Mohon tunggu...
Anjo Hadi
Anjo Hadi Mohon Tunggu... profesional -

"Politikus itu banyak. Tapi Negarawan itu sedikit."\r\n\r\nOnce worked as a journalist for OZIndo (Indonesian-speaking magazine in Australia) and Indomedia Australia.\r\n\r\nFollow me: https://twitter.com/AnjoHadi

Selanjutnya

Tutup

Politik

Sampai Sejauh Mana SARA Itu SARA (Jangan Coba-Coba Menggurui Allah?)

15 Agustus 2012   11:49 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:44 2741
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Rhoma Menggoyang SARA, Sumber: TV One

[caption id="" align="alignnone" width="320" caption="Rhoma Menggoyang SARA, Sumber: TV One"][/caption]

Malam lalu kita baru saja disajikan suguhan menarik dari TV One Indonesia Lawyers Club. Menu hari ini berjudul “Rhoma Menggoyang Sara.” Sounds erotic tapi tentu saja bukan itu intisari-nya. Karni Ilyas kali ini membahas mengenai pernyataan Rhoma dalam sebuah dakwah “SARA”-nya di masjid baru-baru ini serta menghadirkan berbagai narasumber mulai dari budayawan, pakar hukum, Panwaslu, bahkan Rhoma Irama dan juga Joko Widodo (lewat Teleconference).

So...when it comes to SARA (especially in Indonesia), nothing is hotter. Tapi biar cepat biar saya simpulkan konklusi dari acara ILC malam ini. Kubu yang bersimpati pada Rhoma Irama menyatakan bahwa “ceramah apapun isinya” selama sesuai akidah dan dilakukan tertutup dalam rumah ibadah, tidak bisa dianggap SARA. Logika mereka dalam bahasa saya kira-kira seperti ini, “Ok, pemuka agama lain juga punya hak seperti itu kok, karena kurang lebih ajaran agama kan memang begitu...malah aneh kalo denger pemuka agama lain mengajak umatnya memilih pemimpin yang tidak seiman. ”

It’s a fair game, menurut “simpatisan Rhoma.” Gue bawa isu primordial...eloe juga boleh.

Kubu yang mengecam perkataan Rhoma Irama berpikir lain. Bagi mereka kepemimpinan itu suatu kualitas hidup dan tidak bisa dilihat sekadar dari agama yang mereka bawa. Konteks nasional harus dilihat karena meski Islam adalah agama mayoritas, asas negara adalah Pancasila yang berjalan berdampingan dengan agama, bukan agama diatas Pancasila.

Disini saya sempat berpikir, sepertinya sumber keresahan masyarakat mengenai SARA baru saja terungkap disini. Ada beberapa definisi berbeda seputar SARA dan dalam konteks topik debat malam ini, “SARA” menurut orang Muslim berbeda dengan “SARA” menurut orang non-Muslim dan bahkan diantara orang Muslim sendiri, definisi “SARA” juga berbeda.(Salah seorang narasumber cendekiawan Muslim tidak setuju dengan tindakan Rhoma).

Dan akhirnya kita kembali kejudul yang saya tulis diatas: Sampai Sejauh Mana SARA itu SARA?

Perbedaan pendapat mengenai definisi SARA ini, menentukan masa depan multikulturalisme rakyat Indonesia. Bagi kaum fundamentalis contohnya, mendirikan rumah ibadah berbeda di kantong mayoritas umatnya adalah SARA.

Dengan kata lain: “Ini komunitas kami, Cuma rumah ibadah kami yang boleh berdiri. Sama juga kalau di komunitas kamu, kami tidak akan macam-macam mendirikan rumah ibadah kami ditempatmu.”

Another “Fair game” again. Padahal tidak fair juga, karena “agama” tersebut mayoritas sehingga dibangun dimanapun mereka tetap bisa. Bahkan sekalipun di tempat yang sering disebut “basis Kristen” seperti NTT, Sulawesi Utara atau Ambon, setiap rumah orang Kristen paling tidak memiliki tetangga Islam, dan di daerah “basis Islam”, belum tentu setiap rumah orang Muslim memiliki tetangga Kristen. Menurut sensus 2010, penduduk Indonesia 87% lebih adalah Muslim sehingga tidak mustahil hal diatas terjadi.

Ini saya sebut sebagai egoisme religi untuk mereka (para fundamentalis agama) yang secara tidak langsung membangun tembok dengan orang lain yang berbeda. Ciri-ciri orang fundamentalis mudah dikenal dari cara berbicaranya. Biasanya kalau berbicara sesuatu mereka lebih sering terlihat menggunakan bahasa yang hanya dimengerti oleh kaum segolongannya saja. Dalam diskusi di ILC malam itu juga, sangat terlihat jelas kalau narasumber simpatisan Rhoma Irama, dalam argumennya selalu sibuk menyempilkan ayat-ayat di kitabnya untuk dijadikan pembenaran. Dan salah seorang pemuka agama menyebutkan bahwa orang Muslim jauh lebih bisa mengayomi orang non-Muslim, ketimbang non-Muslim sendiri.

“Jangan coba-coba menggurui Allah,” ucap Rhoma pada Karni Ilyas, ketika ia terlihat bertentangan pendapat dengan Rhoma dalam sebuah ayat. Ketika ditanya mengapa sempat menangis, Rhoma menjawabnya dengan jawaban ultra rohani.

“Saya menangis bukan karena tergetar dan takut. Tapi ketika saya keluar dari mobil, itu suara takbir dan sholawat bergemuruh, ujar Rhoma diikuti seruan Allahu Akbar dari pendukung-pendukungnya.

Everything is spiritual in Indonesia. Dan rakyat kita sangat mengapresiasi ceramah-ceramah seperti ini hingga nalar terkadang sulit jalan. Namun apakah personal conviction Rhoma diridhoi Yang Mahakuasa melalui “suara-suara” tersebut (atau justru ditegur), hanya yang di-Atas dan Rhoma yang tahu.

Narasumber kontra justru cenderung menggunakan argumen yang menyempilkan asas-asas Pancasila. Bahkan salah satu pemuka agama Katolik yang tampil saat itu, dalam pembicaraannya dari awal sampai akhir, tidak menyebutkan sepatah ayat Alkitab sebagai pembelaannya terhadap multikulturalisme dan asas Pancasila. Why? Apa karena ayat-ayat Alkitab tidak mampu menepis ayat-ayat Al-Quran yang ditembak oleh para fundamentalis pendukung Rhoma? Saya rasa jawabannya satu. Romo tersebut tahu kepada siapa dia berbicara. Ia tahu orang-orang di acara tersebut tidak semuanya seagama dengannya. Karena itu ia berbicara dengan “bahasa” yang bisa dimengerti oleh semua jenis rakyat Indonesia. Sekularisme implicit? Bukan juga. Karena Romo itu tahu bahwa setiap kata-kata religi miliknya hanya logical bagi diri dan golongannya dan hanya akan membuang waktu karena toh, orang-orang simpatisan Rhoma akan berkata, “ah doesn’t make sense to my faith.”

Padahal hal sama terjadi ketika para simpatisan tersebut membangun tembok ayat di tengah diskusi multi-faith tersebut. Apakah kaum nasionalis tertarik dengan argumen ayat-ayat kaum simpatisan Rhoma? “So what gitu lho,” pikir mereka. “Gw ga peduli sama ayat-ayat lu...dan yang gw liat ayat-ayat lu, kayaknya semakin membuktikan bahwa u ga bisa hidup dalam Pancasila dan di Indonesia.”

Jawaban topik tulisan saya disini jelas: Segala sesuatu yang berseberangan dengan konteks nasional, kebangsaan dan multikulturalisme dapat menjadi SARA (negatif). Ya jadi bukan masalah didalam atau diluar rumah ibadah. Contohnya seperti ini. Berceramah personal di dalam rumah ibadah bahwa agama “A” paling benar di dunia bukanlah SARA. Why? Karena semua pemuka agama “B” dan “C” berceramah hal yang sama? Bukan itu. Karena hal ini hanya urusan personal yang tidak akan bisa mengganggu kehidupan real sosial umat beragama lain. Untuk kasus pertama ini, hanya setelah kita mati, kita tahu apa yang kita yakini benar atau salah.

Contoh kedua, berceramah personal di rumah ibadah bahwa mencari pemimpin harus yang segolongan. Yang ini baru SARA? Why? Padahal sama-sama didalam rumah ibadah yang sama lho? Bisa dimanipulasi secara politis? Salah satunya itu. Tapi yang jelas, dalam dunia nyata tidak ada fakta yang menunjukkan bahwa semua kepemimpinan dunia dibawah umat golongan tertentu pasti tokcer, pasti membawa kemakmuran, adil sentosa seperti cerita-cerita rakyat yang pernah kita baca sewaktu kecil. Pasti selalu ada hitam dan putih. Malah yang hitam jauh lebih banyak. Untuk yang ini tidak perlu pembuktian dengan menunggu setelah kita mati.

Bila memaksakan sebuah gaya hidup (dalam konteks memilih pemimpin segolongan) yang dipertanyakan dampak positifnya atau rentan disusupi niat-niat jahat dan politis hanya karena sebuah “high law” bukankah itu malah menunjukkan “high law” tersebut rapuh dan tidak sempurna? Apalagi bila ada unsur agama. Yang terjadi justru esensi agama tersebut jadi ternista.

Pernah suatu waktu saya berkesempatan interview dengan Patrick Sweeting, Mantan United Nation of Senior Chief Advisor on conflict prevention. Beliau tinggal di Indonesia selama 30 tahun, dan mengecap asam garam konflik seperti Aceh dan Ambon. Pria Inggris ini menyebutkan bahwa ras dan agama adalah “question of luck” yang artinya apa yang kita percayai dan apa yang kita perjuangkan itu hanya karena kebetulan kita lahir/berada/bergaul di suatu komunitas serta adanya sentimen/emosi kebersamaan.

Melalui inteview itu saya berpikir, terkadang this “question of luck” membuat kita berpikir bahwa apa yang kita imani adalah yang terbaik sehingga terkadang membuat kita arogan. Ingat bahwa tidak ada satupun orang di dunia yang dapat mempelajari semua agama atau kepercayaan diseluruh dunia. Kalau ada yang bilang sudah mempelajari semuanya, saya kira itu bohong. Karena bahkan satu agama saja sampai mati-pun belum tentu kita bisa mengerti semuanya sekalipun sudah menjadi pemuka agama. Misteri Tuhan siapa yang tahu semuanya? Karena itu kita harus belajar untuk memiliki kerendahan hati. Rasa hormat antar umat beragama tidak muncul ketika kita menunjukkan superioritas ayat-ayat suci kita dan apa yang kita imani.

Konklusi saya, dari sekian orang Muslim di ILC yang melempar berbagai ayat suci, hanya Jokowi yang paling terlihat Muslim. Padahal tidak sepatah ayat suci keluar dari Pria Muslim tersebut. Ketika disindir oleh Rhoma apakah hatinya benar-benar memaafkan atau tidak, Jokowi hanya tetap senyum cengengesan sembari menegaskan rasa maafnya dan mencoba tidak larut dalam isu dan menavigasi publik ke esensi Pilkada sebenarnya: Adu visi dan program. Setidaknya di program tersebut masih ada satu orang yang mengamalkan sholat dan puasanya kedalam aplikasi dunia nyata!

Note: Karikatur "Teori Pascal Islam" yang sebelumnya saya pasang, saya cabut kembali supaya tidak terjadi kesalahpahaman dan keresahan umat agama tertentu. Bagi yang ingin mengetahui topik saya yang lain seputar Rhoma Irama dapat liat yang ini: http://politik.kompasiana.com/2012/08/09/korupsi-gapapa-yang-penting-jangan-kafir/

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun