Oleh : Anjrah Lelono Broto, Pemerhati Perempuan
’Penjajahan di atas dunia harus dihapuskan’ demikian sepenggal tujuan didirikannya Negara Indonesia. Walaupun penjajahan secara fisik (kolonialisme Belanda) di Tanah Air telah dapat dihapuskan, bukan berarti penjajahan dalam bentuk lain -yang lebih modern- juga telah sirna. Penjajahan memiliki seribu perwajahan dengan seribu teknik intervensi, sasaran, serta dampak negatif yang bisa ditimbulkannya. Justru penjajahan informasi dan teknologi (dalam kamuflase modernitas serta globalisasi) yang termanifestasikan dalam bentuk penjajahan ekonomi, ilmu pengetahuan dan kebudayaan memiliki dampak jauh lebih buruk dari pada bentuk penjajahan yang menyerang batas wilayah seperti kolonialisme dan imperialisme. Implikasi negatif dari bentuk penjajahan informasi dan teknologi (dalam kamuflase modernitas serta globalisasi) ini berupa dekadensi moralitas publik serta krisis eksisitensi yang merupakan landasan kemanusiaan manusia Indonesia.
"Perempuan dijajah pria sejak dulu, dijadikan perhiasan sangkar madu.." Secuil syair lagu yang populer di tahun 70-an ini secara gamblang menyuratkan bahwa kaum laki-laki menjajah kaum perempuan. Terkait dengan penjajahan yang bermutasi dengan seribu perwajahan, sudah berhasilkan perempuan melepaskan diri dari penjajahan laki-laki? Atau mungkinkah, perempuan Indonesia sekarang sedang terjebak dalam penjajahan laki-laki dalam bentuk perwajahan yang lain?
Perempuan takluk dalam lingkaran budaya patriarkhi yang membatasi perempuan sedemikian rupa sehingga kehilangan makna dan hak-hak humanitasnya. Perempuan tidak mampu menikmati fasilitas hidup yang setara dengan laki-laki. Dalam lingkungan rumah tangga, stereotype perempuan ideal (di mata laki-laki) adalah sosok ibu rumah tangga yang baik; dengan area tanggung jawab ’rumah dan sekitarnya’. Lebih spesifik lagi, perempuan menemukan arti, fungsi, dan perannya sebagai manusia pada wilayah dapur, sumur, dan kasur. Persentuhan perempuan dengan area di luar rumah cenderung dipandang sebagai intervensi area laki-laki.
Budaya kita cenderung setia dengan perspektif bahwa sepandai-pandainya seorang perempuan berkiprah di area luar rumah (baik sosial, maupun profesional), dirinya akan menemukan kebermaknaannya sebagai perempuan apabila mampu menangani area tanggung jawabnya yaitu dapur, sumur, serta kasur. Seorang leader perempuan (baik dalam organisasi sosial maupun profesiona) memang diposisikan sama atau setara dengan leader laki-laki, baik oleh bawahan maupun relasi. Akan tetapi, ketika dirinya kembali ke area rumah tangga, maka kembalilah perempuan tersebut dalam hegemoni pelukan laki-laki dalam koridor perspektif laki-laki adalah kepala keluarga, dan perempuan yang baik adalah perempuan yang taat dengan kodrat ini.
Guna melepaskan diri dari kepicikan proses penjajahan ini, tak ada salahnya bila kaum laki-laki lebih memposisikan diri sebagai partner dari kaum perempuan, memiliki kepedulian dalam membangkitkan semangat konstruktif. Tetapi, ternyata kaum laki-laki cenderung asyik menjadi pihak yang memaksa dan menguasai kaum perempuan untuk senantiasa tunduk pada kemauan mereka. Parahnya, mayoritas kaum perempuan -entah dengan alasan budaya, etika, atau kodrat keperempuanannya- cenderung takluk tanpa inner revolution untuk melepaskan diri.
Belum cukup melukai dan menggores paha Siti Aisyah, 22, suami gelap mata ini menumpahkan cairan kimia HCL ke lantai dan dioleskan ke tubuh istrinya itu. Sayang sekali, kekerasan dalam rumah tangga masih dianggap aib bahkan bagi korbannya. Siti merasa apa yang dilakukan suaminya pada 23 Januari itu tidak perlu diketahui orang lain. Bahkan kepada kakaknya, Siti hanya mengatakan luka itu karena kecelakaan. Baru setelah kakaknya datang ke rumah Siti di Jl Ki Suryojati, Desa Medaeng, Sidoarjo, sedikit demi sedikit Siti mau bercerita. Begitu mendengar utuh kisah pilu adiknya, sang kakak segera mengajak Siti melapor ke Polsek Taman Polres Sidoarjo (Surya, 20 Maret 2009). Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) telah diatur dengan perundang-undangan, berikut sanksi pidana menyertainya, namun fenomena ’Siti Aisyah’ menunjukkan cerminan bahwa perempuan cenderung takluk pada hegemoni laki-laki (dalam lingkungan keluarga) dan setia dengan paradigma ’aib’ jikalau sistem hukum maupun normatif masyarakat menyentuh area rumah tangga.
Labilitas emosional cenderung dipandang sebagai kelemahan karakter perempuan. Namun, bukan berarti fenomena ini menjadikan perempuan sebagi objek mudah untuk dikuasai dan dijajah. Labilitas emosional, pada dasarnya, juga tidak mengurangi potensi yang ada pada perempuan. Potensi perempuan juga memiliki ke’pantas’an untuk dioptimalisasikan dalam membawa kemajuan negeri ini, seperti halnya laki-laki. Apabila kita memandang bahwa relasional dalam rumah tangga adalah partnership yang sejajar akan kita temukan perempuan-perempuan perkasa yang mampu memikul tanggung jawab profesional dan internal rumah tangga.
Jikalau stereotype perempuan yang dibawa mereka adalah gambaran perempuan post-modernisme yang berbeda dengan latar belakang kultur Indonesia maka dikhawatirkan akan melahirkan generasi miskin norma dan cenderung abnormal. Ketika ada upaya sistematis untuk mencerabut normatif budaya pada perempuan, amoralisme menghantui dan mampu merubuhkan sebuah bangsa. Kupasan ini pasti akan menjumpai hadist Rasulullah SAW; ’Perempuan Adalah Tiang Negara’.
Kesalahan lain yang terlanjur diadopsi oleh kaum perempuan masa kini adalah standarisasi kelas berdasarkan prinsip-prinsip materialisme. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), memprakondisikan psikologi perempuan masa kini seakan berada dalam jejaring strata-strata dalam dunia elitis dan marjinal. Mereka menganggap bahwa keberhasilan menuntaskan pendidikan tinggi dan kemapanan ekonomi (borjuis), membuatnya tak pantas untuk bergaul dengan sesamanya yang tak berpendidikan maupun ekonomi lemah (proletar). Sementara itu, perempuan-perempuan dengan tingkat pendidikan yang minim serta golongan ekonomi lemah, dipaksa untuk ’jaga jarak’ agar tak bergaul dengan sesamanya yang menyukai perilaku narsistis ini. Ketika materialisme dijadikan tolak ukur dari ’ketidakberdayaan’ maka keperkasaan perempuan menjadi rancu, sulit untuk membedakan sosok perempuan perkasa antara perempuan yang menjadi sopir taxi dengan perempuan yang menjadi foto model. Padahal jika kita kaji secara mendalam, perempuan yang menjadi supir taxi lebih berani karena mampu mengintervensi wilayah yang tidak feminin. Sedangkan perempuan yang menjadi foto model adalah gambaran kesetiaan dan ketaklukan perempuan dengan wilayah-wilayah yang diciptakan oleh laki-laki (melalui patriarkhi).
Tetapi mengapa remaja-remaja putri kita sekarang cenderung mengelu-elukan foto model daripada supir taxi?
Masa depan bangsa dan generasi mendatang juga sangat bergantung pada kemampuan kaum perempuan dalam berkarya. Kontribusi dan berpartisipasi nyata perempuan demi kemajuan bangsa Indonesia ini, menjadi satu dari sekian modal berharga yang patut diperhitungkan. Namun, makin maraknya praktek prostitusi di sejumlah kota yang merambah usia remaja menciptakan beraneka polemik. Prostitusi yang sering dianggap sebagai penyakit peradaban dari masa ke masa di seluruh penjuru dunia, hari ini telah menjadi komoditas industri yang menasional. Dari level masyarakat ekonomi lemah hingga kalangan elite. Padahal, di tengah kompleksitas problematika bangsa ini, negeri ini membutuhkan sentuhan perempuan yang progresif, intelektual, dan revolusioner.
Mengamati kecenderungan karakter perempuan pada masa kontemporer ini yang asyik menikmati perilaku hedonis binti sekuleristis, melemahkan pemikiran perempuan yang kritis dan tajam. Bahkan, mayoritas wanita pada masa kini pun menerima hidup nyaman dalam keterjajahan. Dalam konteks inilah, sosok perempuan dianggap sebagai kaum lemah, baik secara fisik maupun intelektul. Spirit untuk tidak menerima hidup nyaman dalam keterjapuan Indonesia modern masa kini, menjadi prasyarat penting guna mewujudkan perempuan-perempuan perkasa yang tak lagi diposisikan sebagai second line, baik oleh kaum lelaki sendiri maupun cara pandang publik.
Telah lama pandangan publik membagi sosok perempuan ’cantik’ dalam dikotomis fisik dan intelektual. Perempuan yang ’cantik’ secara fisik, tidak harus berintelektual, namun telah mendapatkan posisi ’nyaman’ di mata publik. Sedangkan, perempuan ’cantik’ secara intelektual, tidak harus memiliki body yang aduhai dan senyum menggoda untuk menempati posisi ’indah’. Sebagai perempuan, peng-objek-an dengan idiom ’cantik’ yang dikotomis ini tentu sangat menyiksa. Dengan berpegang teguh pada nilai-nilai semangat ’kekartinian’, seyogyanya perempuan melepaskan diri dari siksaan hegemoni laki-laki ini. Dengan menemukan kembali spirit ’Kartini’, Indonesia menunggu kiprah dan darma bakti perempuan demi kemajuan bangsa. Media massa cetak dan elektronik yang kerap kali menjadikan sosok wanita sebagai barang komoditas untuk mendongkrak reputasi media massa masing-masing; perlu juga menyadari akan kekeliruannya itu. Sebab, media elektronik seperti teve yang kerap menampilkan ’sex appeals’ tubuh wanita, meski tak sampai telanjang bulat; berpengaruh besar pada penciptaan daya imajinasi publik akan erotisme. Yang ditakutkan, bagi pemirsa yang tak memiliki kemampuan pengendalian diri, sisi erotika-imajinatif itu akan keelokan tubuh wanita tersebut lantas dibuktikan dengan tindak kekerasan kepada perempuan. Jelas, ini menimbulkan maraknya aksi kriminalitas, pemerkosaan dan bentuk kejahatan lainnya.
Secara substantif, perempuan Indonesia memiliki hak yang sepadan dengan kaum laki-laki dalam mengaktualisasikan potensi kemanusiannya. Tak ada yang salah lagi, bila perempuan bisa berkiprah nyata menduduki jabatan strategis di negeri berpenghuni 210 juta jiwa ini. Karena hak-hak mereka dalam mengakses bidang politis, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan adalah setara, sama dan simetris atas kedudukan kaum pria.
Reaktualisasi spirit Ibu Kita Kartini Sang Putri Sejati semoga mengingatkan kembali perempuan-perempuan Indonesia untuk menjadi ’cantik’ tanpa harus melalui proses pemberdayaan, make up dan operasi plastik berlebihan, memamerkan organ-organ vitalnya, atau memperbincangkan keperempuanannya sendiri. Karena ’cantik’ adalah kemampuan untuk memerdekakan diri dan melepaskan bangsa ini dari kompleksitas krisis berkepanjangan.
***********
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H