Mohon tunggu...
Anjrah Lelono Broto
Anjrah Lelono Broto Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis

Penulis freelance

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Ramadhan dalam Sinetron

29 Agustus 2010   04:16 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:37 326
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Oleh : Anjrah Lelono Broto*)

Ramadhan telah gemulai berjalan, sebentar lagi Idul Fitri menjadi penanda akhir pertarungan diri dengan hawa nafsunya. Namun, sebagaimana Ramadhan-Ramadhan sebelumnya, Ramadhan di Indonesia sama artinya dengan 'pemaksaan' sinetron berwajah islamis (ramadhan). Dengan gencarnya 'pemaksaan' sinetron-sinetron berwajah Ramadhan, imbasnya adalah timbul kerancuan antara sinetron  berwajah ramadhan dengan ramadhan berwajah sinetron.

Lalu, kira-kira anda menyukai yang mana?

Tentu saja, kita semua memahami bahwa maraknya perwajahan sinetron religi di bulan Ramadhan sangat didasari oleh motif ekonomi dari rumah produksi, media televisi, maupun produk-produk tertentu seperti minuman sirup, roti kalengan, hingga busana. Namun, kuatnya media massa dalam mempengaruhi pola pikir dan perilaku pemirsanya, mendatangkan kecemasan pergeseran dimensi religi ke arah populisme yang dipicu oleh menghangatnya tayangan-tayangan sinetron religi. Dimensi religi sejatinya merupakan dimensi hakiki senantiasa semua makhluk-Nya, dimana pun dan kapan pun. Andaikata dimensi religi ini terseret ke arah populisme maka besar kemungkinan berketuhanan, beribadah, ketaqwaan, dan lain sebagainya akan bersifat temporer. Bahkan memiliki keterikatan yang kuat dengan aspek kekinian, dan ke-di sini-an. Bulan ini kita berpuasa, berzakat, menjalankan perintah-Nya, dan menjauhi larangan-Nya, namun bulan depan kita menggelar jamaah-korupsiyah (lagi).

Dalam Konferensi Islam bertema “Representasi Islam: Perseptif Comparative”, yang digelar di Universitas Manchester Inggris (2008), wakil Indonesia Muzayin Nazaruddin dari Universitas Islam Indonesia (UIN) Yogyakarta menyampaikan makalah yang berjudul "Representasi Islam dalam Sinetron Religi". Menurut Muzayin, sinetron religius adalah "self representation of muslim in Indonesia". Dosen Program Studi Ilmu Komunikasi tersebut mengatakan bahwakonteks kuat yang melatarbelakangi maraknya sinetron religius adalah pemodal di balik proses produksinya (rumah produksi, stasiun televisi, dan pemasang iklan produk) yang menempatkan Islam sebagai komoditas perdagangan.

Dari telaah sekilas makalah Muzayin ini kita bisa memahami bahwa eksistensi para pemodal dibalik produksi sinetron bergenre religi menempatkan perspektif ekonomi sebagai pijakan utama lakuan produksi. Materi skenario, aktor-aktris, kontekstualisasi tema, maupun dampak prediktif produksi sinteron tersebut menjadi pertimbangan ke sekian. Hal utama yang menjadi pertimbangan hanyalah laku atau tidak lakunya produksi sinetron tersebut.

Fenomena ini dengan sendirinya akan memarjinalkan eksistensi kaum muslim sendiri, dengan segala keberagaman kultural-religi. Ulama’-ulama’ dan atau lembaga pendidikan Islam, dalam konteks ini pondok pesantren maupun madrasah, akan mengalami keterpinggiran eksistensi. Di masa sebelum genre sinetron religi menjadi primadona, ulama’ dan atau lembaga pendidikan Islam menjadi oase kerinduan hati dalam ranah religius. Akan tetapi sejak kesuksesan film dan sinetron “Rahasia Illahi”, “Takdir Illahi”, “Astaghfirullah”, "Ayat-ayat Cinta", “Kun Fayakun”, “Hidayah”, dan lain sebagainya, menjadikan eksistensi ulama’ dan lembaga pendidikan Islam di mata masyarakat (muslim) cenderung luntur. Bahkan, mayoritas generasi muda kita lebih suka mengamini perspektif film dan sinetron religi dalam memandang ulama’ dan lembaga pendidikan Islam.

Model Pembenaran

Pada hakekatnya, karya seni merupakan suatu tiruan kehidupan (konsepsi mimesis Aristoteles) yang di dalamnya terdapat suatu proyeksi kehidupan; baik kehidupan dalam alam pikiran penikmatnya maupun kehidupan dalam benak kreator itu sendiri. Karakter karya seni yang fiksional memposisikannya secara langsung tidak mendeskripsikan realitas melainkan melalui simbol-simbol dan ikon. Sehingga, tidak menggugah respons secara langsung dari penikmatnya. Hal ini memberikan keleluasaan apresiasi dari banyak sudut pandang. Karya seni membuka atmosfir batin kita, ranah emosi, bagi pengalaman-pengalaman literer yang relatif baru karena karya seni juga terbangun dalam konstruksi yang estetis (Mustansyir, 2001). Karya seni mengajak penikmatnya untuk peka dan cerdas melihat sebuah realitas, baik di luar maupun di dalam karya sastra itu sendiri.

Melalui simbol-ikonik Islam, sinetron religi menterjemahkan pesan estetis dan pesan moral keagamaan guna menggugah respon pemirsa layar kaca. Simbol-ikonik Islam bertebaran dalam beragam rupa busana, aksesoris, kosakata, peristiwa dan konflik, bahkan nukilan-nukilan ayat-ayat suci Al-Qur’an dan Hadist Rasulullah SAW.

Simbol-ikonik Islam dalam sinetron bergenre religi, pada umumnya, menggunakan beberapa model pembenaran guna menjustifikasi materi tayangan agar benar-benar sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam.

Model pembenaran yang pertama adalah judul sinetron itu sendiri. Mayoritas, judul-judul sinetron religi meng-copypaste idiomatikal yang telah ada dalam ajaran Islam, seperti “Rahasia Illahi”, “Inayah”, “Hidayah”, “Ketika Cinta Bertasbih”, “Takdir Illahi”, “Astaghfirullah”, “Mualaf”, “Kun Fayakun”, “Ayat-Ayat Cinta”, dan lain sebagainya. Namun, tidak semua sinetron religi tersebut menemukan kesejalanan jalinan cerita dengan judul yang digunakan. Ada beberapa sinetron religi yang menggunakan judul tertentu dan diawali dengan jalinan konflik yang sesuai dengan judul. Akan tetapi, ketika mendulang rating pemirsa yang tinggi, jalinan cerita sinetron ini dapat berkembang tanpa ujung pangkal bahkan terkadangterkesan kurang masuk akal. Pada poin inilah motif ekonomi benar-benar menampakkan perwajahannya dan mengabaikan pesan moral keagamaan yang sejatinya menjadi landasan mendasar produksi sinetron religi.

Model pembenaran yang kedua adalah klaim bahwa sumber cerita beberapa sinetron religi berangkat dari adaptasi fakta dalam media-media religi yang telah populer, seperti Hidayah, Ghoib, dan lain-lain. Bahkan, ada juga klaim yang mengatakan bahwa sinetron religi produksinya diangkat dari Al-Hadist riwayat Bukhari dan Muslim. Memang ada baiknya mengangkat tema dari kisah-kisah nyata, karena pengalaman orang lain (meski diolah dengan sentuhan fiksional) dapat menjadi literatur yang bermuara pada pencerahan batin, dalam perspektif religi. Penggunaan Al-Hadist sebagai sumber cerita juga potensial bermuara pada pengkajian kembali hadist-hadist Rasulullah SAW, terutama pada kaum muslim yang (masih) awam atau (mungkin) telah melupakannya. Namun, bukankah ada karya seni (sinetron) sangat dekat dengan karakter fiksional. Mungkinkah re-intrepretasi sutradara, penulis skenario, maupun aktor-aktris terhadap fakta dalam media religi dan Al-Hadist telah sejalan dengan kesejatian pesan yang ada?

Pada momentum inilah para produser sinetron bergenre religi menggunakan model pembenaran yang ketiga, yaitu menghadirkan ulama’ dan ustadz maupun ustadzah yang telah ngetop abiestzz. Kehadiran Arifin Ilham, Jefry al Buchori, Yusuf Mansyur, Luthfiah Sungkar, dan lain-lain, sangat nampak sebagai alat pembenaran intrepretasi ekspoitasi ayat-ayat Al-Qur’an maupun Al-Hadist dalam sinetron-sinetron religi. Para alim ulama’, ustadz dan ustadzah ini hanya berdiri sebagai pembawa pesan religius Islami yang sesuai dengan materi sinetron religi tersebut. Karena hanya berdiri sebagai pembawa pesan yang muncul di awal atau akhir episode maka seringkali pesan yang mereka sampaikan cenderung terabaikan karena pemirsa sinetron religi (mayoritas) lebih mengapresiasi aspek-aspek estetis, seperti akting, wajah, dan busana para pelakonnya.

Jika kita lebih mencermati beredar luasnya sinetron-sinetron bergenre religi di layar kaca rumah kita maka ada beberapa klasifikasi mendasar tema-tema sinetron tersebut. Deretan tema ini, antara lain; (1) kisah tentang seorang pendosa yang menerima azab dari Allah SWT, (2) kisah tentang ketaqwaan seseorang yang happy ending, dan (3) kisah tentang taubatan nasuha seorang pendosa. Benarkah tiga pilihan tema ini telah merepresentasikan kehidupan religi muslimin di Indonesia secara menyeluruh?

Black Or White

Hal mendasar menyoal representasi Islam dalam sinetron bergenre religi yaitu Islam menilai segala sesuatu secara ekstrem, black or white (hitam atau putih). Sinetron-sinetron religi yang menjejali layar kaca di tanah air secara ekstrem hanya menampilkan perwajahan dikotomis ala Jacko, black or white. Warna hitam merepresentasikan segala hal yang berhubungan dengan keburukan, seperti pendosa, riba’, pendusta, durhaka, sombong, dan sebagainya. Sebaliknya, warna putih merepresentasikan segala sesuatu yang berkaitan dengan kebaikan, seperti sabar, tawakkal, jujur, dan lain-lain.

Dalam bahasa sinetron, perwajahan dikotomi black or white ini diterjemahkan melalui penggambaran tokoh protagonis yang ekstrem baik dan tokoh antagonis yang ekstrem buruk. Keekstremen black or white ini mencakup segala aspek menyeluruh. Hal ini jelas bukan merupakan representasi realitas, dalam kehidupan nyata tidak ada sosok yang benar-benar baik, secara menyeluruh, begitu juga sebaliknya.

Sinetron religi menghadirkan gambaran sosok muslim yang ideal adalah sosok yang memiliki pribadi penuh kepasrahan dan berserah diri kepada Allah SWT. Yang memprihatinkan adalah kepasrahan ini ditampilkan secara ekstrem, nir perjuangan atau usaha. Sinetron religi menghadirkan gambaran bahwa cukup dengan berpasrah diri maka kesuksesan hidup akan menghampiri dengan sendirinya. Sebagaimana kepasrahan diam ala Farrel dalam “Cinta Fitri” yang menerima segala lakuan buruk saudara-saudaranya, toh kesuksesan yang didambakan dalam kehidupan (dunia-akhirat) datang dengan sendirinya.

Bangun Lagi, Tidur Lagi

Secara instan, pertaubatan bisa dilakukan, seburuk apapun yang telah kita lakukan dengan satu kali kata maaf maka hilang sudah semua catatan dosa. Besar kemungkinan penampakan dalam sinetron bergenre religi ini akan menciptakan paradigma “bangun lagi tidur lagi” ala Mbah Surip. Ketika hidayah menghampiri, kesadaran batin kita ‘bangkit’ untuk bertaubat, memohon maaf dan ampunan-Nya. Namun, nir nasuha, saat diri tidak mampu membendung gejolak hawa nafsu kesadaran batin kita ‘tidur lagi’ terperosok dalam kubangan dosa yang sama.

Kita semua memang tidak bisa menafikan peran serta penyampaian pesan-pesan moral religius menggunakan media sinetron, terlebih di era kejayaan media seperti sekarang. Akan tetapi, kita semua tetap perlu mempertimbangkan kembali ekses negatif yang berkembang pasca melonjaknya rating tayangan sinetron religi yang populis, insidental, dan temporal. Mengingat fakta bahwa segala sesuatu yang berpijak pada madzab populisme cenderung tidak mengakar dan berkembang dari trend ke trend.

Satu hal yang menjadi pertanyaan kita semua adalah; penyampaian pesan moral religius menggunakan media sinetron? Atau media sinetron yang mengeksploitasi aspek religius untuk mendulang rating dan keuntungan? Apabila pertanyaan terakhir yang diiyakan maka sinetron religi dalam layar kaca tanah air merupakan representasi muslimin Indonesia, yang memiliki kesadaran batin ‘bangun lagi, tidur lagi, bangun lagi, tidur lagi, kalau lupa…… tidur lagi’.

************

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun