Mohon tunggu...
Anjaya Wibawana
Anjaya Wibawana Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis setengah hari

Terus belajar dan setia bersamamu

Selanjutnya

Tutup

Diary

Mempeng Ngaji, Urusan Rezeki Ojo Kuatir

12 November 2024   17:41 Diperbarui: 12 November 2024   17:43 148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

Belajar agama bukan hanya soal menuntaskan lembar demi lembar kitab, tapi soal menyerap hikmah yang terselip di antara baris-barisnya. 

Bagi saya yang  hanya melewati jalur pendidikan formal dari SD hingga perguruan tinggi alias gak  mondok. Bisa dibilang ilmu agama yang didapat masih sebatas kulit. Apalagi, seringkali justru muncul rasa percaya diri tinggi untuk menyampaikan ajaran Islam meskipun hanya berdasar pengetahuan dangkal. Bahkan yang muncul hanyalah dorongan ego  belaka.

Sekitar akhir tahun 2015-an, saya mendapatkan momen langka untuk sowan ke pesantren Darussalamah yang dipimpin  Ustadz Buwono. Di sana, saya bertemu dengan sosok yang kharismatik, Abah Yai Mustafid bin KH. Munawwir Sholeh. Selain Alim, beliau telah membesarkan pondoknya sejak 1982.  

Ada berbagi wejangan yang membuat saya tertegun. Saat bercakap santai di halaman masjid, Mbah Yai mengingatkan kami tentang pentingnya tidak menyerah dalam mencari ilmu melalui guru-guru pesantren.

Dengan caranya yang khas, Mbah Yai berbagi kisah yang seolah mengajak kami menjelajah waktu. "Saya mendirikan pondok ini sejak tahun 1982, berarti sekarang sudah 33 tahun," ujar beliau. 

Dari awal yang penuh keterbatasan, hanya berbekal sarung, satu setel pakaian, dan kitab Taqrib, beliau menyusuri rel Kereta hingga berhenti di Krian. Dalam ceritanya, ia mendengar lantunan ayat suci Al-Quran dari pengeras suara, beliau tergerak hatinya untuk berhenti dan mencari sumber suara itu. Teringat sabda Nabi bahwa ada yang membaca Al-Quran namun hanya memperoleh laknat darinya. Lantas Gus Tafid muda itu mendatangi langgar tersebut.  Kemudian berbicara dengan orang yang membaca Quran dan menawarkan diri untuk mengajar. Dari sini,  cikal bakal pondok Darussalamah di Katerungan  bermula.

***

Setelah bercerita tentang masa-masa awal mendirikan pondok, tiba-tiba Mbah Yai membelokkan arah pembicaraan. Dengan gaya santainya, beliau memberikan ilustrasi tentang “hitungan duniawi” yang menggugah. Buat kami, lulusan kampus yang terbiasa mengukur sukses dengan gaji besar dan rumah megah, beliau memberikan perspektif yang berbeda.

“Wes, saiki ngene…” Mbah Yai memulai dengan nada berwibawa namun bersahaja. 

"Apakah ada orang yang nggak kerja di kantor, nggak bawa lamaran kerja, tapi Allah menjamin kehidupannya? Ono ta wong ga kerja 33 tahun iso duwe dunyo gede?" 

Lalu dengan senyum, beliau menyebutkan aset yang telah dimilikinya: tanah di pondok sekian hektare, di Klampis sekian ribu meter, dan di daerah lain sekian hektare. Dengan perhitungan kasarnya, beliau memperkirakan aset tersebut bernilai sekitar puluhan miliar. 

“Iki durung ambek sakliyani,” lanjut beliau, sembari menyebutkan bahwa semua ini ia peroleh hanya dengan 'mulang ngaji'

Kami yang mendengarkan hanya bisa terdiam, mencerna dalam-dalam. Bukan karena iri atau takjub akan nilai tanahnya, tetapi karena kedalaman makna yang tersirat dari apa yang disampaikan beliau. Keberkahan yang Allah berikan kepada seorang yang tulus menekuni jalan dakwah dan ilmu, jauh melampaui apa yang bisa dihitung dengan angka.

“Pernah ada orang yang tiba-tiba datang, menyalami saya, lalu memberikan uang ratusan juta,” cerita Mbah Yai. Orang itu hanya menjalankan wasiat dari ayahnya yang sudah wafat. 

Namun di balik kisah-kisah yang menyenangkan, ada pula pengalaman pahit, seperti di masa-masa awal pendirian pondok saat hampir setiap hari ada orang yang membuang kotoran di depan rumah beliau. “Itu semua ujian kesabaran,” ujarnya.

"Ayo saiki ngaji sing mempeng. Kalau sudah bisa, silakan mengajar. Urusan rezeki itu sudah dijamin oleh Allah. Ojo kuatir."

***

Mendengar nasihat Mbah Yai, saya menyadari bahwa mungkin beliau kini tengah menikmati masa panen dari ladang ilmu yang telah ditanamnya sekian lama. Namun bagi beliau, panen dunia hanyalah sedikit saja dibanding ridho Allah. Kisah perjalanan beliau bukan hanya tentang meraih pengetahuan, tapi juga tentang kesabaran, pengorbanan, dan keikhlasan yang penuh.

Belajar agama dengan mendalami kitab dan berguru (berthoriqoh) adalah perjalanan panjang yang tak ada ujungnya. Jangan sampai kita merasa cukup, apalagi sombong. Sebab, sejatinya di balik setiap ilmu yang kita pelajari, ada ladang-ladang hikmah yang menanti untuk disemai.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun