ANDREA HIRATA mengisahkan perjuangan guru di Tanjong Hampar, Sumatera. Namanya Bu Desi Istiqomah. Beliau mengampu mapel Matematika.
Diantara muridnya, ada yang paling spesial, Aini. Karena di setiap tes matematika nilainya, kalau tidak 1 ya 0.
Inilah yang menjadi tantangan bagi bu Desi. Sebenarnya, diatas kemampuan Aini. Masih ada 9 murid yang kategori slow learner. Wow, meskipun awalnya optimis mampu mencerdaskan anak di daerah pelosok. Tapi ia tidak menyangka bakal menemui fakta tersebut.
Makanya, guru itu harus bersyukur jika seluruh muridnya homogen. Diantaranya kemampuan IQ anak didik diatas rata-rata. Ditunjang kemauan belajar tinggi. Cukup sekali penjelasan, mereka paham. Bahkan hanya diberikan stimulus saja, anak-anak mampu belajar secara mandiri.
Kondisi tersebut tidak ditemui pada sekolahnya bu Desi. Muridnya beragam. Bahkan lebih dominan slow learner. Saya kurang sepakat pembagian sekolah berdasarkan dikotomi berbiaya mahal dan gratisan. Tapi biasanya, sekolah kategori ini awalnya tidak memetakan secara akurat.
Sebelumnya, Bu Desi merupakan lulusan terbaik di kampusnya. Jadi sangat paham standar kerja guru. Terutama kompetensi pedagogik. Yaitu kemampuan menyampaikan pelajaran kepada murid. Hasilnya, dari tidak tahu - mereka menjadi tahu.
Bagi Bu Desi, guru matematika memang passion sejak kecil. Dia terinspirasi dengan sosok guru SD-nya, bu Marlis. Alasan lainnya karena matematika merupakan salah satu yang paling banyak memecahkan misteri. (hal 18)
Sehingga dalam proses pembelajaran, guru membutuhkan effort lebih. Agar murid paham, guru harus menjelaskan secara pelan dan berulang kali. Meskipun tidak mudah. Ini memang menjadi tanggung jawab guru. Disinilah letak 'jihad pendidikan' guru-guru di seluruh Indonesia.
***
Saking kesalnya pada Aini. Puncaknya, Bu Desi menatap wajah muridnya dengan pandangan memelas (hal 188). Beliau mengatakan bahwa sudah 5 minggu melakukan upaya. Mulai dari penguatan mental hingga mengulangi pelajaran berulang kali. Tapi hasilnya nihil. Aini jadi bingung dan tidak mengerti. Si murid hanya mengangguk.
Melalui sentuhan emosional. Aini menjadi paham perjuangan bu Desi.
Rupanya Bu Desi ingin memastikan Aini berubah. Lantas beliau memberikan buku Kalkulus. Aini disuruh menjawab 3 soal dalam 3 hari. Hasilnya, Aini berhasil menjawab dengan benar. Mulai saat itu pula, Aini terinspirasi sosok Bu Desi.
Di akhir kisah, Aini berhasil meraih mimpinya masuk pada fakultas kedokteran.
Novel Guru Aini (2020) menjadi berbobot karena disusun berdasarkan riset selama 2 tahun. Saya merekomendasikan buku ini dibaca oleh guru, orang tua dan siswa. Bahkan penting juga dibaca pembuat kebijakan dan pengelola sekolah. Untuk mendapatkan insight.
Surabaya, 27/02/2020
Anjaya Wibawana
Guru Matematika
SMP IT Al Uswah Surabaya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H