Mohon tunggu...
Anjrah Lelono Broto
Anjrah Lelono Broto Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis

Penulis freelance

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Rendra dalam Kereta Kencana

11 November 2009   01:03 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:23 743
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik



Oleh : Anjrah Lelono Broto*)

Akulah ronin yang mengembara

Air sawah minumanku

Dingin malam selimutku

Aku setia mengunjungimu

Rendra

Bengkel Teater W.S. Rendra di Citayam Depok kembali berduka, kemarin para warganya repot mengatur penyelenggaraan jenazah sosok penyanyi yang I love you full, Mbah Surip, hari ini para warganya benar-benar berduka karena kepulangan ke haribaan-Nya, Si Burung Merak Rendra. Tepat pukul 22.05 tanggal 06 Agustus kemarin ronin (samurai yang menganggur) ini mengakhiri pengembaraannya karena penyakit jantung yang telah lama menggerogoti dirinya.

Lahir dengan nama Willibrodus Surendra Broto, 74 tahun silam, Rendra adalah salah satu sosok seniman besar Indonesia yang menggeluti dunia teater, puisi, juga film. Rangkaian kerja seninya telah memadati khazanah teater, kepenyairan, dan film di tanah air selama beberapa dekade. Sederet repertoar teater seperti “Bip-Bop”, “Panembahan Reso”, “Menunggu Godot”, “Macbeth”, “Perjuangan Suku Naga”, “Perampok”, “Khasidah Barzanzi”, “Mastodon dan Burung Kondor”, “Oeidipus Berpulang”, “Antigone”, dan lain sebagainya merupakan rangkaian kerja seni yang melambungkan namanya di dunia seni teater Indonesia. Bahkan di masa pemerintahan Orde Baru beberapa repertoar teater garapannya membuat ronin ini masuk dalam daftar hitam pemerintah.

Pada tahun 50-an, Rendra sangat dikenal masyarakat Solo karena puisi-puisinya di majalah Kisah, dan beberapa majalah lain di kawasan Joglosemar (Yogyakartam Solo, dan Semarang). Puisi-puisi ini kemudian dibukukan dalam antologi puisi “Balada Orang-Orang Tercinta”. Namun ketika lakon naskah teaternya “Orang-Orang di Tikungan Jalan” meraih hadiah pertama dalam lomba yang digelar Dinas Pendidikan Dan Kebudayaan Yogyakarta, masyarakat beralih mengenalnya sebagai seorang pekerja seni teater. Walaupun beredar juga beberapa cerpennya di majalah Minggu Pagi, seperti “Hutan Itu”, “Dua Jantan”, “Ia Sudah Bertualang”, dan lain-lain. Di sisi lain ia juga seorang aktor film, “Yang Muda Yang Bercinta” adalah sebuah film yang sangat mengundang apresiasi dan mengilhami generasi muda kala Indonesia kala itu.

Sebenarnya, Rendra ini seorang pekerja seni teater, penyair, cerpenis, atau aktor film?

Dalam sejarah penampilan pertamanya di panggung teater bersama Umar Kayam, mementaskan repertoar “Hanya Satu Kali” karya Jhon Galsworthy, Rendra mengatakan, “Wah saya malu. Ada hal-hal yang tidak mengenakkan saya, pertama, make-up itu dan menjadi orang lain itu. Kedua, layar yang harus dibuka dan ditutup itu.” (Rendra Berkisah Tentang Teaternya, 1983). Dari tulisannya ini kita semua dapat memahami bahwa pada dasarnya Rendra juga awam dengan dunia teater berikut madzab keseniannya seperti yang dicanangkan Antonin Artaud, Stanilavsky, Bertolt Brecht, maupun Grotowsky. selayaknya kesejatian berkesenian dan berkebudyaan, Rendra menggagas kebaruan, menjauhi tradisi make-up, menjadi orang lain, maupun naik-turunnya layar. Bahkan dengan bangga, dalam beberapa repetoar yang digelarnya, Rendra bersuka hati menjadi dirinya sendiri dan menampilkan bot-repote penataan properti yang sebelumnya tabu menjadi materi tontonan.

Dalam tulisannya tersebut Rendra juga mengatakan, “Teater modern tidak punya kekuatan ekonomi dan tidak punya tempat sosial yang jelas. Jadi ini harus dicapai, kita harus punya kekuatan ekonomis. Sumber dana harus datang dari kita sendiri. Karena itu, kami menolak subsidi”. Posisi kesenian teater yang terpinggirkan karena dominasi kesenian yang berorientasi pasar menyebabkan seorang seniman teater kurang mendapatkan income yang layak dari ranah yang digelutinya. Bahkan untuk biaya produksinya saja terkadang harus merogoh kocek pribadi dan atau mengharapkan donasi pihak-pihak tertentu yang terkadang menitipkan sesuatu. Pernyataan Rendra di atas memang cenderung nampak sebagai tantangan kepada semua elemen, termasuk dirinya sendiri, untuk menjalankan kredo berkesenian dan berkebudayaan yang independent, seni untuk seni.

Tanpa pretensi untuk mendiskreditkan kelompok teater lain, dalam salah satu sajaknya, Rendra secara lantang mengatakan “Kita menolak menjadi koma,”. Hal ini mengukuhkan dirinya sebagai seniman yang no regret and no return untuk melakukan kerja seni dan menghasilkan karya-karya yang independen dan berwibawa.

Kebaruan yang digagas oleh Rendra sangat menonjol ketika dirinya memperkenalkan konsep drama mini-kata, yang miskin dialog, menonjolkan aspek gerak, dan cenderung memberi ruang bagi beragam intrepretasi penontonnya. Namun, sebagaimana lazimnya kebaruan, segala sesuatu yang tidak sejalan dengan kemapanan tradisi cenderung ditanggapi secara negatif. Almarhum Trisno Sumardjo pun meragukannya sebagai sebuah teater. Repertoar “Bip-Bop” oleh beberapa mahasiswa psikologi UI dianggap sebagai permainan orang gendheng, bahkan di Yogyakarta disambut dengan lemparan-lemparan batu.

Ironis memang, tanggapan keras berupa lemparan batu tersebut muncul dari kalangan masyarakat Yogyakarta yang pernah menjadi habitat proses kreatifnya dan identik sebagai kota pelajar (kaum intelektual) dan kota priyayi. Namun, Rendra menanggapi fenomena tersebut lebih sebagai aksi brutal yang tidak berpijak pada pandangan estetika kesenian, melainkan moralitas semata. Bagi Rendra, hal itu hanya reaksi khas masyarakat agraris, feodalistis, dan konservatif, yang enggan menemui perubahan (kebaruan).

Dalam sejarah seni avant-garde, tanggapan negatif yang mengikuti kemunculan sesuatu yang baru adalah lumrah. Sebab, sesungguhnya, teater avant-garde membawa serta dalam dirinya semangat menantang seluruh masyarakat (Bakdi Soemanto, 2000). Namun, menghadapi tentangan semacam ini Rendra tidak tidaklah surut. Ia bahkan menantang mereka berdiskusi. Kita semua menyadari bahwa keberanian Rendra ini bertolak pada pemikiran bahwa konsep yang lahir dari pergulatan intens harus diperjuangkan.

Almarhum Wahyu Sihombing ketika mengkritisi repertoar Rendra yang berjudul “Hamlet” mengatakan, “WS Rendra telah membuka kartunya: mengada atau tidak mengada itulah soalnya. Dari sini Rendra berangkat memanggungkan ‘Hamlet’. Kemudian, dalam percakapan singkat di depan siswa-siswa LPKD baru-baru ini, Rendra menjelaskan lagi, dari soliluqui tokoh Hamlet ini ia melihat persoalan manusia yang abadi: kelemahan, kefanaan, dan usaha manusia bertanya.” (Hamlet = Rendra, 1969).

Sebagai manusia cerdas, Rendra senantiasa mengajak orang lain untuk bertanya dan mempertanyakan kembali. Alfons Taryadi menyebutnya sebagai ‘questioning’. Padahal apabila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, kata ‘questioning’ sangat dekat pengertiannya dengan ‘menggugat’. Menggugat adalah sebuah roh berkesenian dan berkebudayaan yang diusung oleh Si Burung Merak ini. Seperti halnya dalam repertoar “Kaum Urakan” yang digelar di Pantai Parangtritis Yogyakarta, Rendra menggugat kemapanan yang menjadikan manusia bermetamorfosis menjadi individu yang mlempem.

Dengan mempertanyakan kembali dan menggugat, Rendra menantang. Termasuk menantang dirinya sendiri. Hal ini membuat kekuatan karya-karya teaternya bertumpu pada kondisi tragis manusia. Setiap kali manusia berhadapan dengan pola-pola kebudayaan dan tradisi, bahkan nasib yang dituliskan-Nya, mereka cenderung untuk terpaku dalam ketidakberterimaan, mempertanyakan, bahkan menggugat. Ketika Rendra mempertanyakan nasib, mengapa manusia harus hidup, melakoni sesuatu, kemudian mati, Rendra tengah berefleksi layaknya seorang filsuf.

Lalu mengapa Rendra yang hanya mempertanyakan kembali segala sesuatu dalam kehidupan harus masuk daftar hitam pemerintahan Orde Baru?

Rendra dianggap memiliki komitmen yang kuat kepada politik, repertoarnya yang berjudul “Perjuangan Suku Naga” dianggap pemerintah Orde Baru sebagai bentuk aksi seni yang dapat mengundang ‘kegelisahan’ masyarakat. Padahal menurut Alfons Taryadi (1994:157), dalam “Perjuangan Suku Naga”, Rendra tidak ingin menampilkan permainan kekuasaan berikut segala intrik yang ada di dalamnya. Namun Rendra lebih memandangnya dari perspektif disharmoni kehidupan, keterbelengguan kemerdekaan dalam dimensi kebudayaan.

Puisi-puisinya yang berbau politik, seperti dalam antologi “Potret Pembangunan dalam Puisi”, memang terkesan lugas dan memerahkan telinga penguasa. Begitu juga penampilan terakhirnya dalam deklarasi pencalonan pasangan Mega-Pro di Bantar Gebang beberapa waktu lalu, memang terkesan memihak salah satu kelompok dan menyerang kelompok lain. Akan tetapi, apabila ditelaah secara arif, ada elemen lain yang sejatinya lebih menyentuh kedalaman, yaitu yang membangkitkan daya hidup.

Seperti halnya pamflet dan selebaran Jhon Dryden di Inggris pada pertengahan abad ke-17 yang meskipun sarat dengan kata-kata yang keras dan lugas, estetika sastra yang ada di dalamnya tetap terasa. Letak keindahan karya-karya Rendra justru terletak pada kelugasan, ketegasan, dan kejelasan pesan. Kalaupun ada yang sakit hati dengan kata-kata yang disampaikan Rendra maka dengan sendirinya yang bersangkutan telah membuat pengakuan bahwa dirinyalah yang sedang menjadi objek imajinasi karya-karya Rendra.

Dalam karya-karyanya, Rendra acapkali membanggakan dirinya sebagai pencipta kepastian (Danarto, 2001). Sebagai seniman, Rendra sadar bahwa kebutuhan mendesak masyarakat Indonesia adalah kepastian. Tapi, dalam karya-karyanya secara lugas rasa herannya menyaksikan pemimpin, pemuka agama, maupun elemen masyarakat lain yang juga memegang kanal informasi justru cenderung menciptakan ketidakpastian-ketidakpastian. Melalui “Kereta Kencana” karya Eugene Ionescou, Rendra mampu menerangkannya tanpa muslihat. Kepastian terungkap dengan jelas, tanpa penonton merasa tertipu. Ia mengungkapkan hal-hal yang kedengarannya asing tapi sebenarnya itulah yang senantiasa terjadi di lingkungan kita, dari waktu ke waktu.

Sepotong sajak tentang ronin di atas yang tidak pernah didokumentasikan, kecuali oleh Danarto, telah secara gamblang menampilkan sosok Si Burung Merak, seniman besar Indonesia yang merdeka yang tetap setia mengunjungi masyarakat Indonesia, mengabarkan kemerdekaan berpikir, berkehendak, dan melakukan segala sesuatu. Namun, di detik-detik menjelang ke-64 tahun kemerdekaan bangsa Indonesia, sang ronin harus mengakhiri pengembaraannya, dalam kereta kencana, dirinya pasrah menemui kemerdekaan sejati bersama Sang Majikan (Tuhan).

Selamat Jalan Si Burung Merak.

************

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun