Mohon tunggu...
Anjrah Lelono Broto
Anjrah Lelono Broto Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis

Penulis freelance

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Hari Televisi Jatuh Pada 24 Agustus; Sebuah Refleksi

29 Agustus 2010   02:11 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:37 360
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh : Anjrah Lelono Broto*)

Sungguh capek rasanya melihat tayangan-tayangan acara di layar kaca. Kecapekan ini dipicu dengan berbaris-barisnya suspense dalam setiap tayangan acara, sehingga, sebagai penonton, kita merasa digiring dalam suasana yang sarat aura ketegangan. Suspense-suspense ini dihadirkan dalam pilihan genre tayangan acara, tema tayangan acara, hingga karakteristik tokoh-tokoh dalam tayangan acara. Semua berlomba mendramatisasi tayangan acara sehingga jantung sedikit-banyak akan meningkatkan ritmis detaknya dan kelelahan melanda.

Kalau beberapa waktu sebelumnya, suspense atau ketegangan menjadi trade merk tayangan acara dengan genre kriminalitas. Namun lambat-laun, suspense atau ketegangan juga menjangkiti tayangan-tayangan acara berita-informasi, entertainment, infotainment, reality show, hingga talk show. Hasilnya, tema-tema kekerasan cukup mendominasi di layar televisi. Jika kita cermati, nyaris tak ada stasiun televisi yang tidak menyajikan tayangan yang mempertontonkan aksi-aksi kekerasan, baik secara fisik maupun spiritual. Mungkin di mata sebagian publik dan produser televisi adegan-adegan kekerasan yang menghadirkan ketegangan ini telah menjadi tontonan hiburan yang menyenangkan. Karena realitasnya, mereka menggoda dan ditayangkan setiap kala penyiaran, pagi, siang maupun malam hari.

Padahal, kontrol yang dilakukan pihak stasiun televisi hanya dengan mencantumkan simbol-simbol seperti “SU” (Semua Umur), “DW” (Dewasa), dan “BO” (Bimbingan Orang Tua) di sudut kiri layar kaca. Akibatnya, ketika sebagian penonton yang masuk kategori di bawah umur menyaksikan tayangan-tayangan berbau kekerasan dan atau ketegangan ini tanpa bimbingan orang tua, maka akan menimbulkan side effect yang mengarah ke ranah negatif.

Khusus pada tayangan acara dengan tema-tema kriminalitas di layar kaca diklasifikasikan dalam tiga kategori, yaitu; Pertama, peristiwa kriminal, yaitu menyajikan adegan terjadinya suatu perbuatan kejahatan yang dilakukan oleh penjahat dengan mengunakan cara-cara kekerasan. Kedua, peristiwa penangkapan pelaku kejahatan, yaitu upaya produser televisi mempublikasikan keberhasilan aparat polisi dalam menangkap dan membongkar peristiwa kejahatan berikut modus operandinya dengan cara-cara kekerasan pula, seperti penyergapan, menendang, menempeleng, memborgol, bakan menembaki pelaku. Ketiga, kupasan sebuah peristiwa kriminal, yaitu upaya produser televisi untuk menghadirkan suatu sajian komprehensif terhadap suatu peristiwa kejahatan, berikut reka ulang dengan visualisasi yang vulgar, tragis dan mengerikan.

Ketika aksi-aksi kekerasan dan ketegangan ini sudah tidak menjadi monopoli tayangan acara dengan tema kriminalitas maka kontrol stasiun televisi dengan seperangkat kode simbol maupun pesan di bagian bawah layar seperti “Adegan ini jangan ditiru.” mengalami un-used dan cenderung kurang diperhatikan. Tayangan-tayangan acara dengan genre berita-infomasi, infotainment, entertainment, reality show, ataupun talk show ketika mengadopsi aksi kekerasan dan ketegangan akan menyulitkan pihak Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), sebagai institusi yang memiliki fungsi dan peran kontrol, mengalami kesulitan dalam proses penanganan. Lebih-lebih, orang tua dan guru yang berperan sebagai pendamping dan pendidik masyarakat.

Publik masyarakat kita yang hobby dengan kegiatan perburuan kambing hitam cenderung untuk saling menyalahkan. Tetapi, dengan minimalitas kinerja secara nyata, fenomena campur-campur semiotika dan stilistika satu genre tayangan acara dengan genre yang lain ini akan terus lestari, berkembang biak dan sukar untuk dikarantina.

Marginalisasi Hak Asasi

Napas kita makin terasa berat ketika menyaksikan tayangan-tayangan acara kriminalitas yang mempertontonkan pelaku, korban, motif, dan rekonstruksi dengan jelas di layar kaca. Tanpa ada upaya pengkaburan gambar tampilan (blur). Fenomena yang cenderung sadistis ini dalam perspektif hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) jelas merupakan tindak pelecehan. Sesuatu yang sebenarnya menjadi data rahasia penyelidikan, ataupun rahasia pribadi (aib) dibuka vulgar ke ranah publik (pemirsa televisi). Televisi telah mengabaikan makna praduga tak bersalah sebagai asas dalam hukum pidana dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pembeberan fakta-fakta dengan menampilkan pelaku secara jelas di layar kaca, berarti televisi seakan telah menjatuhkan vonis bersalah terhadap seseorang, kenyataannya vonis bersalah hanya dapat dijatuhkan oleh hakim di forum pengadilan. Begitu pula ketika pembeberan fakta-fakta yang dialami korban, maka korban akan menerima dua tindak pelanggaran hukum, pertama dari si pelaku dan yang kedua dari masyarakat (publik pemirsa televisi). Layaknya korban tindak kekerasan seksualitas, mereka menerima pelecehan dari si pelaku dan menerima sanksi sosial dari masyarakat.

Norma hukum dan norma sosial telah memberikan batasan bagaimana selayaknya deskripsi atau penggambaran terhadap pelaku kejahatan, dimana semestinya dilakukan dengan pengkaburan gambar sebagaimana ini lazim dilakukan di negara-negara yang menjunjung tinggi asas-asas hukum publik (public law) dan HAM seperti di Perancis, Inggris, Jerman dan Amerika Serikat. Ketika vonis peradilan belum dijatuhkan maka televisi dilarang keras untuk ambil bagian dalam proses penjustifikasian. Padahal, mekanisme hukum peradilan menggunakan asas praduga tak bersalah dan dalam penyelidikannya mempergunakan asas berimbang; fakta dan informasi didapat dari berbagai pihak sehingga keputusan vonis pengadilan (diupayakan) seadil-adilnya.

Tayangan televisi yang tidak proporsional seperti dewasa ini dapat dikategorikan dalam tindak pelecehan terhadap HAM dan dekriminalisasi. Dekriminalisasi menurut Garner (1999), yakni penghapusan suatu perbuatan yang semula dinyatakan oleh aturan hukum sebagai tindak pidana (pelecehan HAM), tetapi karena atas pertimbangan kepentingan tertentu (bisnis), menjadi bukan tindak pidana, melainkan hiburan.

Berkaca pada fenomena ke-mesum-an Ariel-Luna-Cut Tary yang didokumentasikan dalam bentuk video. Belum ada kepastian hukum tentang benar-tidaknya pelaku ke-mesum-an dalam video tersebut adalah Ariel-Luna-Cut Tari, namun televisi telah bergotong-royong menayangkan pemberitaan yang seakan mengiyakan bahwa merekalah pelaku video mesum tersebut. Ternyata, tayangan-tayangan televisi telah beramai-ramai menjatuhkan vonis bersalah dengan mewarnai acara-acara seperti berita-informasi, infotainment, entertainment, reality show, ataupun talk show mereka dengan wajah tersangka, masa lalu tersangka, keluarga tersangka, ataupun pandangan publik terhadap tersangka. Belum lagi wajah korban, masa lalu korban, keluarga korban, ataupun pandangan publik terhadap korban. Di tambah lagi, pembeberan wajah saksi, masa lalu saksi, keluarga saksi, ataupun pandangan publik terhadap saksi.

Haruskah kita tambah lagi?

Yang memprihatinkan adalah riuh-rendah dan keramaian tayangan acara sarat suspense, ketegangan, dan kekerasan di televisi ini sepi dari tanggapan negatif. Masyarakat, pemerintah, bahkan oleh institisi religi yang memiliki fungsi dan peran moral, seperti Majelis Ulama’ Indonesia (MUI), Nahdlatul Ulama’ (NU), Muhammadiyah, Perwalian Umat Budha Indonesia (Walubi), dan Dewan Gereja Indonesia (DGI), seakan mendiamkannya dan mengesahkan tindak pelecehan HAM dan dekriminalisasi yang dilakukan televisi ini.

Kekerasan Media

Gerbner dalam bukunya Growing Up With Television (1994) dan Porter dalam bukunya On Media Violence (1999) menyatakan, bahwa tayangan televisi terbukti memiliki kekuatan pengaruh untuk mentransformasikan dekadensi moral kemanusiaan dalam masyarakat, dari waktu ke waktu. Ketika melihat tayangan televisi, masyarakat menjadi lebih percaya dan menganggap apa yang ada dalam tayangan televisi tersebut sebagai realitas bermakna dan ditiru. Akibatnya, aksi-aksi yang sebelumnya unlegitimated sekarang membudaya dan menyentuh relung-relung kemanusiaan kita. Kemanusiaan kita terkikis seiring dengan merebaknya kasus-kasus mutilasi, tindak kekerasan seksual, pornografi dan pornoaksi, hingga korupsi, kolusi, manipulasi. Harga diri manusia kehilangan kebernilaian. Aksi tindak pelanggaran norma hukum dan norma sosial telah menjadi budaya sehari-hari, bahasa untuk menyampaikan pesan, atau jalan keluar dari sebuah konflik.

Keterkikisan kemanusiaan kita akan menghilangkan kepekaaan pemahaman tentang HAM dan kepatuhan hukum dan norma sosial yang berlaku di masyarakat, sehingga akan menurunkan derajad peradaban bangsa Indonesia. Kita mengumpat ketika masyarakat Malaysia tidak menghargai dengan sebutan ‘Indon’nya kepada masyaralat kita yang menjadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) tapi pernahkah kita memberi penghargaan kepada diri kita sendiri?

Televisi Tertib dan Bangkit

Masyarakat seyogyanya tidak duduk diam menyaksikan tontonan melelahkan yang membahayakan masa depan kemanusiaan kita, lebih-lebih para praktisi hukum, HAM, maupun institusi-institusi religi Indonesia. Kita semua seyogyanya mengembangkan kearifan dan memelihara kelugasan dalam mencermati dan menyuarakan negative side effects tayangan-tayangan televisi yang mengabaikan humanisme kita sebagai manusia Indonesia. Sinergitas antara semua komponen bangsa akan membangun kultur penyiaran agar lebih memiliki kepekaan dalam memahami perubahan perilaku budaya masyarakat.

Momentum Hari Terlevisi 24 Agustus 2009 ini patut dijadikan refleksi agar  acara televisi diatur dan tertibkan kembali. Mengingat di negara idola demokrasi seperti Amerika Serikat dan Inggris pun tayangan acara televisinya juga diatur dan dibatasi. Di Amerika Serikat dan Inggris, produser dan stasiun televisi masih setia dengan genre masing-masing tayangan acara sehingga mudah mengontrolnya melalui mekanisme jam tayang. Sedangkan di tayangan-tayangan televisi kita, tidak jelas mana berita-informasi dan mana infotainment, mana film laga mana talk show-nya.

Bagaimana kita bisa merdeka dan berpuasa kalau televisi masih senantiasa menjajah dan menggoda hawa nafsu kita?

************

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun