiasi positif perkembangan program yang menempatkan urgensitas pembelajaran sastra di Jombang ini. Hal ini sejalan dengan masuknya Pendidikan Karakter dalam kurikulum pembelajaran di sekolah, di mana Pendidikan Karakter yang paling efektif dan efisien adalah dilokuskan dalam mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia serta Seni Budaya.

Chapter VII Talk Show Belajar Sastra ini mengangkat tema Geliat Sastra Biru. Lalu, sastra biru itu sastra yang bagaimana?

Identitas Sastra Biru

Secara mendasar, karya sastra yang dimasukkan dalam kategori sastra biru adalah karya sastra yang memposisikan seksualitas sebagai bagian dari institusinya. Seksualitas sebagai bagian dari kompleksitas peri kehidupan manusia tentu saja tidak bisa menolak dengan keras untuk diangkat sebagai tema atau bumbu sebuah karya sastra. Mengingat, karya sastra merupakan produk kreasi yang bersumber dari masyarakat, di mana masyarakat memiliki keragaman karakteristik, tradisi, budaya, pandangan hidup dan paradigma yang berbeda.

Pemposisian ini tentu saja menyebabkan pro dan kontra karena menjadikan sesuatu yang tabu sebagai sebuah bagian integral sebuah karya sastra, besar kemungkinan akan menjadikan karya sastra tersebut sebagai bacaan yang tabu, terutama bagi publik anak-anak dan remaja.

Ayu Utami, Djenar Mahesa Ayu, Cok Sawitri, serta sederet nama sastrawan lain yang ditahbiskan sebagai pelopor genre sastra biru di Indonesia, pun mendulang stigma yang sama dengan Freddy S, Abdullah Harahap, bahkan Enny Arrow. Sehingga, karya-karya Ayu Utami dkk, tabulah untuk dibaca generasi muda kita, termasuk generasi muda Kota Santri.

Padahal, penulis yakin publik penikmat sastra Jombang juga menemukan bagian-bagian yang dianggap tabu tersebut dalam Novel “Perempuan Berkalung Surban”nyaAbidah El Khalieqy yang bersetting pesantren. Begitu pula pada karya-karya Ahmad Tohari, dan Mochtar Lubis. Sedangkan karya-karya sastrawan tersebut juga tersebar di perpustakaan-perpustakaan sekolah, kemudian seksualitas dalam sastra yang bagaimana yang dianggap tabu dan tidak layak dikonsumsi generasi muda kita?

Sisi Positif

Dalam Talk Show Belajar Sastra chapter VII kemarin, pertanyaan ini menemukan jawabannya Dialog interaktif dengan beberapa pertanyaan serta pandangan dari pendengar tersebut bermuara pada simpulan sederhana bahwa ketika seksualitas menjadi tujuan untuk membangkitkan gairah pembaca karya sastra tersebut maka tentu saja karya sastra seperti ini tidak layak untuk dikonsumsi. Bahkan, adalah keniscayaan karya tulis ini tidak layak disebut sebagai karya sastra, mengingat karya sastra merupakan merupakan ungkapan pribadi manusia yang berupa pengalaman, pemikiran, perasaan, semangat, maupun keyakinan dalam suatu bentuk gambaran konkret yang membangkitkan pesona dengan menggunakan bahasa sebagai medianya.

Ketika kesadaran untuk memahami bahwa mengapresiasi karya sastra adalah belajar tentang hidup dan kehidupan itu sendiri, belajar sastra menapaki urgensinya. Dalam mengapresiasi karya sastra seorang pembaca dapat mengidentifikasikan dirinya untukmemetik katarsis dari tokoh-tokoh cerita, jalinan konflik, tema, setting, hingga memperoleh kesadaran humanis dalam upaya memandang segala fenomena kehidupan.

Sebuah karya sastra acap kali mampu mengajak pembacanya membangun refleksi. Melalui jalinan peristiwa, proyeksi tokoh secara fisik dan psikologis, teks literasi sastra menjadi tiruan yang mengayakan batin siswa sebagai manusia yang multidimensional. Kekuatan bahasa (diksi dan gramatikalnya) menuntun pembangunan landasan konstruksi personal yang beretika, berestetika, bermoral, dan beragama.

Dalam karya sastra yang bergenre sastra biru, refleksi ini juga sebuah keniscayaan. Melalui karya-karya sastra yang bermuatan idiom dan atau bertema seksualitas, guru dapat mengetahui literatur batiniah peserta didiknya. Ketika seorang guru menugaskan peserta didiknya menulis karya sastra dengan tema yang bebas, maka sangat mungkin sekali di antaranya ada yang menggunakan diksi (pilihan kata) ‘peluk’, ‘desah’, dll. Dari penggunaan diksi itu saja, andaikata bapak ibu guru peka maka nampaklah literatur batiniah peserta didiknya. Sekedar catatan, kepekaan ini bisa ada-tumbuh-menguat pada pribadi yang juga bersinggungan intens dengan karya sastra.

Pengetahuan literatur batiniah peserta didik tentang seksualitas ini dapat menjadi amunisi guru dalam membimbing perkembangan psikologi dan karakter personal peserta didik. Hingga ekspektasi untuk membentuk karakter peserta didik yang Indonesiais bukanlah tanggung jawab yang sulit namun justru menyenangkan karena belajar sastra itu menyenangkan.

Belajar Sastra

Program Talk Show Belajar Sastra merupakan program interaktif sehingga komunikasi dua arah antara penyaji dan pendengar akan terjalin dengan baik. Pendekatan yang digunakan dalam Talk Show Belajar Sastra adalah pola pembelajaran sikluistik, di mana di setiap siklus diharapkan masing-masing elemen yang terlibat dalam kegiatan ini mampu melakukan refleksi. Penempatan materi dialog interaktif dalam setiap chapter disusun dalam kurikulum sederhana yang melompat-lompat dari unsur instrinsik dan ekstrinsik karya sastra, serta dibumbui dengan tema-tema kekinian yang tengah menjadi polemik.

Secara terbuka, Agenda Talk Show Belajar Sastra ini telah memasuki siklus kedua. Di siklus pertama, penjaga gawang agenda ini; Cucuk Espe, Anjrah Lelono Broto, dan Rahmat Sularso NH mengolah komponen dasar karya sastra seperti belajar sastra yang menyenangkan, diksi dalam puisi, proses kreatif, alur, dll sebagai materi di setiap chapter. Memasuki siklus kedua ini semoga harapan untuk menggairahkan atmosfer pembelajaran sastra di Kabupaten Jombang benar-benar tercapai.

Semoga.

***********

*) Pegiat Sastra Jombang, Anggota Senior Teater Kopi Hitam Indonesia

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun