Mohon tunggu...
Anjas Wijanarko
Anjas Wijanarko Mohon Tunggu... -

Karyawan tetap sebuah perusahaan swasta, kalau sudah mapan ingin budidaya jamur dan ternak lele.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Belajar dari Pergelaran Matah Ati

10 September 2012   06:28 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:41 563
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya kagum ketika menghadiri mega pentas Matah Hati yang digelar di Pamedan Mangkunegaran, Solo. Bukan masalah pertunjukkannya yang sudah sejak awal saya yakin bakal luar biasa sebagaimana karya Jay Subiyakto lainnya, tetapi masalah manajemen penonton.

Diawali dengan pembagian kelas undangan berbayar dan undangan tidak berbayar yang menurut saya sangat penting sekali dalam filterisasi penonton. Harga tiket yang tidak murah bagi ukuran warga Solo, yaitu Rp. 750.000 untuk kelas VVIP, Rp. 450.000 (VIP) dan Rp. 250.000 (Kelas I) bukanlah semata-mata untuk mengejar keuntungan. Dengan nilai biaya produksi yang miliaran rupiah dan kualitas pertunjukkan yang memang berkelas internasional membuat saya yakin bahwa harga tersebut adalah untuk menyaring tingkat apresiasi penonton.

Yang tidak mudah adalah filterisasi untuk penonton undangan kelas festival yang dibagikan secara gratis. Pada pertunjukkan-pertunjukkan besar yang pernah digelar di kota Solo, biasanya untuk filtering juga diberlakukan dengan sistem tiket meski bisa diperoleh dengan gratis. Namun dalam pagelaran Matah Ati kali ini penonton yang menginginkan tiket gratis harus mengisi formulir dan melampirkan fotokopi KTP. Jumlah yang disebar pun tidak berlebihan, tapi terbatas dan disesuaikan dengan space yang ada untuk kelas festival. Meskipun sederhana, menurut saya kebijakan ini cukup efektif untuk filterisasi tahap pertama yang, paling tidak tidak ada lagi yang hanya iseng-iseng ingin menonton karena kemudahan akses.

Pada waktu pelaksanaan, pengaturan pintu masuk pun cukup efektif. Pamedan (semacam alun-alun kecil) yang mempunyai dua pintu akses dimanfaatkan secara maksimal. Beberapa jalan yang menuju ke arah venue pertunjukkan sudah diarahkan sesuai dengan jenis tiket yang tersedia, sehingga arus lalu lintas penonton ketika di dalam venue bisa terkendali. Tampak sekali bahwa untuk arus lalu lintas penonton pun melalui tahap perencanaan dan pelaksanaan yang matang. Dengan demikian, dua belah pihak pun menjadi sama-sama merasa diuntungkan. Panitia bisa menyelenggarakan pertunjukkan dengan lancar, sementara penonton bisa menikmati pertunjukkan dengan baik.

Desain panggung pertunjukkan Matah Ati dibikin bertingkat dan dihubungkan dengan lantai yang miring ke depan. Saya menilai pemilihan bentuk panggung seperti ini bukanlah semata-mata pertimbangan artistik saja, tetapi juga memikirkan kenyamanan penonton untuk menikmati pertunjukkan.

Pada barisan terdepan tempat duduk penonton adalah kelas festival untuk undangan gratis tanpa kursi, tetapi disediakan tempat lesehan yang nyaman berlapiskan karpet. Bibir panggung yang nyaris menyentuh tanah membuat membuat kesan antara penonton gratisan dengan panggung seperti tidak berjarak.

Di belakang barisan penonton untuk undangan gratis terdapat tribun untuk penonton undangan berbayar. Tribun inipun dibikin berundak, sehingga penonton yang duduk di barisan belakang pun bisa menyaksikan pertunjukkan secara leluasa tanpa terhalang penonton yang duduk di depannya. Tentu saja pembagian tempat duduk di tribun ini sesuai dengan kelas tiket yang dimiliki.

Barisan paling belakang adalah barisan tribun untuk fotografer. Penyusunannya yang berundak juga membuat para fotografer leluasa untuk menyusun peralatan fotografinya. Hanya memang, jarak yang sangat jauh mengharuskan fotografer menggunakan alat yang tidak sederhana untuk mendapatkan gambar yang baik. Tapi bagi saya, hal tersebut juga filterisasi terhadap para fotografer. Bukan bermaksud melecehkan fotografer yang alatnya kurang memadai, namun harus disadari bahwa memotret sebuah pertunjukkan tentunya juga harus mempunyai alat yang sesuai.

Berdasarkan pengalaman saya menyaksikan pertunjukkan Matah Ati pada hari pertama dan hari kedua, pertunjukkan ini nyaris sempurna. Tidak hanya pertunjukkannya yang memukau tetapi dari manajemen penonton pun sangat luar biasa. Perencanaan yang matang, eksekusi yang tenang sesuai rencana dan tentu saja, menganggap semua penonton adalah bagian tak terpisahkan dari sebuah pertunjukkan. Bahkan saya melihat, di kelas manapun penonton dianggap sebagai tamu yang hendak disuguhi pertunjukan yang spektakuler. Dan seperti yang diduga, penonton pun bisa mengalir dengan tertib.

Kembali saya dibuat kagum ketika MC mengumumkan dalam bahasa jawa halus (yang kemudian diterjemahkan dalam bahasa indonesia dan bahasa inggris), bahwa penonton diijinkan memotret meski dengan sederetan peraturan seperti tidak menggunakan lampu flash dan tidak boleh mengganggu penonton lain. Saya kira hal tersebut memang aturan yang umum bagi fotografer ketika memotret sebuah pertunjukkan. Sangat berbeda sekali dengan beberapa event yang pernah terjadi di Solo. Pada awalnya terjalin hubungan yang baik antara penyelenggara event di Solo dan fotografer amatir sebagai media partner. Namun ketika kegiatan fotografi menjamur, para fotografer dianggap sangat potensial sebagai pengganggu jalannya event, terutama fotografer hobis dan amatir. Tanpa menyalahkan antara satu dengan yang lain harus diakui beberapa saat yang lalu pernah tercipta hubungan yang kurang harmonis antara pihak penyelenggara event dan para fotografer tersebut. Padahal sesungguhnya masing-masing pihak pernah merasakan efek baiknya ketika terjalin hubungan yang harmonis. Panitia mendapat promosi gratis melalui social media yang banyak dimiliki para fotografer sementara para fotografer bisa meningkatkan portfolio mereka.

Tanpa mengecilkan arti panitia event-event besar yang digelar di Solo (saya pun memberi penghormatan yang setinggi-tingginya karena para panitia tersebut sudah mengorbankan waktu dan tenaganya), kita bisa belajar dari pentas Matah Ati bagaimana mengelola event dengan baik. Penyelenggara tidak hanya memikirkan bagaimana pementasan yang berbiaya tinggi, mengundang artis-artis luar negeri dan promosi yang besar-besaran saja, tetapi mengelola sebuah pertunjukan secara utuh, yaitu melibatkan (memikirkan) penonton sebagai elemen yang tak kalah penting dari pertunjukan itu sendiri. Sebuah pertunjukkan tanpa penonton bukanlah pertunjukan. Sementara diantara para penonton memang ada yang membawa kamera, tetapi semakin sering dan lama seseorang menggunakan kamera maka semakin bijak dan dewasa ketika menggunakannya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun