[caption id="" align="aligncenter" width="510" caption="Pembacaan Proklamasi"][/caption]
Sebelumnya, biar para pembaca disegarkan dahulu ingatannya kepada pidato Prabowo Subianto yang dirilis pada tanggal 25 Juli lalu. Beliau sempat bicara bagaimana pemimpin kita (tahun 1945) saat itu dihadapkan pada dua pilihan. Pilihan pertama adalah menyatakan kemerdekaan. Pilihan kedua adalah menunggu kemerdekaan itu diberikan oleh penjajah.
Bicara topik ini, memang agak sensitif. Selama ini kita diajarkan bahwa nilai suatu kemerdekaan amatlah sempurna bila diraih melalui perjuangan. Berulang kali entah di sekolah ataupun di rumah ibadah, kita sering didoktrin bahwa kita merdeka berkat bambu runcing dan takbir.
Sementara itu apabila suatu kemerdekaan datang berkat pemberian dari sang penjajah, maka nilai kemerdekaan tersebut dianggap hilang. Acapkali negara yang merdeka seperti jalan terakhir ini dicap sebagai “negara boneka” persis seperti yang dituduhkan terhadap Malaysia pada era 60-an.
Lalu kembali ke topik awal, benarkah Indonesia merdeka tanpa menunggu diberikan penjajah? Katakanlah, Sekutu tidak pernah melepas bom atom ke Hiroshima dan Nagasaki pada tanggal 6 dan 9 Agustus 1945 yang memaksa Jepang menyerah tanpa syarat. Akankah Indonesia dapat menentukan nasibnya pada tanggal 17 Agustus 1945?
Apa yang terjadi pada Indonesia, seandainya Sekutu kalah perang dan Jepang mengukuhkan diri sebagai negara superpower di Asia?
Tentu aneh memang bila menyebut pula kemerdekaan tersebut adalah pemberian Sekutu. Hingga kini tidak pernah ada dokumentasi bukti bantuan senjata maupun intelijen saat itu. Segala sesuatu secara kebetulan berjalan mulus di pihak Indonesia. Sungguh ironis dan patut disesali memang bila tragedi bom atom yang dipandang sebagai tragedi kemanusiaan di satu sisi namun di sisi lain menjadi pintu harapan bagi kemerdekaan bangsa ini.
Sebenarnya darimana munculnya jargon “kemerdekaan pemberian penjajah?” Pertama, wacana ini sebenarnya muncul sejak awal tahun 1945 tatkala Jepang sudah mulai menuai berbagai kekalahan. Dari sini kita mulai mengenal dibentuknya Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan diubah menjadi Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Tujuannya jelas. Ketika Sekutu mencapai Indonesia, maka Jepang berharap supaya Indonesia bertempur disisi mereka.
“Dosa besar PPKI” cuma satu saat itu: Dibuat oleh Jepang. Tak ayal, saat itu ada agenda untuk menyingkirkan PPKI dan pimpinannya termasuk Soekarno dari prosesi proklamasi kemerdekaan. Namun pada akhirnya niat itu diurungkan dan PPKI pun berkontribusi besar dalam pembentukan UUD 1945 dan Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP).
Kedua, yakni pertemuan antara Soekarno dan Mayor Jenderal, Otoshi Nishimura selalu Kepala Departemen Urusan Umum Pemerintahan Militer Jepang pada malam 16 Agustus 1945. Berdasarkan pertemuan sebelumnya dengan Marsekal Terauchi di Dalat, Vietnam maka PPKI sudah diberi ijin untuk memproklamirkan kemerdekaan dalam beberapa hari, tergantung pada kecepatan kinerja PPKI.
Namun alangkah terkejutnya Soekarno, saat ia diberitahu Nishimura bahwa Jepang harus menjaga status quo. Soekarno dan Hatta kecewa serta sempat menyindir Nishimura tidak memiliki spirit Bushido dengan ingkar janji demi menyenangkan hati Sekutu.
Entah bagaimana caranya Soekarno sukses bernegosiasi supaya pemerintahan militer Jepang “tutup mata.” Sepertinya Soekarno mengerti bahwa sejak menyerah tanpa syarat, Jepang sudah tidak berhasrat untuk mempertahankan Indonesia.
Setelah itu kita memasuki babak menarik dalam sejarah kemerdekaan yakni perumusan teks proklamasi. Yang menarik bukan hanya perumusannya, tapi juga tempat dimana proklamasi dirumuskan. Hingga kini keterlibatan Laksamana Maeda dalam peran kemerdekaan masih menjadi misteri. Ada yang berkata beliau hanya sekadar simpatisan kaum nasionalis. Namun Maeda selain menyediakan tempat, juga dipercaya turut menjamin keselamatan para tokoh PPKI sehingga ia disebut sebagai perpanjangan tangan pemerintahan Jepang guna “mengawal” proklamasi kemerdekaan.
[caption id="" align="aligncenter" width="300" caption="Poster Film Merdeka 17805 (2001)"]
Membicarakan kontribusi asing terhadap kemerdekaan masih merupakan barang tabu. Ketika film Merdeka 17805 (2001) muncul di layar lebar, pemerintah Indonesia langsung kalap melakukan sensorship karena film tersebut dianggap memberikan pesan bahwa kemerdekaan adalah pemberian bangsa Jepang.
Padahal film tersebut lebih berfokus pada sosok individu tentara Jepang yang mengambil keputusan pribadi untuk bertempur bersama gerilyawan Indonesia pasca negaranya menyerah pada Sekutu. Kisah ini sebenarnya diinspirasi oleh kisah nyata.
[caption id="" align="aligncenter" width="460" caption="Memoar Rahmat Shigeru Ono by Eiichi Hayashi"]
Memang ada beberapa tentara Jepang yang bergabung tatkala tentara Republik berperang melawan Sekutu. Salah satunya adalah Shigeru “Rahmat” Ono yang bergabung dengan sebuah Pasukan Gerilya Khusus di wilayah Semeru Selatan, Jawa Timur. Kesatuan itu juga dipimpin rekan senegaranya, Ichiki “Abdul Rahman” Tatsuo. Sayang Tatsuo tidak seberuntung Ono karena ia tewas tertembak dalam sebuah pertempuran.
Pada 15 Febuari, 1958 Presiden Soekarno menyerahkan sebuah teks kepada Shigetada Nishijima (staff Laksamana Maeda) untuk disimpan di biara Buddha Shei Shoji di Minatoku, Tokyo. Teks itu berisi kenangan Sukarno kepada dua orang Jepang yang membantu perjuangan Indonesia: Ichiki Tatsuo dan Yoshizumi Tomegoro.
Di biara Buddha itu kemudian dibuat monumen Sukarno bertuliskan: "Kepada sdr. Ichiki Tatsuo dan sdr. Yoshizumi Tomegoro. Kemerdekaan bukanlah milik suatu bangsa saja, tetapi milik semua manusia. Tokyo, 15 Februari 1958. Soekarno."
Sementara itu di tahun yang sama, Ono dihadiahi penghargaan Bintang Veteran dan Bintang Gerilya dari Presiden Sukarno, dan berhak untuk dikuburkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.
Di era perjuangan melawan NICA dan Sekutu, Indonesia juga mendapat bantuan diplomatik yang signifikan dari Australia. Meski Sekutu dekat Belanda semasa Perang Dunia II, Australia justru membelot dan bahkan mendukung perjuangan kemerdekaan dalam Komisi Tiga Negara. Supply amunisi dan persenjataan Belanda tidak dapat keluar dari perairan Australia dan mencapai Republik berkat dukungan pelaut-pelaut Australia dan internasional dalam event bernama Black Ban.
[caption id="" align="aligncenter" width="333" caption="Cuplikan Film "]
Tanpa mengecilkan kontribusi para pejuang kita, seringkali kita mengkotak-kotakan antara definisi kemerdekaan “earned vs given.” Bukan hal asing apabila garis sejarah kerap kali dikurangi/ditambahkan karena dirasa mengancam identitas nasional suatu bangsa. Kalaupun memang ada intervensi asing lantas apakah nilai kemerdekaan tersebut berkurang? Bukankah yang terpenting adalah bagaimana kita mengisi kemerdekaan tersebut?
Kalau ditanya apakah kemerdekaan Indonesia itu “earned” atau “given” maka jawaban saya adalah dua-duanya. “Earned” karena Indonesia bekerja keras melalui jalur diplomasi dan militer dalam meraih dan mempertahankan kemerdekaan.
“Given” karena ada beberapa situasi ekstenal yang secara tidak langsung menguntungkan Indonesia, seperti contohnya bom Hiroshima dan Nagasaki. Pengakuan kedaulatan dari Belanda pada 27 Desember 1949 secara simbolik juga menunjukkan adanya pemberian kemerdekaan dari satu pihak ke pihak lain, suka atau tidak suka.
Dukungan komunitas internasional seperti Australia juga adalah salah satu contoh kecil dari “Given.” Anda bisa saja mengklaim suatu pulau dan memproklamasikan kemerdekaan sepihak, tapi tidak diaukui, diisolasi komunitas internasional dan bernasib seperti Korea Utara.
Anda Mungkin Tertarik Baca:
2. Hah? Australia Bantu Indonesia Merdeka?
3. Prabowo Titisan Allah, Sisanya Titisan Siapa?
5. Akankah Film Nabi Musa Bernasib Seperti NOAH?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H