Mohon tunggu...
Anjrah Lelono Broto
Anjrah Lelono Broto Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis

Penulis freelance

Selanjutnya

Tutup

Politik

Lagu Kematian Intelektualitas dan Identitas Parpol

10 Juni 2011   05:30 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:40 168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik



Oleh : Anjrah Lelono Broto *)

tetaplah menjadi bintang di langit,

agar cinta kita akan abadi

biarlah sinarmu tetap menyinari alam ini

agar menjadi saksi cinta kita, berdua

berdua

(Dipopulerkan oleh group band "Padi")

Sederet peristiwa terkini yang menempatkan politikus partai-partai politik (baca parpol) sebagai bintang dagelannya sungguh sangat memprihatinkan. Alih-alih sebuah referensi yang sehat bagi pertumbuhan kedewasaan demokrasi kita, masyarakat justru dipaksa menikmati menu sajian perang urat syaraf melalui sindir-menyindir, hasut-menghasut, berebut klaim keberhasilan semu, bahkan aksi-aksi yang cenderung bersifat personal dan nyaris artifisial. Padahal, krisis multidimensi yang tengah melanda masyarakat kita menuntut sebuah perdebatan politik dengan tema-tema ke depan dan menembus waktu, karena di pundak papol-parpol itulah telah kita titipkan amanah contrengan kita untuk membawa Indonesia menjadi lebih baik.

Intelektualitas; Tanpa Pamit Tak Kembali

Tersajinya menu perdebatan politik yang nir gizi bagi kedewasaan demokrasi kita adalah elite politik saat ini tidak hidup dan berkembang dalam iklim visioner dan berkomitmen ke depan. Mayoritas dari mereka adalah petualang-petualang yang bertahan hidup dalam pasar politik. Sehingga, selayaknya sebuah pasar, maka prinsip ekonomilah yang memegang peranan penting dalam bersikap, berpikir, dan bertindak. Akibatnya, mayoritas elite politik ini tidak memandang visi dan komitmen ke depan tersebut bukan suatu yang urgen dan menjadi fokus. Kesuksesan hari ini itulah yang utama, tak peduli bagaimana caranya, menguntungkan siapa, merugikan siapa, asalkan dengan modal seminimal mungkin dan mendapatkan keuntungan semaksimal mungkin.

Kekuasaan begitu menggoda sehingga menjadi primadona orientasi tindak dan lakuan. Kelompok elite politik saat ini adalah sekelompok individu yang berpikir bagaimana mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan. Kekuasaan ditempatkan sebagai tujuan dan bukan alat untuk mencapai tujuan. Akibatnya, silang-sengakrut perdebatan politik pun terperosok dalam jurang saling menjatuhkan, unvisionery dan uncomittment. Bahkan, cenderung tidak membumi pada realitas, dan mengabaikan kebenaran demi sebuah pembenaran.

Apabila kita menengok sejarah awal terbentuknya negara Indonesia, akan kita temukan sebuah kontradiksi dengan situasi memprihatinkan saat ini. Pada masa itu, elite politik berpikir dan berperilaku sebagai figur pemimpin bangsa yang membawa pencerahan. Beliau-beliau membekali diri dengan pengetahuan dan kearifan untuk ber-fashtabikhul khoirot. Bekal pengetahuan ketatanegaraan, filsafat, budaya, bahasa, maupun ekonomi menjadikan beliau-beliau mampu berpikir dan bertindak sebagai panutan dan memiliki kelayakan untuk membawa amanat kebangsaan. Kala itu, politisi mampu menjadi filsuf atau dalam bahasa Plato sebagai the philosopher kings.

Hasilnya, tanpa fasilitas mewah dari pajak negara, beliau-beliay mampu merumuskan Pancasila dan menggodog UUD '45. Preambule UUD '45 mampu diterima dan diyakini kebermaknaannya sehingga dapat mengikat keanekaragaman karakter identitas sosial-kemasyarakatan menjadi satu tujuan yakni Ber-Indonesia. Preambule UUD 1945 adalah rekam-jejak visi beliau-beliau yang akan selalu relevan hingga masa-masa yang akan datang.

Kemampuan intelektual dan kearifan beliau-beliau mampu mengangkat derajad bangsa Indonesia di mata dunia. Gagasan pemikiran mereka bukan saja mampu mempengaruhi masyarakat Indonesia, tetapi juga diadopsi oleh bangsa-bangsa lain. Ketokohan Natsir dapat kita temukan jejak-jejaknya di wilayah Timur Tengah dan Jepang. Jejak Syahrir dapat kita jumpai hingga ke India. Bahkan, Soekarno menjadi singa podium di Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) dan menjadi salah satu inspirator lahirnya Gerakan Non Blok dan Asosiation of South-East Asian Nations (ASEAN). Dengan komitmen yang berbekal kemampuan intelektual maupun pengetahuan-pengetahuan menjadikan beliau-beliau didaulat untuk menjadi pemimpin bangsa-bangsa di kawasan Asia dan Afrika.

Tetapi, hari ini, partai politik sebagai lembaga wahana menyalurkan aspirasi rakyat berubah menjadi kendaraan guna mendapatkan kursi kekuasaan semata. Tanpa mempedulikan, apakah partai saya memiliki basis massa atau tidak yang penting adalah partai saya dapat mengikuti perhelatan demokrasi dan mendapatkan satu atau dua kursi. Maka, segala sumber daya yang ada pada elite partai difokuskan pada satu tujuan yaitu mendapatkan suara rakyat. Mulai dari gaya-gaya narsis seperti memuji-muji diri sendiri, menerjang batasan moral-etika dengan menghina atau menelanjangi lawan-lawan politik, bermain-main dengan fakta seperti membangun atau mengombang-ambingkan opini publik, hingga memberi ruang luas bagi kekuatan asing untuk berperan dalam pemenangannya.

Parpol Hilang Kesejatian

Dengan kuatnya oligarki di dalam partai, banyak tokoh muda dan kritis justru terjerembab dan ikut arus ketimbang memberikan pencerahan bagi partai (Lane, 2002). Parpol yang sejatinya diposisikan sebagai lembaga aspirator rakyat direduksi menjadi “alat perebut kekuasaan”. Di lain sisi, masih lemahnya SDM elite dan petinggi parpol serta mengakarnya budaya patron-client maupun elitisme menjadi latar belakang mendasar berkembangnya virus demagogi dalam lingkup internal partai.

Keterbatasan SDM yang ada dalam lingkungan elite dan petinggi parpol menjadikan mereka menutup peluang bagi masuk dan berkiprahnya "orang baru". Sehingga parpol terkesan menjadi eksklusif, milik pribadi atau milik kelompok tertentu. Perbedaan dalam lingkungan parpol menjadi komoditas yang dapat memicu konflik perpecahan bahkan pemunculan parpol-parpol baru. Sekedar catatan, tiga kali pemilihan umum di Orde Reformasi ini dipadati oleh parpol yang lahir dan berkembang dari perpecahan internal parpol; PBR pada dasarnya adalah pecahan dari PPP; kemudian PNBK, PDP, PNI-Marhaens, atau Partai Pelopor secara esensial adalah pecahan dari PDIP; lalu Hanura adalah pecahan dari Golkar, sedangkan PMB adalah pecahan dari PAN, dan PKNU adalah pecahan dari PKB.

Konvensi yang memberikan peluang bagi "orang baru" untuk menyumbangkan kemampuan dan sumber daya yang ada bagi parpol menjadi sebuah agenda politik yang dianak-tirikan, karena dianggap kurang efektif untuk membangun kedewasaan sebuah parpol atau sekedar mendapatkan kursi kekuasaan. Karena pertarungan politik yang tertutup lebih mampu menjaga “perselingkuhan” antar elite politik dan jajaran pengurus di bawahnya, terutama melalui adanya kedekatan personal dan jaminan finansial. Akibatnya, parpol berubah menjadi lembaga ekonomi yang menggunakan aspirasi rakyat sebagai komoditas, kampanye sebagai ajang promosi, elite dan petinggi parpol sebagai sales marketing, demi keuntungan (kekuasaaan) yang diharapkan.

Masyarakat (rakyat) sebagai lembaga yang paling dirugikan oleh pergeseran kesejatian parpol sebenarnya tidak memiliki banyak tuntutan kebutuhan. Sebagai manusia normal, masyarakat hanya mendambakan kenyamanan dalam hidup dan berkehidupan. Baik secara hukum, keamanan, ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan sederet komponen asasi lainnya. Ketika menjumpai parpol yang tidak mempedulikan apalagi memihak, mayoritas mereka hanya berdiam diri dan menunggu. Silent revolution mereka hanya diekspresikan dalam bentuk golput. Ketika angka golput terus merangkak naik maka jajaran elite dan petinggi parpol pun belingsatan karena target pasar mereka nampak ber"apatis-apatis ria". Mereka pun buru-buru melansir opini bahwa golput adalah permainan segelintir kelompok yang kecewa dengan jumlah perolehan suara di pemilihan legislatif kemarin.

Sebagian masyarakat yang tidak tergoda dalam silent revolution dan masih percaya bahwa kenyamanan hidup dan berkehidupan dapat diafiliasi oleh mekanisme politik juga cenderung tidak membuat daftar panjang tuntutan. Mereka hanya mengharapkan adanya perubahan dalam perilaku dan pemikiran elite dan petinggi parpol yang mereka percaya. Herannya, kepercayaan masyarakat tersebut masih berkutat di wilayah pengkultusan individu pemimpin parpol semata, sehingga parpol menyikapinya dengan pembangunan citra diri pemimpinnya dan mengabaikan visi-misi apalagi kerja nyata. Program dan aksi tindak lakuan yang mencerminkan politik rasional belum sepenuhnya menguasai paradigma politik di masyarakat. Iklim kehidupan politik seperti inilah yang memberi peluang kalangan elite dan petinggi parpol untuk memelihara kebobrokannya.

Negara Tanpa Parpol

Mungkinkah Indonesia eksis tanpa kehadiran parpol? Medio Januari 2007, Hariman Siregar menggelar aksi demo yang nir anarkisme membawa sebuah tuntutan agar rakyat mencabut mandat kepresidenan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Aksi demo tersebut praktis memicu beragam sikap pro maupun kontra di masyarakat. Dalam aksi demo tersebut, Hariman Siregar cs juga menuntut pembubaran parpol. Publik kita yang cenderung membuat stigma individu (kulit) dan mengabaikan konten pesan yang disampaikan segera menjustifikasi fenomena demo tersebut sebagai "curhat barisan orang-orang kecewa" yang kalah bersaing memperebutkan kursi kekuasaan. Hariman Siregar memang tidak terafiliasi dalam sebuah parpol, jadi sangat tidak mungkin baginya untuk ikut berperan dalam penentuan sebuah keputusan dalam birokrasi pemerintahan. Padahal, mutiara meskipun keluar dari mulut anjing, tetaplah mutiara, demikian sebuah peribahasa lama berujar.

Lalu, apa yang harus dilakukan oleh masyarakat (rakyat) ketika pemimpin yang dipilihnya tidak sesuai dengan harapannya?

Jikalau parpol benar-benar menggeser identitas sejatinya dari lembaga penyerap aspirasi masyarakat menjadi lembaga ekonomi, seyogyanya mereka juga memberikan garansi atas produk yang dijualnya kepada masyarakat. Ketika masyarakat kecewa dengan produk yang telanjur dibelinya, mereka bisa menukarnya atau mengembalikannya dengan sedikit potongan harga. Apabila parpol berkeberatan menerima pengembalian produk yang telanjur terbeli, maka masyarakat sebagai target pemasaran pun bisa mensomasinya (minimal dalam bentuk umpatan) atau mengalihkan pilihan kepada parpol yang lain.

Sayangnya, mekanisme pengalihan pilihan ini tidak bisa dilakukan secara spontan melainkan harus melewati keberkalaan (5 tahun) yang membosankan. Karena dalam masa tunggu tersebut ada banyak kemungkinan yang bisa terjadi. Bersyukurlah apabila ada perbaikan kualitas pelayanan dan berdampak positif yang bisa langsung dirasakan masyarakat, tetapi apabila tetap bahkan bertambah buruk maka kekecewaan akan menggunung dan diluapkan dalam berbagai tindak lakuan.

Sejarah telah mencatat, bahwa kekecewaan masyarakat (rakyat) kepada pemimpin yang tidak berpihak kepadanya dapat diluapkan dalam aksi anarkisme berlebihan seperti yang terjadi tahun 1998. Kekecewaan masyarakat yang berlipat kepada pemerintahan Soekarno dan Soeharto melahirkan aksi massa luar biasa anarkisnya. Tepat, 13 Mei 1998, Jakarta bagai neraka. Kemanusiaan ditiadakan. Indonesia menjadi tontonan komedi kemanusiaan segenap bangsa-banga di dunia. Mungkinkah akan terulang? Karena parpol tidak lagi mampu menjadi institusi penyalur aspirasi, sehingga masyarakat harus menyampaikan sendiri aspirasinya, dengan caranya dan dengan kemerdekaannya.

Negara tanpa parpol, bikin hidup lebih hidup.

************

*) Litbang Lembaga Baca-Tulis Indonesia (LBTI)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun