Lagi santai, sambil berselancar di media sosial, kok ramai sekali yang menyerang dengan komentar pedas kepada RCTI. Mengenai gugatannya ke Mahkamah Konstitusi, memperjuangkan perluasan difinisi aturan penyiaran, pada undang-undang Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002 Pasal 1 ayat 2 tentang Penyiaran. Harapannya agar tidak hanya berlaku untuk siaran televisi, tapi juga diberlakukan di siaran berbasis internet.
Namun kali ini tidak membahas gugatannya, tapi tentang komentar para netizen yang menganggap acara di tv semakin tidak berkualitas.
Salah satu komentar menyatakan bahwa sudah lama tidak melihat acara di tv, karena acaranya yang tidak bermutu dan isinya hanya itu-itu saja. Pernyataan itu bukan tanpa alasan, karena semakin kesini, dari siaran disitu hanya berisi  drama yang bisa di tebak akhirnya dan hanya untuk lucu-lucuan saja.
Saya sendiri juga sangat jarang melihat. Bukan karena acaranya yang semakin hari semakin buruk, tapi karena tontonan-tontonan di Youtube dan Facabook lebih menarik. Pengguna bisa memilih tontonan apa yang disukai.Â
Lalu algoritma didua media sosial tersebut, bisa membaca apa yang sering kita lihat, serta mereferensikan vidio sejenis untuk dilihat selanjutnya. Itu yang membuat asik menikmati konten disana.
Jadi sebenarnya bukan serial di tv yang semakin memburuk. Akan tetapi, mereka belum bisa menampilkan program-program acara yang diingikan oleh banyak penonton. Sedangkan seperti di Youtube, banyak konten yang bisa dipilih sesuai keinginan. Dari hiburan sampai tutorial pembelajaran.
Baca juga : Kejadian Ini Buat Social Distancing di Setiap Acara TV Jadi Percuma
Teringat saat masa kecil. Sering sekali saya bertengkar dengan kakak karena masalah tayangan yang akan dilihat bersama. Keputusan bersama  apa yang ditonton dengan dia, jarang ada keputusan yang mufakat. Sehingga pertengkaran itu menjadi langganan setiap hari dirumah.
Namun bisa jadi itu terjadi kepada teman-teman yang lainnya. Bukan hanya antar saudara, sering juga perebutan antara anak dan orang tua. Karena tv hanya satu, diperebutkan satu rumah. Anak-anak melihat serial kartun, sedangkan orang tua ingin melihat sinetron atau acara gosip artis.
Akan tetapi, hikmah dibalik tv hanya satu dirumah. Keluarga sering kumpul bersama. Lihat kartun bersama dan lihat film yang sama.
Masih ingatkah? Cerita orang tua kita pada waktu mereka masih kecil? Disaat ingin melihat televisi, mereka harus pergi ketetangga yang kaya. Numpang nonton disana karena dirumahnya sendiri belum punya tv. Â Saat itu apapun acaranya, terasa bagus dan tidak mau terlewatkan.
Kita harus obyektif dalam menilai suatu hal. Jika pedapat Anda bahwa media sosial seperti Facebook dan Youtube bisa memberikan tayangan yang bagus-bagus, itu saya juga sepakat. Tapi jangan bilang tidak ada konten yang unfaedah. Karena sering juga mereka para pengguna  upload konten sampah, hanya berharap viewer dan subcriber yang banyak.
Baca juga : Mengambil Nilai Positif di Acara TV sebagai Cerminan Diri
Coba bayangkan, ada creator yang membuat konten ngprank orang tua sampai si ibu menangis sedih. Setelah itu baru si anak memberikan kejutan bahwa dia sedang ngeprank untuk konten youtubenya. Terus disitu ada hujatan? Tidak ada, yang ada malah pujian karena dinilai dari sudut pandang kesederhanaan dan kebersamaan keluarga.
Lalu, ada akun yang isinya joget tiktok dengan busana sangat minim. Gak ada tuh yang mempermasalahkannya. Hanya berkomentar negatif saja dikolom komentar postingannya, dan masih banyak lagi konten-konten yang tidak seharusnya dilihat anak-anak, namun bisa diakses melalui gawai orang tuanya.
Sampai sini siapa yang perlu disalahkan? Pemerintah? atau Komisi Penyiaran Indonesia (KPI)? Tidak bisa seperti itu teman. Kita sudah  ramai-ramai tidak menyetujui ada pembatasan konten di media sosial atau media online kemarin. Permintaan tersebut sudah disetujui pemerintah. Jadi mari kita nikmati kebebasan ini yang pasti berdampak terhadap generasi kita di masa depan.
Maaf agak melebar, ayo kembali tema sebelumnya. Kita tidak bisa seenaknya sendiri menilai tetang program di televisi buruk. Karena mereka punya SOP atau alur yang rigid diawasi KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) sebelum tayang di depan layar tv.
Ratusan sampai miliaran rupiah dikeluarkan untuk produksi program acara tersebut. Agar bisa dinikmati dengan baik bagi pemirsa.
Semua dibuat menyesuaikan penonton dan pemberi dana. Kalau tidak ada itu, mereka tidak mungkin membuat acara yang begitu mahal dan menguras tenaga.
Jadi penilaian kita yang subyektif tetang acara ditelevisi tidak seratus persen benar.Â
Mereka hanya menyesuaikan penikmat yang masih setia menonton acaranya. Dan mereka selalu melihat rating, memastikan peminat program acara yang ditayangkan masih banyak yang menikmati.
Baca juga : Pantaskah Acara TV dan Sinetron "Alay" Menjadi Hiburan Keluarga?
Sedangkan masih banyak kok teman-teman disekitar Anda, yang masih menikmati tayangan-tayangan di tv. Hanya malu saja dia mengaku kepada Anda.
Jika acara unfaedah di acara televisi dipermasalahkan. Seharusnya acara yang statusnya sama di media sosial juga harus dikomentari. Agar anak-anak kita aman saat menontonnya.
Meskipun televisi sudah menjadi mantan yang dulu mengisi masa kecil. Akan tetapi jangan terlalu benci dia karena sudah menemukan pengganti yang lebih baik. Jika memang acara-acaranya tidak relevan, tinggalkan. Mereka akan evaluasi sendiri sebelum para sponshor meninggalnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H