Mohon tunggu...
Anjrah Lelono Broto
Anjrah Lelono Broto Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis

Penulis freelance

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Potensi People Power

11 November 2009   04:13 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:23 734
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik



Oleh : Anjrah Lelono Broto*)

‘Cicak’ dan ‘Buaya’ mendadak menjadi istilah yang kerap dilontarkan oleh media massa dalam kemasan pemberitaan menyoal konflik di antara dua lembaga pemerintah, Polri dan KPK. Tingginya frekuensi penggunaan dua istilah yang secara literer mengacu pada hewan melata satu genus beda habitat ini hingga membuat Kapolri, Bambang Hendarso Danuri, meminta agar media massa mengurangi aksi pengidentikkan Polri sebagai ‘Buaya’ dan KPK sebagai ‘Cicak’. Padahal, publik tidak melupakan sejarah bahwa aksi pengidentikkan Polri dan KPK sebagai ‘Buaya’ dan ‘Cicak’ diawali oleh petinggi Polri sendiri yaitu Susno Duaji.

Lalu mengapa interaksi komunikasi massa menggunakan dua istilah ini begitu hangat? Apakah karena dua hewan yang menjadi induk aksi pengidentikkan tergolong sebagai hewan berdarah panas? Ataukah karena akar konflik di antara dua institusi ini begitu kontroversial? Bahkan, ada sinyalemen bahwa apabila Presiden sebagai representasi pemerintahan tidak segera mengambil langkah tegas dalam penanganan konflik ini maka Indonesia akan mengulang sejarah ‘People Power’, sebagaimana tahun 1998.

People Power

Ramainya apresiasi publik terhadap fenomena penahanan dua petinggi KPK, Chandra M. Hamzah dan Bibit Samad Rianto, oleh Polri dengan dugaan penyalahgunaan wewenang tertuang dalam beragam bahasa dan media. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi memberikan banyak kemudahan bagi publik untuk menuangkan pendapat, gagasan, ataupun kekecewaan terhadap fenomena apa saja. Ketika penahanan dua tokoh KPK yang sejak awal mengundang kontroversi (karena bersifat tumpang-tindih antar lembaga negara berikut segala kewenangan yang ada), publik pun berapresiasi. Dari tulisan opini di media cetak dan online, celoteh dan comment di dinding Facebook, Twitter, Friendster, Yahoo Mesenger, Blackberry Mesenger, hingga obrolan warung kopi dari Sabang sampai Merauke. Bagai bola salju, apresiasi tersebut menggelinding dan menggunung hingga hari ini menjadi sebuah bom berdaya ledak tinggi yang ledakannya bisa jadi berupa people power yang mampu memporak-porandakan tatanan struktur pemerintahan yang telah ‘mapan’.

People power merupakan aksi massa riil revolusioner menumbangkan kekuasaan yang dianggap sebagai tiran (Neil Smelser, 2001). Sejarah Indonesia mencatat ada dua jilid gerakan people power untuk menumbangkan pemerintah yang sedang berkuasa. Pertama adalah penggulingan Presiden Soekarno yang mengangkat dirinya sebagai presiden seumur hidup. Sedangkan, jilid keduanya adalah penggulingan Presiden Soeharto yang menata mekanisme pemilihan umum agar memilihnya menjadi presiden seumur hidup.

Sebuah evolusi maupun revolusi bangsa tidak bisa dilepaskan dari peran generasi muda. Begitu pula dengan riuh-rendah apresiasi publik menyikapi fenomena penahanan Chandra M. Hamzah dan Bibit Samad Rianto yang secara gamblang merupakan bagian dari skenario melemahkan KPK. Ketika Sang Ketua, Antasari Azhar, dinonaktifkan akibat ‘dugaan’ terlibat dalam kasus pembunuhan bermotif asmara otomatis vitalitas kinerja KPK mengalami penurunan. Hingga presiden ‘menunjuk’ seseorang untuk menduduki posisi ketua tersebut tanpa melewati mekanisme hukum yang semestinya. Salahkah jika publik yang didominasi generasi muda memberikan apresiasi dukungan terhadap KPK yang petinggi-petingginya coba dimutilasi jabatan dan kewenangannya?

Mari kita tengok sejarah detik-detik proklamasi. Apabila para pemuda yang dipimpin Sukarni tidak menculik Bung Karno dan Bung Hatta ke Rengasdengklok, besar kemungkinan kita tidak akan menikmati proklamasi kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945. Sehingga Bung Karno pun berujar "Berikan aku 10 orang pemuda untuk membangun negara ini." 10 orang pemuda yang dimaksud oleh Bung Karno, tentu saja tidak kita pahami secara harfiah. Maksudnya, pemuda dengan jumlah yang sedikit namun berkualitas, mumpuni sehingga akan memudahkan proses-proses pembangunan ketatanegaraan Indonesia. Sehingga tujuan negara yang tercermin dalam Preambule UUD 1945 akan mudah dicapai dalam genggaman.

Di tahun 1998-1999, gerakan pemuda berhasil menurunkan rezim Soeharto. Fakta ini memberikan cerminan bahwa gerakan pemuda yang berkolaborasi dengan kaum tertindas melahirkan kedasyatan langkah perjuangan. Sugeng, dalam "Quo Vadis Kelas Menengah", mengatakan bahwa "Gerakan kaum intelektual berkolaborasi dengan masyarakat kelas bawah akan mengakibatkan kegundahan sosial". Begitu juga dengan Neil Smelser dalam "Movement Social and Revolutions" mengatakan, ada enam tahap yang menyatukan gerakan pemuda dengan masyarakat secara menyeluruh, yaitu: (a) struktur birokrasi yang korup, (b) munculnya ketertindasan global, (c) transformasi konsep yang jelas antar elemen yang melahirkan kesepahaman, (d) adanya unsur pemicu, (e) mobilisasi, dan (d) adanya pihak-pihak yang menghambat gerakan tersebut secara represif.

Adanya unsur pemicu merupakan elemen yang memungkinkan gerakan pemuda menggerakkan people power. Adanya sinyalemen kriminalisasi KPK oleh Polri sebagai lembaga negara yang sekarang petinggi-petingginya menjadi target penyidikan KPK menjadi unsur pemicu yang rentan terhadap terjadinya People Power Jilid III. Mungkinkah dalam beberapa hari mendatang akan terjadi gerakan menurunkan presiden yang baru saja dilantik untuk kali kedua?

Tak Terpungkiri

Ramainya apresiasi publik terhadap penahanan dua petinggi KPK, Candra M. Hamzah dan Bibit Samad Rianto, dengan dugaan penyalahgunaan wewenang oleh Polri, sebenarnya sangat logis terjadi. Mengingat unsur penyalahgunaan wewenang yang dituduhkan Polri pada mereka dilakukan ketika KPK tengah sibuk melakukan penyelidikan kasus Bank Century. Lolosnya tersangka kasus tersebut, Anggoro Widjoyo, beberapa jam sebelum jatuhnya putusan MK menyisakan syak wasangka publik yang telah lama menjelma menjadi distrust society terutama menyikapi penanganan hukum di Indonesia. Dalam penyelidikannya KPK melakukan penyadapan tersembunyi pada beberapa petinggi Polri, MA, MK, dan Kejaksaan Agung yang diduga terkait dalam kasus Bank Century. Pada momentum inilah, Polri menilai bahwa KPK tidak memiliki kewenangan untuk melakukan aksi sadap-menyadap pejabat-pejabat negara.

Tentang penilaian pihak mana yang benar dan yang salah tentu menjadi sebuah PR tersendiri, tetapi mengapa dua petinggi KPK tersebut ‘buru-buru’ dijebloskan ke dalam bilik tahanan Mabes Polri?

Beberapa petinggi KPK lainnya maupun tokoh-tokoh nasional pun bertandang ke Mabes Polri menjenguk dua orang teraniaya tersebut. Herannya mereka mendapatkan larangan dari Polri dengan dalih tidak melewati prosedur yang berlaku. Bahkan permohonan penangguhan penahanan dari tim pengacara Chandra M. Hamzah dan Bibit Samad Rianto pun tidak mendapatkan tanggapan serius dari Polri. Hingga 27 lebih tokoh nasional secara sukarela menjaminkan dirinya agar penangguhan penahanan tersebut dikabulkan. Di antara tokoh-tokoh tersebut terdapat Adnan Buyung Nasution, anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantipres) Bidang Hukum, Todung Mula Lubis Ketua Dewan Pengurus Transparancy International on Indonesia (TII), mantan presiden RI Gus Dur, mantan petinggi KPK Erry Riyana Harjapamekas, dan Ketua PBNU Hasyim Muzadi.

Apresiasi yang tinggi dari publik menyikapi fenomena penahanan dua petinggi lembaga yang diidentikkan dengan binatang cicak ini pun terus mengalir dari seluruh penjuru tanah air. Beberapa kelompok mahasiswa mengadakan aksi mogok makan di depan gedung KPK sebagai bentuk dukungan moril. Sedangkan, di daerah masing-masing, mahasiswa juga melakukan aksi-aksi senada sebagai bentuk tuntutan agar presiden sebagai representasi pemerintah mengambil tindakan tegas dalam konflik cicak vs buaya ini. Bahkan “Gerakan 1.000.000 Facebookers Dukung Chandra Hamzah dan Bibit Rianto” yang memanfaatkan jejaring Facebook pun sudah mendapatkan confirm lebih dari 300 ribuan. Satu hal yang membanggakan adalah mayoritas facebookers yang memberikan confirm adalah pejabat pemerintah dan anggota DPR/DPRD yang baru dilantik beberapa hari yang lalu.

Apresiasi publik yang bisa jadi dianggap ‘berlebihan’ oleh beberapa pihak ini tentu saja tidak bisa dianggap remeh karena Presiden SBY telah beberapa kali memanggil kapolri ke istana negara. Pasca pemanggilan, biasanya kapolri kemudian menggelar jumpa pers dan melaunching statemen terbaru tentang kasus penahanan dua petinggi KPK ini. Bahkan, presiden juga mendadak memanggil Adnan Buyung Nasution, Anies Baswedan, Todung Mulya Lubis, Komaruddin Hidayat, Teten Masduki, Hikmahanto Juwana, serta beberapa anggota Wantipres yang lain. Pasca pertemuan dengan tokoh-tokoh tersebut, Presiden meluncurkan lokomotif bernama Tim Pencari Fakta (TPF) KPK.

Bukankah ini salah satu gejala kebelingsatan yang tak terpungkiri presiden terhadap adanya sinyalemen people power?

Hikmahanto Juwana, Mantan Anggota Panitia Seleksi Pimpinan KPK 2007-2011 dan Guru Besar Fakultas Hukum UI, sebelum bertemu dengan Presiden SBY mengatakan bahwa pernyataan Presiden SBY terkait penahanan Chandra M. Hamzah dan Bibit Samad Rianto tidak mampu menyurutkan dukungan masyarakat terhadap keduanya. Begitu juga dengan pledoi Kapolri, Bambang Hendarso Danuri, mengenai tindakan kepolisian tidak membuat publik puas, bahkan justru mereka meraih lebih banyak dukungan. Masyarakat telah menjadikan keduanya sebagai simbol. Presiden SBY harus mewaspadai gejala dukungan rakyat berubah menjadi kekuatan rakyat (Media Indonesia, 31/10/09).

Lokomotif TPF KPK

Aksi sukarela beberapa tokoh nasional untuk menjaminkan dirinya agar penahanan kedua petinggi KPK ini ditangguhkan, pasca pertemuan, dijawab presiden dengan merekrut mereka dalam lokomotif TPF KPK. Lokomotif yang berkantor di Menkopohukam ini terkesan sebagai upaya menutup mulut mereka agar tidak merapatkan barisan dengan masyarakat di bundaran HI ataupun tempat-tempat yang lain menuntut ketegasan pemerintah dalam penyeleseian kasus ini.

Catatan penegakan hukum di Indonesia menunjukkan bahwa pembentukan TPF merupakan antiklimaks dan semata retorika untuk membentuk opini atau pencitraan. Apalagi presiden SBY memang secara pribadi dikenal publik sangat piawai dalam memainkan politik pencitraan. Benar dan tidaknya kalau TPF KPK semata dibentuk sebagai piranti penutup mulut serta bagian dari devide et impera tokoh-tokoh nasional dengan masyarakat tentu akan segera terjawab dalam target dua minggu yang diberikan sebagai tenggat pada lokomotif bentukan presiden ini. Dus, Chandra M. Hamzah dan Bibit Samad Rianto harus menikmati dua minggu lagi menginap dalam bilik tahanan Mabes Polri.

Susahnya menjadi Cicak yang berani melawan Buaya..

************

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun