Mohon tunggu...
Anjo Hadi
Anjo Hadi Mohon Tunggu... profesional -

"Politikus itu banyak. Tapi Negarawan itu sedikit."\r\n\r\nOnce worked as a journalist for OZIndo (Indonesian-speaking magazine in Australia) and Indomedia Australia.\r\n\r\nFollow me: https://twitter.com/AnjoHadi

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Rhoma Irama, Professor atau Doctor Honoraris Causa?

26 Februari 2014   02:20 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:28 3903
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_324736" align="aligncenter" width="546" caption="Ilustrasi/Admin (Kompas.com)"][/caption]

Sebelum polemik ini membesar, Ketua Tim Sukses Pencapresan Rhoma Irama, Ramdansyah mengklaim bahwa gelar “professor” yang terpampang di spanduk kampanye pencapresan Rhoma Irama adalah honoraris causa yang didapatnya sejak “tahun 80-90-an.”

"Profesor itu gelar honoris causa, sudah lama itu. Sudah sejak tahun 80-90an," ucapnya, saat dikonfirmasi detikcom, Senin (24/2/2014) malam. Dengan percaya diri, mantan Ketua Panwaslu DKI tersebut meyakini bahwa gelar professor itu dapat ditemukan di “buku tentang dangdut.”

"Gelar profesornya untuk culture, dianggap menciptakan dangdut. Kalau baca buku tentang dangdut pasti ada data soal pemberian gelar itu," ujarnya.

Namun kemudian dengan banyaknya media yang memberitakan bahwa Rhoma telah menerimadua gelar baik Professor maupun Doktor Honoraris Causa pada tahun 2005 dari American University of Hawaii, tiba-tiba saja Ramdansyah melarat dan menyebutkan bahwa Rhoma hanya mendapat gelar Doktor Honoraris Causa di Taman Mini oleh “tiga orang professor dari Amerika Serikat.” Kapan diberikannya dan Universitas mana yang memberi, tidak dijelaskan lebih rinci.

Lalu bagaimana media mendapat sumber bahwa gelar tersebut berasal dari American University of Hawaii? Situs http://auh.academia.edu hingga kini menjadi rujukan. Ketika penulis buka, ada twist atau kejutan menarik menanti. Memang disana diketemukan data mengenai Rhoma Irama dan afiliasi dengan “Dangdut Music Management, Department of Soneta.” Tapi yang lebih menarik adalah adanya data yang dilingkar merah ini.

[caption id="attachment_313969" align="alignnone" width="1076" caption="Dangdut pake gelar palsu? Siapa yang berani menista bang profesor haji?"]

13933237082093688877
13933237082093688877
[/caption]

Konklusinya, orang-orang yang tercatat di laman ini, tidak diorganisir oleh institusi atau administrasi suatu universitas. Siapapun termasuk Rhoma dapat mencatatkan namanya disini asalkan mendaftar sebagaimana kita mendaftarkan diri di media social Facebook, tak peduli apakah anda bagian dari institusi pendidikan atau tidak.

Ada catatan khusus yang butuh diberikan pada Ketua Timses Rhoma Irama yang juga mantan Ketua Panwaslu DKI. Apakah tim sukses mengenali “strength & weakness” (kelebihan & kekurangan) calon yang diusungnya? Kesalahan menginformasi antara gelar “professor” dan “doktor” memberikan implikasi bahwa tim sukses tidak mengenal secara dekat siapa yg mau mereka sukseskan.

Yang kedua adalah konsekuensi dari memasarkan gelar “professor” tersebut. Sepertinya timses Rhoma tidak meneliti lebih lanjut institusi mana yang memberikan gelar tersebut. American University of Hawaii (AUH), diketahui sebagai insitusi edukasi yang tidak mendapat akreditasi dari Amerika Serikat sendiri. Bahkan keabsahan dan eksistensinya saja sulit dibuktikan karena website-nya saja sampai sekarang tidak dapat diketemukan.

Tak aneh bila Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional (Dirjen Dikti Depdiknas) menganggap bahwa AUH tidak memiliki kewenangan untuk memberikan gelar kehormatan pada Rhoma Irama. Akibatnya gelar tersebut kini malah menuai kontroversi ketimbang mengharumkan nama sang bakal calon presiden.

Entah, mungkin timses Rhoma sudah frustasi dan “desperate” tidak tahu apa yang bisa ditonjolkan dari sisi Rhoma Irama selain figur agamisnya. Gelar akademis menjadi seolah “pembuktian” setelah sebelumnya intelektualitas Rhoma dipertanyakan pasca acara Mata Najwa diikuti kontroversi SARA dan pembubaran MK.

Dan ironis mengingat Rhoma yang secara implisit menolak konsep pluralisme dan demokrasi dengan menolak pemimpin dari agama dan ras tertentu, namun mau menerima pengakuan dari lembaga edukasi Barat yang tentunya mengusung paham pluralisme dan demokrasi.

Rhoma mengabaikan rekam jejak Basuki Tjahaja Purnama dan merasa bahwa sang calon Wagub DKI saat itu tidak pantas mendapatkan kesempatan dan apresiasi kesetaraan sebagai warga Indonesia untuk memimpin ibukota hanya karena iman pribadinya. Sedangkan Rhoma sendiri dengan senang hatimenerimaapresiasi dan penghargaan dari suatu institusi lembaga pendidikan negara “kafir” yang tidak mempersoalkan agama sang kesatria bergitar. Mungkin telalu senang, sampai-sampai keabsahan lembaga tersebut tidak di-cross check ulang.

[caption id="attachment_324735" align="aligncenter" width="194" caption="Profesor Rhoma Irama (Sumber: detik.com)"]

13933533041131030828
13933533041131030828
[/caption]

Anda Mungkin Tertarik Membaca:

1. Israel, Palestina 1948 FAQ

2. Kisah Bu Risma "Anak Tiri" PDI-P

3. Pesimisme Risma Vs Optimisme Rhoma

4. Wacana KRI Usman Harun Lebih Rugikan Indonesia

5. Belajar Dari Macau, Tak Selamanya Nasionalisasi Jadi Solusi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun