Mohon tunggu...
Anjrah Lelono Broto
Anjrah Lelono Broto Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis

Penulis freelance

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pluralisme Dan Multikultural

10 Januari 2010   03:32 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:32 6881
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pluralisme Dan Multikultural
Oleh : Anjrah Lelono Broto*)

Dalam pidato pemakaman tokoh besar Nahdlatul Ulama’ (NU) KH
Abdurrahman Wahid yang akrab dengan panggilan Gus Dur di Ponpes
Tebuireng Jombang Kamis kemarin (31/12/2009), Presiden SBY menyematkan
penghargaan kepada almarhum sebagai Bapak Pluralisme dan Multikultural
Indonesia. Berbeda dengan pernyataan-pernyataan presiden dalam
beberapa bulan kemarin yang senantiasa menuai tanggapan miring,
pernyataan dalam pidato pemakaman ini justru mendapat sambutan positif
dari publik tanah air. Seluruh elemen bangsa Indonesia secara
berjamaah seakan mengamini pernyataan ini dan mengakui sosok cucu
Pendiri NU Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari ini memang layak
menyandang penghargaan tersebut.
Di mata penulis, pluralisme adalah faham yang memberikan ruang nyaman
bagi paradigma perbedaan sebagai salah satu entitas mendasar
kemanusiaan seorang manusia. Sedangkan, Parsudi Suparlan (2001)
mengatakan bahwa multikulturalisme adalah sebuah ideologi yang
mengagungkan perbedaaan kultur, atau sebuah keyakinan yang mengakui
pluralisme kultur sebagai corak kehidupan masyarakat.
Multikulturalisme akan menjadi jembatan yang mengakomodasi perbedaan
etnik dan budaya dalam masyarakat yang plural. Perbedaan itu dapat
terakomodasi dalam berbagai dimensi kehidupan, seperti dunia kerja,
pasar, hukum, ekonomi, sosial, dan politik. Dengan demikian, pemahaman
bahwa penempatan perbedaan antar individu, kelompok, suku, maupun
bangsa sebagai perspektif tunggal merupakan sebuah kesalahan besar.
Realitanya, Indonesia dengan segala perbedaan yang melekat pada
geografinya, demografinya, religiusitasannya, serta kulturalnya tetap
bertahan dalam persatuan dan kesatuan hingga mencapai usia 64 tahun
sejak diproklamirkan oleh Soekarno-Hatta.

In-Eksistensi Pluralisme Dan Multikultural
Tumbangnya rezim Orde Baru dengan doktrin penyeragamannya melahirkan
euforia perbedaan yang mengarah pada pembentukan paradigma dan
aksi-aksi yang irrasional. Bukan rahasia lagi, kalau di masa Orde Baru
ada masyarakat etnik dan kultur tertentu yang cenderung diberi ruang
nyaman di segala sektor kehidupan sementara di satu pihak ada etnik
dan kultur tertentu yang mengalami marjinalisasi (peminggiran).
Tentang bentuk-bentuk konkret ’penyamanan’ dan ’peminggiran’ tersebut
tidaklah perlu kita gali dalam tulisan ini, toh tetap saja materi
tersebut memang berpotensi untuk memunculkan konflik.
Namun, jika kita tengok di awal bergulirnya reformasi ketika kursi
kepresidenan Indonesia ditempati oleh Bapak Pluralisme dan
Multikultural Indonesia, Gus Dur, euforia kebebasan dari rezim Orde
Baru disinyalir menjadi pemicu terjadinya konflik-konflik antar etnik,
antar agama, maupun antar golongan. Tentu saja, terjadinya konflik ini
menimbulkan keterkejutan publik tanah air yang telah 32 tahun dibuai
dengan kebijakan in-eksistensi pluralisme dan multikultural karakter
kebhinekaan Indonesia.
32 tahun bukanlah rentang waktu yang pendek untuk mengeliminasi
paradigma in-eksistensi pluralisme dan multikultural dalam benak
bangsa. Sekian banyak lakuan kebijakan pemerintah, maupun
fenomena-fenomena sosial-budaya yang berkembang secara umum masih
menampakkan keengganan untuk menempatkan pluralisme dan multikultural
sebagai dasar pemikiran. Paradigma in-eksistensi pluralisme dan
multikultural telah terlanjur mapan dan mengakar, sehingga sebagaimana
umumnya konsep perubahan, pluralisme dan multikultural seakan
terbentur dengan tembok-tembok kemapanan yang sukar untuk
didekonstruksi.
Mengapa paradigma in-eksistensi pluralisme dan multikultural begitu
mengakar dalam benak publik tanah air?
Hal ini tidak bisa dilepaskan dari pola pendidikan yang berkembang di
lembaga-lembaga sekolah dan lingkungan masyarakat Indonesia. Dalam
pengelolaan pendidikan secara holistik, pemerintah seakan telah
menciptakan kelas-kelas dan diikuti dengan penerapan sistem yang tidak
menghargai perbedaan (pluralisme). Salah satunya adalah kebijakan
pelaksanaan UNAS (Ujian Nasional) yang terkesan ’memaksa’.
Secara esensial, penyeragaman mekanisme ujian nasional secara
terang-terangan telah menunjukkan ketidakpengakuan terhadap pluralisme
kemampuan, minat, dan bakat siswa di satu sisi. Sedangkan di sisi
lain, pelaksaan UNAS juga jelas menunjukkan ketidakpengakuan tehadap
karakter, potensi, serta infrastruktur masing-masing-masing lembaga
pendidikan, mengingat luasnya wilayah geografis serta kemajemukan
karakter demografis masyarakat Indonesia.

Pendidikan Multikultural
Pendidikan multikultural merupakan gerakan reformasi pendidikan di
Amerika yang muncul dan berkembang berlatarbelakang perjuangan hak-hak
kaum sipil Afro-Amerika di tahun 60-an. Perubahan demografi masyarakat
Amerika akibat peningkatan populasi imigran memberikan signifikansi
ekses pada lembaga-lembaga pendidikan (Kuper, 2000).
Sedangkan, Banks (1993) menyatakan bahwa evolusi pendidikan
multikultural terdiri dari empat tahapan, yaitu: (1) upaya untuk
menyatukan kajian-kajian etnik pada kurikulum; (2) hal ini diikuti
oleh pendidikan multietnik sebagai usaha untuk menciptakan persamaan
hak pendidikan; (3) kelompok marginal, seperti perempuan, penyandang
cacat, dan lain sebagainya mulai menuntut perubahan-perubahan mendasar
dalam lembaga pendidikan; dan (4) perkembangan peradaban budaya
menuntut perhatian pada relasi antar-ras, antar-etnik, antar-kultur,
dan antar-kelas. Gerakan reformasi pada dunia pendidikan mengupayakan
transformasi pendidikan pada semua tingkatan sehingga semua orang akan
menikmati akses yang sama untuk menikmati pendidikan.
Secara historis, pendidikan multikultural sebagai sebuah konsep pada
awalnya sangat bias karena memiliki keterkaitan dengan perjuangan HAM
dari kelompok-kelompok marjinal di Amerika. Asal-usul pendidikan
multikultural acapkali bermuara pada gerakan sosial Afro-Amerika dan
kelompok kulit berwarna lain yang mengalami diskriminasi di
lembaga-lembaga publik, salah satunya adalah lembaga pendidikan.
Konsep pendidikan multikultural menjadi komitmen global sejalan dengan
rekomendasi UNESCO, Oktober 1994 di Jenewa. Rekomendasi UNESCO
tersebut memuat empat seruan, meliputi; (1) pendidikan seyogyanya
mengembangkan kesadaran untuk memahami dan menerima sistem nilai dalam
kebhinnekaan pribadi, jenis kelamin, ras, etnik, dan kultur; (2)
pendidikan seyogyanya mendorong konvergensi gagasan yang memperkokoh
perdamaian, persaudaraan dan solidaritas dalam masyarakat; (3)
pendidikan seyogyanya membangun kesadaran untuk menyelesaikan konflik
secara damai; dan (4) pendidikan seyogyanya meningkatkan pengembangan
kualitas toleransi dan kemauan untuk berbagi secara mendalam.
Dalam perkembangannya, konsep pendidikan multikultural pun menyebar ke
wilayah di luar Amerika, khususnya di negara yang memiliki kebhinekaan
etnik, ras, agama dan kultural seperti Indonesia. Dewasa ini,
pendidikan multikultural juga mencakup gagasan pluralisme-kultural;
yang memberi ruang kajian bagi pemahaman dan penghargaan budaya dalam
keberagaman kelompok masyarakat.
Paradigma bahwa pendidikan multikultural memberikan kebermanfaatan
untuk membangun kohesifitas, soliditas dan intimitas antar etnik, ras,
agama, dan budaya telah memberikan dorongan bagi lembaga pendidikan
nasional untuk ’sudi’ menanamkan kesadaran kepada siswa untuk
menghargai orang, budaya, dan agama, lain. Harapannya, pendidikan yang
berwawasan multikultural akan membantu siswa memahami dan menghargai
orang lain yang berbeda suku, budaya dan kepribadian.
Agar harapan ini menjadi sebuah kenyataan maka seyogyanya pendidikan
multikultural disosialisasikan dan didoktrinasikan melalui lembaga
pendidikan, serta ditetapkan sebagai bagian dari kurikulum pendidikan
di berbagai jenjang. Toh, paradigma multikultural juga menjadi salah
satu concern dari Pasal 4 UU N0. 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional. Pasal ini menjelaskan bahwa pendidikan
diselenggarakan secara demokratis, tidak diskriminatif dengan
menjunjung tinggi HAM, nilai keagamaan, nilai kultural dan kemajemukan
bangsa. Merujuk pada materi UU Sisdiknas ini maka tujuan pendidikan
multikultural adalah menanamkan sikap simpati, respek, apresiasi, dan
empati terhadap penganut agama dan kultural yang berbeda.
Sejatinya, pendidikan multikultural adalah sebuah konsep yang dibuat
dengan tujuan untuk menciptakan persamaan peluang pendidikan bagi
semua siswa yang berbhineka ras, etnik, kelas sosial dan kelompok
budaya. Salah satu tujuan dari konsep pendidikan multikultural adalah
untuk membangun konstruksi pengetahuan, sikap dan kemampuan siswa agar
dapat berperan aktif dalam masyarakat demokrasi-pluralistik.
Konstruksi pengetahuan, sikap, dan kemampuan ini dibutuhkan siswa
ketika mereka berinteraksi dan berkomunikasi dalam masyarakat yang
pluralis.
Dalam implementasinya, paradigma pendidikan multikultural dituntut
untuk berpegang pada prinsip-prinsip berikut ini: (1) pendidikan
multikultural harus menawarkan beragam kurikulum yang
merepresentasikan perspektif pluralistik; (2) pendidikan multikultural
harus berpijak pada pandangan bahwa tidak ada penafsiran tunggal
terhadap kebenaran sejarah; (3) kurikulum dicapai sesuai dengan
penekanan analisis komparatif dengan kebhinekaan perspektif kultural;
dan (4) pendidikan multikultural harus mendukung prinsip-prinsip pokok
dalam memberantas pandangan klise tentang ras, kultur, dan agama.
Elemen-elemen kunci dalam aplikasi pendidikan multikultural adalah
tidak adanya kebijakan yang menghambat toleransi. Lembaga pendidikan
juga dituntut untuk mampu menumbuhkan kepekaan terhadap kebhinekaan,
di antaranya pakaian, musik, hobby, bakat, minat, hingga kemampuan
ekonomi.

Dimensi Implementasi
Pendidikan multikultural dapat diimplementasikan dalam beragam
dimensi, tidak hanya melalui pendidikan formal namun juga dapat
dimplementasikan dalam kehidupan masyarakat maupun keluarga. Dalam
pendidikan formal pendidikan multikultural ini dapat diintegrasikan
dalam sistem pendidikan melalui kurikulum mulai pendidikan usia dini
(PAUD), pendidikan dasar, pendidikan menengah, bahkan perguruan
tinggi.  Sebagai wacana baru, Pendidikan Multikultural ini tidak harus
dirancang sebagai muatan substansi yang berdiri sendiri dan
teralienasi, namun dapat diintegrasikan dalam kurikulum yang telah
berlangsung. Tentu saja melalui materi ajar dan atau metode
pembelajaran yang memungkinkan.
Di Perguruan Tinggi misalnya, secara substansif, pendidikan
multikultural dapat dinitegrasikan dalam kurikulum yang berlandaskan
konsep multikulturalisme, misalnya melalui mata kuliah
Kewarganegaraan, ISBD, Agama dan Bahasa. Pada pendidikan anak usia
dini, pendidikan multikultural dapat diintegrasikan dalam Out Bond
Program, Jigsaw, dll. Sedangkan pada pendidikan dasar dan menengah,
pendidikan multikultural dapat diintegrasikan dalam materi
pembelajaran bidang studi PKn, Agama, Sosiologi dan Antropologi, dan
atau melalui metode pembelajaran cooperative learning, contextual
learning, dsb.
Dalam ranah pendidikan non-formal, wacana pendidikan multikultural
dapat diintegrasikan dalam format-format pelatihan dengan model
pembelajaran yang responsive multikultural yang mengedepankan
penghargaan terhadap pluralisme.
Wacana pendidikan multikultural juga dapat diimplementasikan dalam
lingkungan keluarga. Kita semua menyadari bahwa keluarga sebagai
institusi sosial terkecil merupakan media pembelajaran yang paling
efektif dalam proses internalisasi, transformasi, dan sosialisasi
sebuah tata nilai. Orang tua berperan besar dalam menanamkan
nilai-nilai yang lebih responsive multikultural dengan mengedepankan
penghargaan terhadap pluralisme di sekitar lingkungannya (agama, ras,
golongan) terhadap anggota keluarga yang lain.
Implementasi konsep pendidikan multikultural tidak akan diikuti dengan
perubahan mendasar dalam konstruksi infrastruktur pendidikan di
Indonesia. Merujuk pada konsep tri pusat pendidikan Ki Hadjar
Dewantoro, yang mana memposisikan keluarga, lembaga pendidikan, dan
lingkungan sebagai media pendidikan maka implementasi pendidikan
multikultural dalam tiga ranah tersebut tidak akan pengorbanan yang
berlebih. Hanya kesudian yang berpijak pada ketulusanlah yang akan
mengiringi capaian-capaian dalam implementasinya.
Apabila pemerintah serta publik Indonesia sudi memahami konsep
pendidikan multikultural secara holistik maka besar kemungkinan
penyematan penghargaan Bapak Pluralisme dan Multikultural kepada Gus
Dur oleh Presiden SBY di penghujung tahun 2009 kemarin tidak berhenti
menjadi simbol nir follow up. Akan tetapi, penyematan penghargaan
tersebut bakal diikuti dengan tumbuhnya kesadaran dalam diri akan
perbedaan yang senantiasa ada di antara umat manusia.
Semoga.

************


*) Litbang Lembaga Baca-Tulis Indonesia

Dimuat di Harian Lampung Post, edisi 07 Januari 2010

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun