Jombang, 17 Mei 2009
Oleh : Anjrah Lelono Broto, S.Pd
Pragmatisme-Paradigmatik
Pragmatisme-paradigmatik telah menjumpai tempat nyaman dalam masyarakat Indonesia. Hari-hari ini, pemikiran maupun aksian tindak kita semakin menjauhi nilai-nilai moralitas bahkan mengubur dalam-dalam nilai pedagogis. Tri Pusat Pendidikan, yang dikemukakan oleh Ki Hajar Dewantara, menyebutkan bahwa wilayah pendidikan guna membangun konstruksi fisik, mental, dan spiritual yang handal dan tangguh dimulai dari; (i) lingkungan keluarga; (ii) lingkungan sekolah; dan (iii) lingkungan sosial. Ketika pendidikan di lingkungan keluarga mulai sedikit diabaikan dan dipercayakan penuh kepada lingkungan sekolah, serta lingkungan sosial yang makin kehilangan kesadaran bahwa lakuan aksi mereka pada dasarnya memberikan pengaruh yang besar pada pendidikan seorang individu. Maka lingkungan sekolah (guru) menjadi garda terakhir yang terengah-engah memanggul kepercayaan tersebut.
Eksistensi guru, dengan segala kompleksitas kapasitas pribadi maupun lembaga pendidikan tempatnya mengabdi, kian jauh termarjinalkan dengan penentuan nilai yang pragmatis habis. Eksistensi guru ditentukan dengan keberhasilannya mendampingi siswa yang lulus Ujian Nasional (UNAS), selembar surat keterangan lolos sertifikasi, serta besaran dana insentif yang tak pernah pasti pencairannya. Padahal, mengingat tanggung jawab paedagogis yang ada di pundak guru, maka standar eksistensi yang pragmatis ini mensejajarkan guru dengan produk atau komoditas tertentu yang bisa di-make up, di-up grade, di-install, bahkan didaur ulang. Serangan dehumanisasi eksistensi dan peran guru menguburkan pesonanya yang memiliki peran besar dalam mewujudkan tujuan Indonesia bersama yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa.
Pragmatisme-paradigmatik makin menyesakkan guru ketika berhadapan dengan dua permasalahan krusial, yaitu perannya dalam wilayah pedagogis (afektif) dengan sains (kognitif dan motorik) yang berbenturan dengan social reality society. Hubungan nilai-nilai pendidikan dengan sains terkait dengan value kehidupan manusia. Guru dituntut untuk mampu menjembatani dan mengeksplorasi materinya dengan aspek-aspek kehidupan sains serta kondisi social reality society. Guru sebagai pendidik berhadapan dengan tekanan kurikulum yang mengajak untuk mengubur bersama-sama kebebasan individu peserta didiknya dengan mengaburkan posisi materi ajar sebagai dogma, menggantikannya dengan tuntutan untuk mampu mengimplementasikan materi ajar itu sesuai kebutuhan dalam social reality society.
Pada masa lalu, kalangan terdidik (intelektual) membawa amanah menjadi agent of change namun hari ini, kalangan terdidik tak lebih sebagai objek dari perubahan dalam social reality society itu sendiri. Guru dijajah oleh kurikulum yang menuntut untuk mampu membimbing peserta didik agar menjadi individu yang usefull dalam masyarakat saat ini. Pengajaran-pengajaran keilmuan berbasis pragmatis menjadi primadona dan mengalahkan pendidikan moral serta spiritual. Tuntutan ini menunjukkan bahwa kurikulum juga melakukan dehumanisasi pada peserta didik, secara pragmatis, peserta didik dipandang sebagai produk yang cepat saji dan dapat dinikmati oleh publik.
Padahal, guru memiliki tanggung jawab untuk membentuk masyarakat yang beradab, berakhlak mulia, serta memiliki karakter pribadi yang utuh (insan kamil). Pada episode inilah, guru mengalami kegamangan dalam terus menjalankan peran dan kewajibannya dalam lingkungan sekolah; menjadi pendidik, menjadi pengajar, ataukah menjadi pelatih?
Pengajaran Moral
Kegamangan akut yang mengintai eksistensi guru sambung-menyambung menjadi satu dengan problematika bahwa pengajaran masih bersifat sentralistik, posisi hukum yang menaunginya, dan berhadapan dengan tantangan moral. Hadirnya UU guru dan dosen seolah telah memberikan payung hukum yang pasti, tapi kenyataannya tidak demikian. Sebab dalam aplikasi kesehariannya, pengajaran moral adalah salah satu poin yang tidak diotonomkan dan masih bersifat sentralistik. Hal itu kemudian berdampak pada langsung dengan kondisi di lapangan.
Faktanya, pengajaran di lingkungan sekolah masih bersifat tekstual (textbookish). Belum mampu pada tataran implementatif dalam kehidupan sosial-kemasyarakatan peserta didik. Pengajaran masih identik dengan hafalan, penugasan, hukuman, dan lainnya yang bersifat klasik. Meskipun telah berkembang beragam metode pembelajaran variatif dan cenderung memberikan kebebasan kepada peserta didik, seperti Kooperatif, Peta Konsep (Mind Mapping), Think Pair and Share, Kepala Bernomor, Konstruktivistik, dll. Ironisnya, beragam metode pengajaran tersebut masih harus berhadapan dengan nilai UNAS sebagai standar excellent keberhasilan kegiatan pembelajaran peserta didik. Padahal guru (lingkungan sekolah) telah tawadhu' habis-habisan merubah paradigma mengajar; dari pola almaddatu ahammu min al-thariq menjadi al-thariqatu ahammu min al-maddah.