Mohon tunggu...
Anjrah Lelono Broto
Anjrah Lelono Broto Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis

Penulis freelance

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Jangan Wariskan Kekerasan Kepada Anak

13 Maret 2011   09:44 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:49 249
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jangan Wariskan Kekerasan Kepada Anak

Oleh Anjrah Lelono Broto *)



Publik kita sangat dekat dengan berbagai berita terkait kondisi miris yang dialami oleh anak-anak generasi penerus bangsa ini. Mulai dari pengabaian dan pembiaran (baik oleh negara maupun orangtua) atas kesejahteraan dan hak-hak yang seharusnya mereka terima, hingga berbagai bentuk kekerasan yang sering mereka alami (child abuse).

Masalah kekerasan terhadap anak ini tentu kian menambah deretan ironi di negeri ini. Jika dicermati, selama ini anak-anak Indonesia belum secara maksimal memperoleh haknya. Bahkan tak jarang, dalam upaya menuntut hak-haknya, anak-anak malah menjadi korban kekerasan.

Memang, sejak tahun 1990 Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hak-Hak Anak. Pun, ketika UU PKDRT (Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga) disahkan pada 2004 silam, boleh jadi masyarakat berharap agar kasuskasus kekerasan terhadap anak yang kerap terjadi di negeri ini tak terulang lagi. Celakanya, kasus KDRT yang sebagian besar korbannya adalah perempuan dan anak-anak hingga kini malah mengalami akselerasi (peningkatan) yang cukup mencengangkan.

Realitanya, kasus kekerasan terhadap anak, saat ini ternyata tidak hanya dari sisi psikis (psikologis, emosional), namun juga sudah bisa digolongkan pada bentuk penganiayaan (bentuk kekerasan fisik), seksual (pelecehan seksual, pencabulan, pemerkosaan), sosial, trafficking, hingga pembunuhan. Jumlah korbannya pun, terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.

Data KPAI menyebutkan, kasus kekerasan terhadap anak terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada 2008, terdapat 1.726 laporan yang masuk ke Komnas PA. Tahun 2009 meningkat menjadi 1.998 laporan. Untuk tahun 2010, hingga bulan Mei saja sudah terdapat sedikitnya 1.826 laporan kekerasan. Dari jumlah tersebut, sebanyak 68 persen adalah kekerasan fisik dan seksual pada anak.

Untuk korban pemerkosaan saja misalnya, sejak Januari hingga awal Juli 2010 terdapat sedikitnya 70 laporan. Data di atas baru yang berhasil diungkap oleh pihak kepolisian, Komnas PA, dan KPAI dan hanyalah puncak gunung es dari fenomena kekerasan terhadap anak di negeri ini. Bisa jadi, setiap hari ada anak korban kekerasan dalam keluarga, hanya belum terungkap/dilaporkan.

Hal ini disebabkan, dalam anggapan masyarakat kita, kekerasan dalam rumah tangga lebih merupakan aib keluarga hingga tak pantas dipublikasikan. Kasus anak korban kekerasan yang enggan melaporkan perlakuan kekerasan yang dialaminya adalah salah satu buktinya.

Parahnya, dari sekian banyak kasus kekerasan terhadap anak, senyatanya sebagian besar malah dilakukan oleh orang terdekat dan yang dikenal korban (anak). Sepanjang tahun 2009, tercatat sekitar 70 persen pelaku child abuse ini adalah orang dekat yang dikenal korban seperti ayah, ibu, atau paman. Sedang yang tidak dikenal anak hanya 30 persen.

Mungkin zaman memang sudah berubah. Betapa tidak, orangtua yang seharusnya melindungi anak dari segala bentuk kekerasan, justru malah banyak yang menjadi pelaku tindak kekerasan terhadap anaknya sendiri. Bahkan, yang paling mengejutkan, 80 persen pelaku kekerasan itu adalah sang ibu.

Tanpa mengurangi bobot kejahatan yang terjadi, kasus-kasus kekerasan terhadap anak memang sering muncul dalam situasi yang penuh multitekanan, yang tentu saja juga dirasakan anak.

Sulit untuk menampik fakta betapa kompetisi hidup yang begitu tinggi, beban ekonomi yang kian berat berikut multifakta kemiskinan yang dialami sebagian besar rakyat kecil di negeri ini, menyumbang stres akut pada diri orangtua yang kemudian melampiaskan emosinya kepada anak.

Celakanya, dalam tradisi masyarakat kita, anak selalu diposisikan sebagai makhluk yang lemah dan dianggap sebagai properti orangtua sehingga paling mudah dijadikan sasaran kemarahan. Situasi itu kian diperparah adanya multifaktor lain, seperti minimnya perhatian orangtua terhadap anak, terkikisnya kekerabatan, dll.

Untuk merunut akar masalah terkait maraknya kasus kekerasaan terhadap anak yang terjadi akhir-akhir ini, sepertinya kita perlu melakukan flashback, melihat masa 30-40 tahun silam. Senyatanya, sejak dulu banyak orangtua yang berlaku kasar, memberikan hukuman fisik kepada anak dengan dalih untuk memberikan pelajaran pada anak-anak mereka.

Memang, pendapat itu tak sepenuhnya salah. Tapi yang (lebih) benar adalah, bahwa ketika mereka (orangtua) "baik secara sadar atau tak sadar" berlaku kasar kepada anak, maka sesungguhnya mereka sedang melancarkan "agresi psikologis" berupa pelajaran kekerasan kepada anak-anaknya.

Terry E Lawson, seorang psikolog anak internasional menyatakan, bahwa semua jenis gangguan mental ada hubungannya dengan perlakuan buruk yang diterima manusia ketika dia masih kecil. Satu saja dari sekian banyak bentuk child abuse itu dialami anak secara terus-menerus, akan menyebabkan anak menderita gangguan psikologis. Pasalnya, semua tindakan kekerasan yang diterima anak akan direkam oleh alam bawah sadar (id) mereka dan akan dibawa sampai dewasa nanti, bahkan sepanjang hidupnya.

Agresi psikologis itu, bisa membuat si anak menjadi sulit beradaptasi atau bahkan berperilaku buruk karena berbagai faktor. Bisa jadi anak kurang percaya diri, minder, atau sebaliknya, menjadi pemberontak. Galibnya, anak yang sering mendapatkan perlakuan kejam dari orangtua yang agresif, juga akan menjadi pribadi sangat agresif.

Yang paling dikhawatirkan adalah, jika kelak kemudian hari mereka melakukan hal yang sama terhadap anak-anak mereka. Fenomena semacam ini, tak pelak menjadi suatu mata rantai yang tak akan pernah bisa diputus. Setiap generasi akan melakukan hal yang sama untuk merespons kondisi situasional yang menekannya, hingga pola perilaku yang diwariskan ini menjadi semacam budaya kekerasan.

Mari kita cermati diri kita sendiri, pernahkah kita mendapatkan ‘pelajaran’ dari keluarga kita dengan metodologi beraroma kekerasan? Kalau iya, tolong jangan kita wariskan kepada anak dan cucu kita. Tolong.

***********

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun