Mohon tunggu...
Anjelina
Anjelina Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Traveling

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Perceraian Adat Dayak di Kalimantan Tengah

12 Maret 2023   21:23 Diperbarui: 12 Maret 2023   21:33 1182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Dalam Lingkungan masyarakat Adat Dayak di Kalimantan Tengah ada ketentuan bahwa perceraian dapat dilakukan di Lembaga Kedamangan. Lembaga tersebut dilindungi oleh pemerintah setempat melalui Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah Nomor 16 Tahun 2008 tentang Kelembagaan adat Dayak di Kalimantan Tengah. 

Permasalahan perceraian Adat Dayak melalui Lembaga Kedamangan yang dimaksud peneliti di sini adalah perceraian yang dilakukan oleh Lembaga Adat untuk yang beragama Islam, tetapi peneliti juga akan mengambil sample dari yang bukan beragama Islam juga. 

Proses perceraian tersebut dilakukan secara hukum Adat Dayak dengan berbagai tahapan-tahapan dan syarat-syarat yang harus dilewati dan dipenuhi oleh para pasangan yang ingin melakukan perceraian. 

Setelah melakukan tahapan-tahapan perceraian Adat tersebut kantor Kedamangan akan mengeluarkan surat keterangan cerai Adat dan akta cerai Adat yang ditandatangani oleh pihak yang melakukan perceraian, Mantir, Kepala Kedamangan. 

Perceraian di Lembaga Kedamangan dibedakan menjadi dua hal yaitu perceraian sepihak (hanya satu pihak yang mengiginkan perceraian) dan perceraian atas keinginan bersama (kedua belah pihak bersedia untuk bercerai).

Pembedaaan ini terjadi karena perceraian menurut Adat Dayak adalah suatu perbuatan yang tidak terpuji, setiap perceraian selalu disebabkan karena ada kesalahan diantara suami istri, dan untuk itu ada sanksi bagi pihak yang bersalah menyebabkan perceraian. Perceraian dalam masyarakat Adat Dayak tidak bisa dilepaskan dari perjanjian perkawinan yang dilakukan. 

Dalam surat kawin dituangkan perjanjian kawin yang memuat beberapa ketentuan atas kesepakatan bersama, salah satunya mengatur tentang perceraian yang berisi hal-hal sebagai berikut:

  • Pihak yang bersalah menyebabkan perceraian dikenakan sanksi Adat dengan membayar kepada pihak yang tidak bersalah sebesar kesepakatan (berupa uang atau emas murni).
  • Pelaku (maskawin) tetap menjadi hak istri.
  • Harta benda yang diperoleh selama berumah tangga (barang rupa tangan) menjadi hak anak-anak dan hak yang tidak bersalah.

 Berdasarkan perjanjian kawin itu, pihak yang menyebabkan perceraian akan mendapat sanksi. Ketentuan tentang perceraian masyarakat Adat Dayak diatur dalam hukum Adat Dayak pasal 3 tentang singer Hatulang belom (denda perceraian sepihak) dan pasal 4 Singer Hatulang Palekak sama handak (denda perceraian atas kehendak bersama). Adapun denda perceraian sepihak antara lain

  • Sesuai dengan perjanjian kawin.
  • Mantir Adat dapat menambahkan atau memberatkan denda setinggitingginya 30 kati (Rp 3.000.000) kepada pihak yang bersalah jika dipandang perlu.
  • Jika ada anak maka harta bersama dibagi antara pihak yang tidak bersalah dan anak.

 Sedangkan denda bagi perceraian atas keinginan bersama adalah membagi harta bersama sesuai perjanjian kawin. Jika ada anak maka harta menjadi hak anak semuanya. Jika tidak ada anak, maka harta dibagi bersama.

 Tahapan-tahapan perceraian yang harus dilalui oleh pasangan suami istri sebagaimana dalam ketentuan Hukum Adat Dayak Ngaju Kalimantan Tengah Bab VII tentang tahapan-tahapan penyelesaian sengketa peradilan Adat Dayak di kota Palangka Raya, menyebutkan bahwa:

  • Tahap pertama, pihak yang ingin melakukan perceraian melaporkan kepada Mantir/Let Adat di kecamatannya. Atau membuat surat pengaduan yang di tujukan kepada Mantir/Let Adat di kecamatannya.
  • Tahap kedua, Mantir/Let adat melakukan penyelidikan kasus tersebut apakah sama antara pernyataan dengan surat pengaduan tersebut.
  • Tahap ketiga, pemberitahuan kepada para pihak bahwa peradilan adat akan digelar, Lembaga Kedamangan akan membuat surat panggilan kepada para pihak yang ingin bercerai tetapi tidak dipertemukan antara termohon dengan pemohon. 
  • Tahap keempat, pemanggilan pertama kepada yang melakukan pengaduan terlebih dahulu, sebelum memasuki pokok perkara, Mantir/Let adat menawarkan perdamaian terlebih dahulu, apabila pemohon menerima tawaran untuk berdamai maka Lembaga Kedamangan akan menarik surat pengaduan pemohon tersebut.
  •  Tahap kelima, jika pemohon tidak mau berdamai, maka hakim Adat membuka sidang yang dimulai dengan mendengar keterangan, bukti-bukti dan memberikan pertanyaan kepada pemohon, Kerapatan Mantir/Let Adat melakukan pemanggilan kepada termohon dan memberikan pertanyaan yang sama dengan pemohon kemudian Kerapatan Mantir/Let Adat meneliti sejauh mana kebenaran keterangan pemohon dan termohon dengan surat pengaduan tersebut.
  • Tahap keenam, Kerapatan Mantir/Let adat menanyakan kepada pemohon apa yang dikehendaki dalam pengaduan dan keteraangan pemohon. Dan Kerapatan Mantir/Let Adat melakukan musyawarah. pihak yang dinyatakan bersalah dikenai singer. Sebagai bagian dari upaya untuk memperkuat peran peradilan Adat, maka keputusan penyelesaian perkara itu dicatatkan dan diarsipkan dalam sebuah buku induk registrasi perkara Adat.

Permasalahan hukum adat keberadaanya secara konstitusional telah diakui keberadaannya dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Undang-Undang Republik Indonesia Tahun 1945 yang telah diamandemen, dalam pasal 18 B ayat.

"Nagara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat Hukum Adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembngan msyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang".

Ketentuan dalam pasal 18 B ayat (2) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 diatas menurut Jimly Ashiddiqie keberadaan Hukum Adat perlu diperhatikan oleh negara, yaitu pengakuan yang diberikan negara berupa:4

  • Kepada eksistensi suatu masyarakat Hukum Adat beserta hak-hak tradisional yang dimilikinya:
  •  Eksistensi yang diakui adalah eksistensi kesatuan-kesatuan masyarakat Hukum Adat artinya pengakuan diberikan kepada satu persatuan dari kesatuan-kesatuan tersebut karenanya masyarakat Hukum Adat itu haruslah bersifat tertentu.
  • Masyarakat Hukum Adat tersebut memang hidup (masih hidup).
  • Dalam lingkungannya yang tertentu pula.
  • Pengakuan dan penghormatan itu diberikan tanpa mengabaikan ukuranukuran kelayakan lagi kemanusiaan sesuai dengan tingkat perkembangan keberadaan bangsa.
  •  Pengakuan dan penghormatan itu tidak boleh mengurangi makna Indonesia sebagai salah satu negara yang berbentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Ada banyak alasan yang menyebabkan masyarakat Adat Dayak melakukan perceraian di Lembaga Kedamangan di antaranya adalah:

  • Karena merupakan kewajiban dalam Hukum Adat. Adanya kawin Adat mengharuskan adanya Cerai Adat. Sekalipun perkawinan dilakukan melalui KUA dan secara Hukum Islam akan tetapi kawin Adat juga harus dijalani sehingga dalam perceraian berlaku cerai Adat.
  • Pihak yang merasa dirugikan dapat menuntut hak dari pihak yang bersalah berupa pembayaan denda.
  • Proses beracara yang cepat dan tidak berbelit-belit secara biaya ringan.

Proses beracara di Lembaga Kedamangan tidak memakan waktu yang lama tergantung pada para pihak. Biasanya proses persidangan dapat dilakukan dalam waktu satu atau dua hari. Untuk hasil akhir putusan perceraian sebagai akibat hukum dari perceraian adalah:

  • Harta bersama yang didapat selama perkawinan tidak diberikan kepada pihak yang bersalah akan tetapi untuk pihak yang tidak bersalah. Jika ada anak, maka harta dibagi dua antar pihak yang tidak bersalah dan anak.
  •  Tidak ada nafkah bagi istri sekalipun perceraian disebabkan oleh pihak suami, dan jika istri yang menyebabkan perceraian maka istri harus membayar denda kepada suami atas kesalahan yang menyebabkan perceraian.
  • Mengenai ketentuan rujuk tidak diatur dalam peraturan Hukum Adat Dayak. Dalam kasus perceraian jika suami maupun istri ingiin kembali/rujuk tidak harus melakukan kawin adat akan tetapi harus mengadakan perjanjian kawin baru lagi beserta syarat-syarat sesuai dengan Hukum Adat seperti pertama melakukan perkawinan, hanya saja tidak ada lagi pelaku (maskwin) untuk istri. Sebagaimana dalam Hukum Adat Dayak tidak ada aturan mengenai ketentuan rujuk dan juga masa iddah, maka rujuk dapat dilakukan kapan pun saja selama ada kesepakatan diantara keduanya.

Dalam perkara perceraian, Lembaga Kedamangan menangani perkara sebagaimana penanganan di pengadilan agama, Pihak-pihak yang ingin bercerai bisa mengadukannya kepada Lembaga Kedamangan adat Dayak untuk selanjutnya diproses dalam persidangan dan dikeluarkan surat keterangan cerai tetapi surat keterangan cerai tidak menyatakan jenis perceraian tersebut termasuk kategori talak raj'i atau ba'in.

Dalam peraturan hukum adat Dayak tidak ada larangan untuk rujuk, sekalipun ketentuan atau tata cara rujuk tidak diatur dalam peraturan hukum adat Dayak. Adapun proses rujuk nya dengan mengadakan perjanjian baru tanpa harus melakukan kawin adat lagi. Rujuk dapat dilakukan kapan pun jika kedua belah pihak menghendakinya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun