Identitas Novel:
a. Judul Buku: Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck
b. Penulis: Hamka (Haji Abdul Malik Karim Amrullah)
c. Tebal Buku: 224 halaman
d. Penerbit: PT. Bulan Bintang
e. Cetakan: Cetakan ke-16 (1984)
f. Tahun Terbit: 1938 (Cetakan ke- 1)
g. Harga Buku: Rp30.000,00
Pengantar Resensi Novel:
Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck merupakan sebuah novel karya ulama terkenal yang sering disebut Buya Hamka. Novel ini mengisahkan tentang kisah cinta antara Zainuddin dan Hayati yang tidak bisa bersatu dikarenakan persoalat adat-istiadat Minangkabau dan perbedaan kasta serta budaya yang menghalangi kisah cinta mereka. Kisah cinta mereka ini pun berakhir dengan ditandainya peristiwa tenggelamnya kapal Van Der Wijck tersebut.
Novel ini di terbitkan pertama kali dan terus di cetak ulang sampai sekarang ini. Karena novel ini selalu mengalami cetak ulang dan berhasil menarik perhatian masyarakat, seorang sutradara kondang yakni Sunil Soraya berhasil mengangkat novel ini menjadi sebuah film layar lebar pada 19 Desember 2013.
Sinopsis Cerita:
Novel ini mengisahkan seorang pemuda bernama Zainuddin yang memiliki keturunan campuran. Ayahnya bersuku Minangkabau sedangkan ibunya bersuku Makassar. Di Makassar ia dianggap sebagai keturunan Minangkabau. Hidup Zainuddin dipenuhi dengan kepahitan. Ayahnya membunuh ibunya karena ibunya selalu memoroti harta Ayahnya.
Tak lama dari sepeninggal ibunya, Ayahnya pun menyusul ibunya dikarenakan sakit-sakitan. Zainuddin pun menjadi anak yatim-piatu. Kemudian, Zaenuddin pergi ke kampung halaman Ayahnya di Minangkabau. Akan tetapi, kehadirannya tidak diterima oleh masyarakat Minangkabau karena ia memiliki darah campuran.
Dengan berat hati, Zainuddin pergi ke suatu daerah bernama Batipuh (Padang Panjang). Disitulah ia bertemu dengan seorang gadis bernama Hayati. Gadis yang dikenal dengan parasnya yang cantik dan berbudi baik. Disinilah timbul rasa cinta antara Zainuddin dengan Hayati.
Kisah cinta mereka tidak direstui oleh keluarga Hayati dikarenakan perbedaan kasta dan istiadat mereka. Pedih hati Zainuddin tidak hanya sampai disitu. Akhirnya Hayati dijodohkan dan menikah dengan lelaki bernama Aziz yang berasal dari keluarga kaya raya dan masih sesuku dengan Hayati.
Zainuddin dengan hati yang kecewa kemudian memutuskan untuk merantau ke Pulau Jawa tepatnya di Surabaya bersama Muluk sahabatnya. Disinilah Zaenuddin meraih kesuksesannya dan menghasilkan banyak karya. Singkat cerita, Hayati dan Zaenuddin dipertemukan kembali namun dalam kondisi yang berbeda.
Kondisi rumah tangga Hayati dan Aziz berantakan, belakangan diketahui bahwa Aziz bangkrut karena hobinya yang suka mabuk-mabukkan dan berjudi. Aziz pun menyadari akan dirinya yang sudah diambang kemiskinan, ia menyerahkan Hayati kepada Zainuddin. Aziz pun memutuskan untuk melakukan bunuh diri di sebuah hotel karena keputus asaannya.
Mendengar hal itu, hati Hayati sangat sedih. Akan tetapi, Zaenuddin tidak bisa menerima Hayati kembali dikarenakan rasa sakit hati yang pernah dideritanya.
Dipulangkanlah Hayati ke kampung halamannya di Minangkabau menggunakan kapal mewah Belanda yang bernama Kapal Van Der Wijck. Dalam perjalanannya menuju Minangkabau, kapal tersebut tenggelam dan menewaskan Hayati. Mendengar hal tersebut, Zaenuddin merasa menyesal menyuruh Hayati balik ke kampung halamannya.
Sampai setiap hari ia berziarah ke kuburan Hayati. Zaenuddin pun menyusul Hayati setahun kemudia dikarenakan sakit-sakitan. Zaenuddin meninggalkan harta yang berlimpah dan sebuah hikayat cintanya yang berjudul “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck”. Makam Zaenuddin terletak di sebelah wanita yang dicintainya yaitu Hayati. Berakhirlah kisah cinta mereka bak lirik sebuah lagu yakni “ku di liang yang satu, ku di sebelahmu”.
Kelebihan Novel:
a. Membuat pembaca terhanyut dan merasakan cerita yang ditulis oleh penulis.
b. Terdapat beberapa pelajaran yaitu mengenai pengertian cinta suci bukan hanya kepada manusia saja namun terhadap tanah kelahiran, hukum adat-istiadat, dan kekeluargaan.
c. Mengajarkan nilai patriotisme dan semangat cinta tanah air.
d. Terdapat unsur keagamaan dan menjadikan novel ini sebagai salah satu media dalam mengkritik masyarakat masyarakat yang tidak suka dengan hukum adat-istiadat.
e. Novel ini dapat dilihat dari perspektif sastra, sejarah, sosial, dan budaya.
f. Novel ini diangkat ke layar lebar dikarenakan popularitasnya.
Kekurangan Novel:
a. Meskipun sudah cetakan ke-16 gaya bahasanya masih belum sempurna meskipun sudah disesuaikan dengan EYD pada saat itu.
b. Banyak menggunakan bahasa daerah sehingga para pembaca kurang dapat memahaminya.
c. Adat-istiadat yang diceritakan dalam novel ini tidak sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan yakni seharusnya semua manusia berhak mendapatkan cinta, pengakuan, dan kasih sayang keluarga.
Amanat Yang Terkandung:
Cinta yang tulus dari hati seseorang adalah cinta yang tidak perlu saling memiliki dan dalam hidup kita harus mempunyai tujuan atau motivasi hidup sehingga tidak mudah dikalahkan oleh masalah yang berdatangan.
Anjelia Ratu Oasis, Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H