“Bagaimana kah sikap kita sebagai warga negara dalam menyikapi derasnya arus globalisasi yang mulai masuk ke dalam Indonesia?”
Begitulah salah satu bunyi soal Pendidikan Kewarganegaraan/PKN pada sebuah buku pelajaran Sekolah Dasar kala itu. Pertanyaan yang begitu sederhana dan juga memiliki yang sederhana pula. Begitu mudahnya untuk dihafal sehingga ketika anak didik membaca soal ini, mereka akan langsung terfikirkan,
“Sikap kita sebagai warga negara dalam menghadapi arus globalisasi adalah dengan melihatnya dengan bijak sebagai sesuatu yang bisa kita ambil secara selektif, baik dan buruknya. Kita ambil dan terapkan sesuatu yang positif dari globalisasi yang sesuai dengan adat dan norma negara kita, lalu kita buang sesuatu yang negatif dan yang sekiranya bertentangan dengan adab dan norma negara kita.”
Begitulah jawabannya. Memang jawaban tersebut terdengar panjang dan bertele-tele, namun dari anak didik bisa melihat dengan jelas inti dari jawaban tersebut. Yakni dengan menjadi bijak dan selektif dalam menyikapi arus globalisasi.
Definisi dari arus globalisasi ini sendiri sangat berkaitan erat dengan budaya Barat yang kadang kita anggap sebagai sesuatu yang negatif/buruk/atau sangat bertentangan dengan kebudayaan Timur kita. Namun nyatanya, tidaklah semua globalisasi itu berisikan hal-hal buruk.
Dunia tidaklah sesederhana layaknya warna hitam dan putih. Dunia apabila penulis lihat, adalah layaknya sebuah warna abu-abu, sebuah warna yang tercampur akan hitam/keburukan dan putih/kebajikan. Layaknya filosofi Ying dan Yang dimana ada baik dalam buruk dan buruk dalam baik. Sebagai manusia dan juga warga negara, sangatlah bisa kita untuk menjadi bijak dan selektif dalam menyikapi sesuatu, dengan melihat kembali norma dan adab yang berlaku,
Hal ini membawa penulis kepada kasus Ahok yang sempat dipenjara atas dasar tuduhan penistaan agama di salah satu sesi kampanyenya kala itu. Penulis yang kala itu masih begitu awam soal politik dan agama, tidaklah terlalu memikirkan akan hal tersebut. Namun, semakin berjalannya waktu dan juga momen tersebut sangatlah terbilang pivotal dan krusial dalam peta perubahan politik dan agama di Indonesia, membuat penulis mulai untuk melihat kembali salah satu rekam, yang bisa dibilang noda hitam di Indonesia.
Mengapa demikian? Bukankah memang yang dilakukan ybs memang menista agama? Perkataan ybs juga membuat banyak kaum muslim pun geram dan tidak sepatutnya dilayangkan oleh seorang kandidat pemimpin daerah.
Memanglah benar apabila kita melihat kembali perkataan yang dilayangkan ybs kala itu, cukup memberikan damage yang begitu besar bagi keimanan dan psikis muslim kala itu. Bagaimana tidak? Sesuatu yang mereka yakini sedari mereka lahir hingga tumbuh dewasa, sesuatu yang mereka yakini sebagai sesuatu yang sakral dan merupakan absolute truth, tiba-tiba saja dihempaskan dengan mudahnya menggunakan kata “dibodohi”[1]. Sungguhlah memang tidak layak seorang pemimpin menganggap rakyat yang akan dipimpin oleh dirinya nantinya dengan kata “dibodohi” yang bisa bermakna rakyat tersebut memang mudah diperdaya akan sesuatu. Terlebih lagi ucapa semacam itu juga termasuk bersifat merendahkan dan tidak etis/elok untuk dicuapkan seseorang yang disorot akan banyak pihak
Penulis tidak menampik hal itu. Mungkin saja niatan untuk mengucap kata-kata tersebut tidak demikian, mungkin saja ybs kurang cakap dalam memilih diksi yang ada, namun karena the damage has been done kita hanya bisa mencoba untuk belajar dari momen tersebut. Momen yang tentunya diibaratkan bagai asap, tidak ada asap tanpa ada api yang menyulutnya. Sesuatu tentunya terjadi karena ada sebab awal mulanya terjadi
Semua ini berasal dari salah satu petikan ayat kitab Qur’an yang berbunyi (dalam bahasa Indonesia),
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang-orang yang zalim”[2]
Kalimat yang penulis dengan cetak tebal adalah kalimat yang memulai semua huru-hara ini. Sebagian dari kita sebagai masyarakat awam akan langsung paham akan petikan ayat tersebut. Petikan dimana Tuhan mengisyaratkan pada hambanya untuk mendahulukan seseorang dari golongan seiman mereka terlebih dahulu untuk menjadi pemimpin mereka, ketimbang orang dengan iman yang berbeda dengan mereka.
Itulah pemahaman kita sebagai orang awam, yang kita ketahui. Namun, karena petikan ini merupakan sesuatu yang berasal dari holy scripture, alangkah lebih baiknya apabila kita juga melihat beberapa tafsir yang ada mengenai petikan ayat ini, karena firman Tuhan yang ada pada holy scripture ini terkadang bisa saja memiliki makna yang lain,
(Tafsir Al Muyassar / Kementerian Arab Saudi) :
Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menjadikan orang-orang yahudi dan nasrani sebagai sekutu-sekutu dan penolong-penolong untuk menghadapi kaum beriman. Demikian itu, karena sesungguhnya mereka tidak sayang kepada kaum Mukminin. Orang-orang yahudi itu, sebagian mereka loyal kepada sebagian yang lain. Begitu pula kaum nasrani. Dan dua golongan itu bersatu untuk memusuhi kalian, sedang kalian (wahai kaum mukminin), sepantasnya sebagain dari kalian membela sebagaian yang lain. Dan barangsiapa dari kalian yang memberikan loyalitasnya kepada mereka, sesungguhnya dia akan menjadi bagian dari mereka, dan hukumnya akan seperti hukum mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberikan taufik kepada orang-orang zhalim yang membela orang-orang kafir.[2]
Begitulah salah satu potongan tafsir yang penulis dapatkan melalui hasil riset kecil-kecilan penulis melalui search engine Google. Drai sumber yang sama pun, dapat dilihat juga apabila tafsir-tafsir yang lain pun juga mengiyakan hal yang sama dengan tafsir yang telah dikutip diatas, yakni mengenai ketidakbolehan seorang muslim dalam menjadikan seorang non-muslim menjadi pemimpin mereka.
Sekali lagi, dalam melihat dan memaknai isi suatu ayat yang bersumber dari sebuah holy scripture, sangatlah penting untuk kita semua melihat terlebih dahulu bagaimana situasi dan kondisi dimana petikan ayat yang berupa arahan dari Tuhan tersebut ada/muncul pada kala itu. Salah satu riwayat menurut Assyaukani yang mengatakan apabila asal muasal turunnya ayat/arahan ini dikarenakan adanya peperangan yang terjadi antara kabilah Bani Qainuqa dan Bani Khazraj sehingga ada diantara mereka ada yang menyerahkan urusan ini (meminta perlindungan) kepada kelompok lain yang bukan dari kelompok mereka [3].
Penulis pun juga pernah membaca beberapa komentar di sosmed yang mengatakan apabila situasi peperangan yang begitu pelik dan mengancam nyawa, membuat ayat tersebut turun sebagai bentuk arahan paling ideal bagi umat Muslim kala itu, untuk memilih pemimpin mereka yang akan membawa memimpin mereka di medan peperangan.
Sekarang, mari kita sejenak kembali ke waktu sekarang, waktu dimana bisa dibilang ini merupakan era-era kedamaian pasca Perang Dunia Kedua yang berakhir pada 1945, sebuah perang yang begitu dahsyat yang melibatkan banyak poros kekuatan dunia kala itu.
Indonesia, merupakan sebuah negara yang masuk jajaran negara pertama/awal lahir pasca Perang Dunia Kedua berakhir. Indonesia merupakan negara yang begitu besar dan begitu luas, dengan begitu banyaknya ragam suku bangsa, bahasa dan agama yang ada. Hal ini membuat Indonesia tidak akan memungkinkan untuk menjadi sebuah negara yang akan memiliki konstitusi/landasan dasar negara dari sebuah holy scripture. Hal itu hampir terjadi ketika Piagam Jakarta akan disahkan sebagai Pancasila/Ideologi Negara Indonesia, sebelum para tokoh-tokoh dari wilayah Indonesia Timur melayangkan keberatan mereka[4].
Apa yang membuat para tokoh-tokoh dari wilayah Timur ini merasa keberatan pada saat itu? Hal itu dikarenakan adanya sila pertama pada Piagam Jakarta yang berbunyi, “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi para pemeluknya”[4]. Hal itu membuat para tokoh dari wilayah Timur merasa keberatan karena sila tersebut akan membuat keretakan dalam persatuan Indonesia, dikarenakan adanya kecenderungan/tendensi lebih pro terhadap suatu golongan tertentu, yakni umat muslim.
Para tokoh dari Timur yang kebanyakan menganut agama Kristen/Katolik pun menjadi gusar dan risau apabila nantinya Indonesia sendiri akan berdiri menjadi sebuah negara Islam, yang nantinya juga konstitusi yang akan diberlakukan juga bisa jadi berdasar pada nilai-nilai dari agama Islam, yang kembali lagi akan bertolak belakang dari keyakinan dari para tokoh Timur yang hendak ikut bergabung menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Beruntunglah, kala itu diputuskan bahwa sila pertama Piagam Jakarta perlu diganti dan juga semakin mempertegas apabila Indonesia merupakan negara republik yang tidak mendasarkan dasar hukum/konstitusinya pada suatu nilai agama tertentu[5]. Itulah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kalimat ini akan sangat perlu diingat-ingat sebelum kita melanjutkan pembahasan kita.
Sekarang, mari kita kembali ke noda hitam kita mengenai Surat Al Maidah ayat 51, yang mengatakan apabila para umat muslim (yang merupakan umat mayoritas di Indonesia) diharuskan untuk memilih golongan seiman mereka sebagai pemimpin mereka. Pertanyaannya, apakah arahan ini masih relevan/berlaku di zaman sekarang?
Penulis bisa bilang, tidak. Mengapa? Karena seperti yang sudah kita coba highlight sebelumnya, Indonesia adalah Negara yang bukan berlandaskan hukum atas dasar suatu agama tertentu. Oleh karenanya, peraturan yang memang berdasarkan daripada arahan sesuatu yang bersumber dari agama tidak bisa dijadikan landasan hukum dalam proses peralihan kepemimpinan di Indonesia. Terlebih lagi, Indonesia juga jauh lebih beragam jenis latar belakang masyarakatnya/heterogen yang mana memang tidak ideal lagi apabila seorang pemimpin hanya dipilih berdasar dari sesama imannya saja.
Bukankah warga negara manapun lebih ingin dipimpin oleh seseorang yang berkompeten, dan mampu memajukan daerah, menjaga ketertiban daerah dan menganyomi warganya, terlepas dari identitas apapun yang dimiliki oleh calon pemimpin tersebut? Kita pun juga ingin untuk menerapkan sistem meritokrasi, yang mana merupakan sebuah sistem dimana kita menginginkan yang terbaik dari yang terbaik melalui penilaian dari segi kualitas seseorang tersebut.
Penulis pun dengan iseng melakukan riset kecil-kecilan, dan penulis temui sebuah artikel unik yang menjelaskan beberapa kepala daerah non-muslim yang memimpin daerah yang mayoritas diisi oleh muslim[6]. Bahkan beberapa pemimpin daerah non-muslim ini sudah menjabat sebagai kepala daerah, jauh sebelum noda hitam tahun 2016 kala dulu terjadi. Beberapa dari Kepala Daerah dari latar belakang non-muslim yang memimpin daerah mayoritas muslim antara lain :
FX Hadi Rudyatmo - Walikota Solo (2012-2021), beragama Katolik, demografi agama mayoritas Islam sebanyak 79%[7]
Agustin Teras Narang - Gubernur Kalimantan Tengah (2005-2015), beragama Kristen, demografi agama mayoritas Islam sebanyak 74%[8]
Hendrata Tess – Bupati Kepulauan Sula (2016-2021), beragama Kristen, demografi agama mayoritas Islam sebanyak 98%[9]
Tjhai Chui Mie - Walikota Singkawang (2017-2022), beragama Buddha, demografi agama mayoritas Islam sebanyak 53%[10]
Dari fakta di atas, bisa kita lihat apabila memang sebenarnya perbedaan latar belakang berupa perbedaan agama/keyakinan yang dipeluk bukanlah menjadi suatu probelmatika besar bagi para warga Indonesia tatkala ingin memberikan suaranya kepada salah seorang calon pemimpin yang memiliki keyakinan/agama yang berbeda dengan dirinya.
Hal ini juga diiyakan oleh UUD 1945 Pasal 27 ayat 1 yang berbunyi: "Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya." , yang mana berarti memang kembali lagi, landasan hukum di Indonesia adalah UUD 1945 yang tidak mengatur akan persyaratan seorang pemimpin harus dari golongan keyakinan tertentu, mengikut dengan populasi mayoritas pemeluk yang ada. Dengan begitu, bisa diambil sedikit kesimpulan apabila memang warga negara Indonesia memang bisa lebih objektif dalam menentukan pilihan mereka sedari lama, jauh dari saat ketika noda hitam 2016 terjadi.
Hal ini lantas membuat penulis sedikit membuat kesimpulan apabila, mungkin saja, beberapa ketentuan/arahan dalam holy scripture mungkin bisa saja tidak relevan lagi apabila dipergunakan pada masa/zaman sekarang. Mungkin perkataan ini akan sangat mengagetkan banyak pihak dan bisa saja menyulut amarah pula. Namun, yang ingin saya perjelas disini adalah sesuai dengan poin pertama saya saat menulis tulisan ini, mari kita mencoba melihat holy scripture ini layaknya sebuah arus globalisasi.
Kesemua holy scripture yang umat manusia pernah lahirkan pasti memiliki tujuan yang baik dan begitu mulia, itu adalah kebenarannya. Namun, kembali lagi, dunia tidaklah semudah melihat hitam dan putih, melainkan abu-abu. Oleh karenanya, tugas manusia pula lah yang memiliki akal pikiran yang begitu besar, layaknya bisa memilah, selektif dan bijak dalam menyikapi sesuatu, teruntuk kepada holy scripture juga yang terhitung sakral.
Pandangan ini mungkin akan banyak mendapatkan pertentangan, dan akan dianggap sesuatu yang begitu negatif. Namun sekali lagi, penulis ingin mengingatkan, bahwa sesuatu di dunia ini pasti memiliki sisi positif dan negatif, bahkan untuk sesuatu se sakral holy scripture. Mari kita mencoba menelaah kembali pembahasan kita, apakah arahan yang ada pada holy scripture yang kita bahas tadi selaras dengan landasan hukum dan juga cita-cita dari para bapak pendiri bangsa kita? Mungkin saja memang ada beberapa poin pada holy scripture yang tidak lagi relevan mengikuti perkembangan zaman yang ada, apabila dibandingkan dengan zaman ketika arahan/perintah tersebut pertama kali muncul/turun.
Hanya beberapa poin, salah satunya seperti yang kita bahas tadi sebelumnya. Di beberapa poin lain pun juga beberapa menyebutkan mengenai larangan untuk menjalin pertemenan dengan non muslim diantara muslim[11]. Apakah hal itu juga masih relevan di kehidupan kita saat ini, yang sudah benyak bersinggungan dengan orang-orang yang memiliki latar belakang yang begitu berbeda dengan kita? Bukankah perbedaan itu ada untuk memberikan corak warna yang beragam dan indah antar satu individu dengan individu yang lain, dan bukannya menimbulkan pergesekan berujung pada pertikaian? Kita ambil contoh saja momen ketika Laksamana Tadashi Maeda meminjamkan rumahnya kepada para pendiri bangsa ketika sedang merumuskan naskah proklamasi[12]. Laksamana Maeda kala itu adalah seorang pemeluk keyakinan Shinto dan para pendiri bangsa kita kala itu mayoritas adalah Islam. Apabila para pendiri bangsa kala itu tetap berkeyakinan untuk tidak menjadikan seseorang yang tidak seiman dengan mereka sebagai kawan, apa yang akan terjadi dengan Indonesia? Mungkin saja, Indonesia tidak akan lahir, dan tentunya para penjajah lah yang akan makin senang dengan perpecahan internal yang terjadi diantara banyaknya para pendiri bangsa Indonesia.
Penulis ingin sekali lagi menegaskan, bukan berarti menulis menentang akan keberadaan holy scripture secara keseluruhan, namun penulis ingin mengajak para pembaca untuk lebih bijak dan selektif dalam menyikapi dan mengamalkan nilai-nilai yang ada pada holy scripture masing-masing. Tidaklah semua isi holy scripture tidak relevan lagi dengan zaman sekarang, beberapa diantaranya masih ada yang relevan dan tentunya begitu menyejukkan hati para penganutnya, bahkan untuk orang-orang di luar keyakinan tersebut[13&14]. Poin-poin yang seperti inilah yang patut kita ambil dan amalkan pada kehidupan sehari-hari. Terlebih lagi, penulis cukup yakin apabila manusia adalah mahkluk hidup yang memiliki intelegensi begitu tingginya, sehingga bisa membuat semacam moral compass yang akan selalu beradaptasi dengan perkembangan zaman, yang juga ikut menyempurnakan isi dari holy scripture yang dirasa memang beberapa darinya perlu untuk kita ubah/tinggalkan yang sekiranya tidak lagi relevan.
Marilah kita ambil yang baik dan bermanfaat bagi diri kita dan orang-orang sekitar kita, lalu kita buang/tidak kita pilih sesuatu yang merugikan baik kita maupun orang-orang sekitar kita. Karena dunia ini memanglah begitu unik, banyak ragam corak warna menyatu menjadi satu dan diharapkan perbedaan itu akan semakin memperkokoh jalinan kasih antar umat manusia dan bukan malah memercikkan api pertikaian.
REFERENSI
[1] https://news.detik.com/berita/d-3496149/hakim-ahok-merendahkan-surat-al-maidah-51?page=all&single=1
[2] https://tafsirweb.com/1935-surat-al-maidah-ayat-51.html
[7] https://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Surakarta
[8] https://id.wikipedia.org/wiki/Kalimantan_Tengah
[9] https://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Kepulauan_Sula
[10] https://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Singkawang
[11] https://tafsirweb.com/1671-surat-an-nisa-ayat-139.html
[13] https://tarteel.ai/blog/10-verses-of-quran-for-when-you-need-comfort/
[14] https://peermag.org/articles/7-bible-verses-to-calm-an-anxious-heart/
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI